
Oleh : Mauluddin Anwar; Ketua Tim Pengarah Mushaf Nusantara, Ketua Bidang Kontak Kelembagaan Lemka
Pernahkah Anda membayangkan kitab suci Alquran ditulis oleh ratusan jemari terampil dari seluruh penjuru negeri hanya dalam hitungan jam? Inilah kisah di balik lahirnya Mushaf Nusantara.
Jemari-jemari terampil menari di atas kertas berukuran 100x70 cm, menorehkan tinta dengan presisi dan keindahan yang membuat Menteri Agama Nasaruddin Umar berdecak kagum. Pemandangan ini tampak di auditorium HM Rasyidi, Kementerian Agama RI, lokasi penulisan Mushaf Nusantara yang digagas Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka), berkerja sama dengan Kemenag RI. Di sini 35 kaligrafer handal dari Jakarta, Banten, dan sebagian Jawa Barat terlibat dalam penulisan.
Pada saat bersamaan, di 29 provinsi lainnya ratusan kaligrafer juga melakukan hal serupa. Bayangkan, 365 kaligrafer dari seluruh penjuru Indonesia menggoreskan tinta untuk menghasilkan sebuah mushaf Alquran berisi 600 halaman lebih, hanya dalam durasi kurang dari 10 jam!
Atas pencapaian ini, Museum Rekor Indonesia (MURI) pun mencatatkan dua rekor nasional sekaligus. Pertama, Mushaf Nusantara dengan penulis terbanyak dalam waktu tercepat. Kedua, mushaf dengan corak iluminasi nusantara terbanyak, menampilkan 106 motif yang menggambarkan kekayaan budaya dari 38 provinsi di Indonesia.
"Tentu saja ini adalah karya monumental anak bangsa, dan nanti kaligrafi juga bisa kita patenkan di UNESCO," ujar Menteri Agama dengan wajah sumringah.
Bermula dari Perayaan 40 Tahun Lemka
Semua berawal dari momen istimewa; peringatan ulang tahun ke-40 Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka). Alih-alih merayakan dengan cara biasa, Didin Sirojuddin AR, Direktur Lemka bersama jajaran pengurus dan pengasuh Pesantren Kaligrafi Lemka Sukabumi, sepakat untuk membuat sesuatu “yang abadi” — sebuah warisan yang bakal dikenang sepanjang masa. Dari sinilah muncul gagasan untuk menulis mushaf Alquran yang unik.

Awalnya, proyek ini bernama "Mushaf Lemka Nusantara". Namun, demi menghindari kesan eksklusif, sekaligus sebagai sebuah persembahan untuk bangsa, kata "Lemka" direlakan. Jadilah nama yang lebih singkat; Mushaf Nusantara.
"Bagaimana caranya membuat mushaf ini istimewa dibanding mushaf lain yang sudah ada?" Pertanyaan ini terus bergema dalam diskusi para pencetus.
Jawabannya ternyata ada di depan mata: memanfaatkan kekayaan SDM kaligrafer alumni Lemka. Selama 40 tahun perjalanannya, Lemka telah melahirkan ribuan alumni berbakat —baik dari kursus kaligrafi di Fakultas Adab UIN Jakarta sejak 1986, lalu di masjid As-Salam Ciputat, Tangerang Selatan, maupun dari Pesantren Kaligrafi Lemka Sukabumi yang berdiri sejak 1998.
Di antara mereka, banyak yang menjadi juara lomba kaligrafi tingkat internasional dan pemenang MTQ Nasional bidang Kaligrafi. Inilah aset berharga yang kemudian dimanfaatkan untuk proyek monumental ini.
Kemudian muncul angka 365, merepresentasikan jumlah hari dalam setahun. Dan ternyata kaligrafer yang berminat terlibat dalam penulisan, malah melampaui jumlah itu. Ketika nama-nama terkumpul, terungkap fakta mengejutkan, ternyata para kaligrafer ini berasal dari 30 provinsi di Indonesia, sebuah kebetulan yang pas dengan jumlah hari dalam sebulan!
Hanya delapan provinsi yang tidak melibatkan kaligrafernya, yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan enam provinsi di Papua. Dengan total 365 kaligrafer yang bersedia terlibat, maka muncullah gagasan lain; menulis Mushaf Nusantara hanya dalam waktu 10 jam!
"Ini pertama kali di Indonesia, bahkan dunia. Biasanya nulis mushaf butuh waktu berbulan-bulan. Mushaf Istiqlal bahkan ditulis hampir lima tahun," kata Didin. Namun tantangan berikutnya muncul; bagaimana menjamin agar standar tulisan tetap seragam meski melibatkan ratusan kaligrafer?
Hadirlah dua solusi. Pertama, kaligrafer yang dilibatkan hanya yang minimal pernah juara kaligrafi tingkat provinsi atau sederajat. Ini menjamin standar penulisan tetap terjaga, dan menghindari ketimpangan dalam hasil akhir.
Kedua, pada setiap halaman mushaf yang akan ditulis, telah disediakan sketsa tulisan berdasarkan standar Rasm Utsmani. Penulisan sketsa melibatkan 35 kaligrafer Lemka yang pernah terlibat dalam penulisan mushaf. Cara ini memastikan bahwa meskipun ditulis tangan yang berbeda, setiap halaman tetap memenuhi standar penulisan mushaf yang baku.
Menggunakan Corak Khat Naskhi
Ide menulis Mushaf Nusantara ini “disambar” Kasubdit MTQ Kemenag RI, Rijal Ahmad Rangkuty dalam sebuah obrolan hangat bersama Tim Pengarah Mushaf Nusantara. Walhasil, dalam waktu singkat Menteri Agama bahkan mendukung penuh sebagai sponsor, dan menjadikan proyek Mushaf Nusantara sebagai bagian “road to Festival Istiqlal III”.

Di tengah perjalanan, muncul usulan dari Dirjen Bimas Islam Kemenag RI; bagaimana jika mushaf ini ditulis dengan corak kaligrafi khas Indonesia, bukan dengan gaya Naskhi yang umum digunakan? Usulan yang tampak menarik pada awalnya —menghadirkan identitas lokal pada kitab suci.
Namun, Direkrut Lemka Didin mengingatkan bahwa kaligrafi memiliki dua dimensi utama: fungsional -- untuk dibaca, dan estetis -- untuk hiasan. Mushaf Alquran, sebagai kitab yang dibaca sehari-hari, harus mengutamakan aspek fungsional. Dan secara global, dunia Islam telah menyepakati bahwa corak Naskhi —yang bermakna "naskah" atau "teks", adalah satu-satunya gaya yang dianggap paling layak untuk penulisan mushaf.
Kesepakatan ini bukanlah keputusan sembarangan, melainkan hasil dari proses panjang selama lebih dari seribu tahun. Awalnya mushaf pernah ditulis dengan gaya Kufi dari Kufah, namun terbukti kurang praktis karena membutuhkan ribuan halaman jika diterapkan pada mushaf. Maka Khalifah Muawiyah dari Dinasti Umayah memerintahkan pencarian corak yang lebih efisien dan tetap memiliki akar lokalitas.
Dari perintah Muawiyah itulah berlangsung eksperimen selama ratusan tahun. Dimulai dengan corak Tumar, lalu Jali, Nisab, Tsuluts, Tsulutsain, hingga Muhaqqaq. Setelah penjelajahan panjang tersebut, dunia Islam akhirnya menemukan jawaban. Corak Naskhi terbukti paling cocok dan praktis untuk tulisan mushaf, kesepakatan yang bertahan hingga hari ini.
Persoalan lain yang dihadapi adalah fakta bahwa hingga kini Indonesia belum memiliki gaya kaligrafi khas Nusantara yang disepakati bersama, dan teruji secara ilmiah seperti halnya corak Naskhi. Yang ada baru sebatas gaya-gaya individual, seperti kaligrafi gaya Syaifuli —nama yang diambil Didin dari Syaiful Adnan, pelukis kaligrafi berdarah Minang yang menetap di Yogyakarta.

Gaya ini memiliki ciri khas pada bentangan kaki-kaki huruf wawu atau ra' yang menyerupai tanduk kerbau. Meski indah, Didin menegaskan bahwa "gaya Syaifuli lebih cocok masuk kategori estetis, bukan fungsional."
Keputusan menggunakan khat Naskhi pada Mushaf Nusantara bukan berarti mengabaikan kekhasan Indonesia. Justru ini adalah bentuk kebijaksanaan —memahami kapan harus mengikuti kelaziman global dan kapan mengekspresikan identitas lokal. Unsur keindonesiaan tetap hadir melalui iluminasi alias ornamen dan hiasan pinggir yang khas, sementara teks utamanya tetap ditulis dengan gaya yang telah teruji selama berabad-abad.
Ibarat sebuah rumah yang kokoh, Mushaf Nusantara memperlihatkan bahwa kita bisa memadukan fondasi universal dengan dekorasi lokal yang kaya makna, menghasilkan karya yang indah tanpa mengorbankan fungsi utamanya.
Iluminasi simbol Bhinneka Tunggal Ika
Namun perlu digarisbawahi, bahwa dalam mushaf Alquran, iluminasi bukan sekadar hiasan pinggir yang mempercantik halaman. Tim Lemka memahami betul filosofi ini sejak awal perencanaan Mushaf Nusantara.
Seperti akar katanya "to illuminate" yang berarti memberi cahaya atau menerangi, iluminasi dalam mushaf berperan untuk mendukung —bukan mengalahkan, kehadiran ayat-ayat suci. Menurut Martin Lings dalam bukunya "The Quranic Art of Calligraphy and Illumination", mushaf yang baik harus memiliki keserasian antara keindahan visual dan keterbacaan teks, antara ekspresi hiasan dan tulisan. Perpaduan ini merupakan buah dari intelektualitas dan imajinasi, kepekaan artistik, dan keterampilan teknis yang mumpuni.
Memahami pentingnya aspek ini, Lemka tidak main-main dalam penggarapan iluminasi Mushaf Nusantara. Lemka melibatkan Dr. Achmad Haldani, M.Sn, pakar iluminasi yang pernah menggarap Mushaf Istiqlal, sebagai konsultan ahli. Pengerjaan desain, digitalisasi, dan pewarnaan melibatkan puluhan iluminator manual dan digital —semuanya santri atau alumni Lemka yang telah teruji kemampuannya sebagai juara MTQ Kaligrafi Nasional kategori Hiasan Mushaf atau Dekorasi. Kolaborasi antara pakar berpengalaman dan seniman muda berbakat ini melahirkan iluminasi yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga kaya makna.
Sesuai dengan namanya "Mushaf Nusantara", iluminasi yang menghiasi setiap lembaran dirancang untuk menggambarkan konsep kesatuan dalam keragaman budaya Indonesia, mewujudkan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam bentuk visual. Unsur lokalitas menjadi sangat dominan pada motif iluminasinya, dengan representasi dari 38 provinsi di Tanah Air. Bayangkan ketika Anda membuka mushaf ini kelak, setiap ornamen, setiap lekuk dan garis, setiap kombinasi warna menceritakan kekayaan budaya dari Sabang sampai Merauke, menghadirkan Indonesia dalam balutan keindahan Alquran.

Setelah desain iluminasi rampung, tercatat ada 106 motif berbeda yang menghiasi Mushaf Nusantara. Artinya, dari setiap provinsi diambil tiga hingga empat motif khas. Dari Jawa Barat, misalnya, muncul motif Batik Kujang, Mega Mendung, dan Wadasan yang begitu kental dengan identitas Sunda. Sementara dari Sulawesi Utara hadir motif Cakalang, Tinutuan, Manguni, dan Kawung Manado.
Keberagaman motif ini bukan sekadar koleksi pola dekoratif, tetapi peta visual kebudayaan Indonesia yang dirangkai dengan penuh rasa cinta Tanah Air. Melalui iluminasi ini, Mushaf Nusantara tidak sekadar mengandung firman Allah, tetapi juga cermin keindahan Indonesia —sebuah masterpiece yang mempertemukan spiritualitas Islam dengan kekayaan budaya lokal dalam harmoni yang sempurna.
Mendobrak Kevakuman Tradisi
Rekor "penulis terbanyak" yang ditorehkan Mushaf Nusantara membuka mata kita akan satu fakta, bahwa Indonesia telah melahirkan ratusan kaligrafer berkualitas internasional. Mereka bukan sekadar jago kandang, tapi jagoan yang kerap mengalahkan kontestan dari Timur Tengah dalam kejuaraan kaligrafi Arab di negeri asal tulisan tersebut. Secara geografis para kaligrafer itu tumbuh "di pinggiran" peradaban Arab, tapi justru mampu mengungguli mereka dalam seni kaligrafi Arab! Dalam 16 kejuaraan kaligrafi internasional yang sebagiannya diselenggarakan di Timur Tengah, Turki dan Iran, kini kaligrafer Indonesia selalu mendominasi. Dan sebagian besarnya adalah alumni Lemka.
Kehadiran Mushaf Nusantara juga seperti membangunkan kembali tradisi seniman Muslim masa silam yang mengekspresikan cintanya pada Alquran melalui penulisan mushaf. Setelah hadir era mesin cetak hingga komputer dan kini era digital, tradisi menulis mushaf seolah terlupakan. Sejak Mushaf Istiqlal diresmikan Presiden Soeharto tepat 30 tahun lalu (1995), hanya beberapa mushaf seperti Mushaf At-Tin dan Mushaf Sundawi yang muncul, lalu kekosongan panjang mengikuti. Semoga Mushaf Nusantara menjadi pendulum yang mengayunkan kembali semangat kreativitas anak bangsa untuk melahirkan mushaf-mushaf baru dengan beragam keunikan tulisan dan corak iluminasi.
Tentu tradisi menulis mushaf ini sejak dini perlu ditanamkan secara masif kepada para santri di pesantren dan siswa madrasah. Selama ini, pendidikan Alquran terlalu menitikberatkan pada kemampuan membaca (tilawah dan tahfidz). Padahal dalam Alquran, perintah membaca (iqra') juga diikuti perintah menulis (alladzi ‘allama bil qalam). Menulis Alquran bukan hanya mengasah keterampilan tangan, tapi juga melatih kesabaran, ketelitian, dan kedekatan dengan kalam Ilahi.
Lambat laun, cinta pada membaca dan menulis Alquran akan menumbuhkan kepekaan estetis dan kehalusan budi pada generasi muda. Dengan sendirinya seni kaligrafi dan iluminasi mushaf bakal menghadirkan wajah "Islam budaya" yang lebih damai, sejuk, dan indah, sebuah penyeimbang dari "wajah Islam politik" yang “sangar” dan kerap hadir di ruang publik kita. Bukankah ini sejalan dengan sabda Rasulullah bahwa Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan?
Melalui Mushaf Nusantara, kita diingatkan bahwa Islam tidak hanya hadir dalam diskusi politik dan perdebatan teologis atau khilafiyah fikih, tapi juga dalam goresan pena yang menari di atas kertas, menciptakan keindahan yang menenangkan jiwa, dan menghaluskan akal budi.
Wallahu a’lam bi as-shawab