
Oleh : Ismail Suardi Wekke, CIDES ICMI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gemerlap kehidupan kampus yang seharusnya menjadi panggung bagi pengembangan diri dan pencarian ilmu, sayangnya, menyimpan sisi gelap yang seringkali terabaikan: kekerasan seksual.
Fenomena ini bukanlah sekadar isu pinggiran, melainkan realitas tersembunyi yang menggerogoti rasa aman dan kesejahteraan mahasiswa. Di balik tembok-tembok akademik dan hiruk pikuk kegiatan ekstrakurikuler, ancaman kekerasan seksual membayangi, meninggalkan trauma mendalam bagi para korban dan mencoreng citra institusi pendidikan tinggi.
Data dan statistik mengenai kekerasan seksual di kampus seringkali minim dan tidak akurat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk budaya patriarki yang masih kuat, rasa malu dan takut korban untuk melapor, serta kurangnya mekanisme pelaporan dan penanganan yang efektif di banyak perguruan tinggi.
Korban seringkali merasa terisolasi, tidak berdaya, dan khawatir akan stigma sosial serta potensi reviktimisasi jika beraniSpeak up. Akibatnya, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap, menciptakan lingkaran setan impunitas bagi pelaku dan ketidakpercayaan terhadap sistem.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual di kampus sangat beragam, mulai dari pelecehan verbal, sentuhan fisik yang tidak diinginkan, pemaksaan aktivitas seksual, hingga pemerkosaan. Pelaku tidak hanya terbatas pada sesama mahasiswa, tetapi juga dapat melibatkan staf akademik maupun nonakademik.
Relasi kuasa yang tidak seimbang seringkali dimanfaatkan oleh pelaku untuk memanipulasi dan mengeksploitasi korban. Lingkungan kampus yang permisif terhadap candaan seksis dan objektifikasi juga turut berkontribusi menciptakan atmosfer yang tidak aman bagi sebagian mahasiswa, terutama perempuan.
Dampak kekerasan seksual bagi korban sangatlah signifikan dan multidimensional. Trauma psikologis seperti depresi, kecemasan, gangguan tidur, hingga post-traumatic stress disorder (PTSD) dapat menghantui korban dalam jangka panjang.
Selain itu, korban juga dapat mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, bahkan hingga memutuskan untuk mengundurkan diri dari perkuliahan.
Kekerasan seksual bukan hanya merusak individu, tetapi juga mengganggu iklim akademik yang kondusif dan menciderai nilai-nilai etika serta moralitas yang seharusnya dijunjung tinggi di lingkungan pendidikan.
Untuk mengatasi realitas kelam ini, diperlukan upaya komprehensif dari berbagai pihak. Pihak kampus memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Hal ini dapat diwujudkan melalui pembentukan regulasi yang jelas dan tegas mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sosialisasi dan edukasi yang berkelanjutan mengenai consent dan batasan, serta penyediaan mekanisme pelaporan yang aman, mudah diakses, dan berpihak pada korban.
Selain itu, penting untuk memastikan adanya tim penanganan yang terlatih dan responsif, yang dapat memberikan dukungan psikologis, hukum, dan medis bagi korban.
Selain pihak kampus, peran aktif mahasiswa dan seluruh komunitas akademik juga krusial. Menciptakan budaya saling menghormati, menolak segala bentuk kekerasan seksual, dan berani “Speak up” (menyampaikan ke publik yang memiliki kewenangan) ketika melihat atau mendengar adanya indikasi kekerasan adalah langkah penting.
Dukungan dari teman sebaya dan organisasi kemahasiswaan dapat memberikan kekuatan bagi korban untuk tidak merasa sendirian.
Kekerasan seksual di kampus adalah aib yang harus segera diakhiri. Dengan kesadaran, keberanian, dan tindakan nyata dari seluruh elemen pendidikan tinggi, diharapkan kampus dapat kembali menjadi ruang aman dan nyaman bagi setiap individu untuk mengembangkan potensi diri tanpa dihantui rasa takut dan trauma.
Realitas yang tersembunyi ini harus diungkap, ditangani, dan dicegah agar masa depan pendidikan tinggi Indonesia menjadi lebih cerah dan aman bagi semua.
Memotret Kekerasan Seksual: Dari Kampus sampai ke Rumah Sakit
Gelombang kesadaran akan kekerasan seksual kian menguat, menyingkap tabir gelap yang selama ini membungkam para korban. Dari institusi pendidikan tinggi hingga bilik-bilik rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat aman, cerita-cerita pilu terus bermunculan.
Fenomena ini bukan lagi sekadar isu marginal, melainkan cerminan buram dari rapuhnya sistem perlindungan dan budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat.
Di lingkungan kampus, yang seharusnya menjadi kawah candradimuka intelektual dan moral, kekerasan seksual justru menjadi momok menakutkan. Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, senior dan junior, seringkali dimanfaatkan untuk melanggengkan tindakan bejat.
Minimnya mekanisme pelaporan yang aman dan responsif, serta budaya permisif yang cenderung menyalahkan korban, semakin memperparah situasi. Kasus-kasus yang terungkap hanyalah puncak gunung es dari trauma mendalam yang dialami banyak mahasiswa.
Ironisnya, kekerasan seksual juga merambah ruang-ruang penyembuhan, yakni rumah sakit. Pasien yang seharusnya mendapatkan perawatan dan perlindungan justru menjadi sasaran predator yang memanfaatkan kerentanan mereka.
Tindakan tidak senonoh bahkan sampai pada rudapaksa oleh oknum tenaga kesehatan, yang seharusnya mengemban amanah kemanusiaan, mengkhianati kepercayaan publik dan merusak citra institusi kesehatan.
Kenyataan pahit ini menuntut tindakan nyata dan komprehensif. Perguruan tinggi dan rumah sakit harus berbenah diri, menciptakan lingkungan yang aman dan responsif terhadap laporan kekerasan seksual.
Pembentukan satuan tugas (satgas) yang independen dan berwenang, sosialisasi mengenai consent (persetujuan), serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku adalah langkah-langkah mendesak.
Lebih dari itu, perubahan mendasar pada mentalitas dan budaya masyarakat juga krusial. Pendidikan seksualitas yang komprehensif sejak dini, penghapusan stigma terhadap korban.
Begitu pula dengan penanaman nilai-nilai kesetaraan gender adalah investasi jangka panjang untuk memberantas kekerasan seksual hingga ke akarnya.
Memotret kekerasan seksual dari kampus hingga rumah sakit adalah langkah awal untuk mengakui masalah, membangun empati, dan bergerak bersama menciptakan ruang aman bagi semua.