Kamis 17 Apr 2025 04:02 WIB

Gundik, Prostitusi, dan Moralitas yang Tumpul ke Atas

Dulu disebut gundik, kini berganti nama menjadi open BO atau cewek simpanan

Sebuah komplek prostitusi di Jakarta tahun 1948
Foto: gahetna.nl
Sebuah komplek prostitusi di Jakarta tahun 1948

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Dr Wiharyani SP MSi, Doktor Kriminologi, Widyaiswara Kemenkum

Baca Juga

Di balik sorotan kamera dan gemerlap kuasa, masih hidup kenyataan yang tak banyak dibicarakan secara jujur: relasi transaksional antara perempuan dan laki-laki yang timpang secara ekonomi, sosial, maupun kuasa. Dari zaman kolonial hingga hari ini, pola itu nyaris tak berubah. Dulu disebut gundik, kini berganti nama menjadi “open BO” atau “cewek simpanan”, namun intinya sama: perempuan dijadikan objek, tanpa perlindungan, tanpa pengakuan.

Sejak masa Hindia Belanda, praktik pergundikan menjamur di kalangan pejabat dan orang Eropa. Para perempuan pribumi menjadi pendamping setengah sah, menjalani hubungan yang tanpa ikatan hukum, namun kerap menghasilkan anak dan dampak sosial yang kompleks. Sayangnya, gundik tidak diakui sebagai istri, dan anak-anak mereka pun kerap dipinggirkan. (Suryaningrum, 2023)

Di era sekarang, kasus yang ramai diperbincangkan di media sosial tentang LM, yang mengaku memiliki anak dari hubungan dengan RK, mantan Gubernur Jawa Barat, mengingatkan kita bahwa persoalan ini belum selesai. Meski telah dibantah dan diselesaikan secara hukum bertahun lalu, kasus ini membuka kembali perdebatan soal prostitusi, tanggung jawab moral, dan hak perempuan.

Pertanyaannya, jika hubungan yang terjadi sejak awal adalah relasi prostitusional, berdasarkan transaksi, apakah kemudian salah satu pihak berhak menuntut tanggung jawab?

Di sinilah pentingnya menempatkan persoalan ini dalam paradigma baru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku mulai 2026. KUHP baru tidak lagi melihat hukum pidana semata sebagai alat penghukuman, tetapi juga sebagai instrumen restoratif dan rekonstruksi moral sosial.

Dalam konteks prostitusi, KUHP baru tidak serta-merta mengkriminalisasi perempuan pekerja seks, melainkan mendorong pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pemulihan sosial, dengan memperhatikan akar persoalan, yakni eksploitasi, kemiskinan, dan ketimpangan.

Namun, dalam KUHP baru itu pula ditegaskan batas moral dan norma kesusilaan, termasuk pasal-pasal soal kohabitasi, perzinaan, dan norma hidup bersama di luar ikatan pernikahan. Negara mulai kembali menegaskan bahwa kebebasan seksual memiliki batas, dan bahwa tanggung jawab moral bukan hanya milik satu pihak. Laki-laki yang menggunakan jasa seks komersial tetap memikul beban etis, apalagi bila kemudian lahir anak dari hubungan tersebut.

Di sisi lain, perlu ditegaskan pula jika seorang perempuan secara sadar menjual tubuhnya sebagai bagian dari transaksi seksual, maka risiko sosial, emosional, bahkan hukum atas relasi tersebut adalah bagian dari konsekuensi logis. Ini bukan untuk menyalahkan, melainkan untuk menegaskan posisi bahwa prostitusi tidak menjamin hak, apalagi legitimasi.

Teori Routine Activity dari Cohen dan Felson (1979) juga memperkuat hal ini. Kejahatan atau pelanggaran sosial terjadi ketika ada pelaku potensial, target yang tersedia, dan lemahnya pengawasan. Prostitusi, dalam banyak kasus, menjadi lahan subur bagi ketidakadilan karena ketiadaan hukum yang melindungi secara utuh.

Namun perlu digarisbawahi anak yang lahir dari hubungan apa pun tetap berhak hidup layak dan mendapatkan pengakuan hukum. Tes DNA dan mekanisme pengadilan bisa digunakan untuk memastikan kebenaran, tanpa harus mengangkat atau menjatuhkan martabat salah satu pihak.

Bagi perempuan, tulisan ini adalah seruan bahwa tubuhmu bukan komoditas. Kekayaan yang datang dari menjual diri tak akan sebanding dengan luka yang datang kemudian. Negara, lewat KUHP baru, mulai memberi ruang perlindungan, tapi pilihan terbaik tetaplah pada pemberdayaan diri melalui pendidikan dan kerja keras.

Dan kepada para laki-laki, khususnya yang memiliki jabatan publik, jangan jadikan kuasa sebagai tameng untuk menghindari tanggung jawab. Jika Anda berani mengambil, maka beranilah pula menanggung akibatnya. Moralitas tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Jika bangsa ini ingin lebih beradab, maka hukum dan akhlak harus berlaku untuk semua, tak peduli status sosialnya.

 

Referensi

Suryaningrum, N. (2023). Regulasi prostitusi pada masa Hindia Belanda: Sebuah tinjauan sejarah hukum. Historia: Jurnal Sejarah, 9(2), 112-130.

Ramadhani, S. (2022). Prostitusi dalam tinjauan hukum di Indonesia. Tanjungpura Law Review, 5(1), 45–60.

iNews Jabar. (n.d.). Klarifikasi lengkap Ridwan Kamil soal isu selingkuh dengan Lisa Mariana. Retrieved April 2, 2025, from https://jabar.inews.id

Cohen, L. E., & Felson, M. (1979). Social change and crime rate trends: A routine activity approach. American Sociological Review, 44(4), 588–608.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement