
Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Beberapa waktu terakhir, sejumlah akademisi menyampaikan pandangan kritis terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Akan tetapi, langkah para akademisi itu mendapatkan resistensi berupa tuduhan "melampaui batas akademik" dan "terjun ke ranah politik praktis".
Tuduhan seperti ini menyiratkan pesan bahwa seolah mengkritik pemerintah sama dengan melakukan politik praktis.
Sementara itu, di saat yang sama, survei menunjukkan bahwa masyarakat berharap kampus bersikap kritis dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal ini menunjukkan besarnya harapan publik terhadap kampus untuk menjadi mercu suar perjalanan bangsa.
Dalam tulisan ini akan diurai secara filosofis, bagaimana memahami makna politik, peran akademisi, dan bagaimana keduanya berkaitan dalam sistem demokrasi yang sehat.
Politik: urusan kebaikan bersama
Istilah “politik” sering kali direduksi pada makna sempit: perebutan kekuasaan, manuver elite, atau transaksi elektoral. Padahal, dalam pengertian klasik sebagaimana dirumuskan oleh Aristoteles, politik adalah urusan polis—yakni urusan publik, urusan bersama.
Politik mencakup keseluruhan upaya manusia untuk menciptakan tatanan kehidupan yang adil, aman, dan bermartabat.
Dalam kerangka ini, menyuarakan kritik terhadap kebijakan negara, khususnya yang berdampak pada struktur kekuasaan sipil seperti revisi UU TNI, bukanlah tindakan partisan.
Sebaliknya, itu adalah bentuk tanggung jawab intelektual untuk menjaga bonum commune, atau kebaikan bersama.
