Ahad 06 Apr 2025 17:41 WIB
Mushaf Nusantara (3-Habis)

Mengapa Warna Emas Sangat Dominan Pada Iluminasi Mushaf?

Keindahan visual dapat menghadirkan kedalaman spiritual.

Kaligrafer menyelesaikan proses pembuatan Mushaf Nusantara di Gedung Kementerian Agama RI, Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kaligrafer menyelesaikan proses pembuatan Mushaf Nusantara di Gedung Kementerian Agama RI, Jakarta, Rabu (19/3/2025).

Oleh : Mauluddin Anwar, Ketua Tim Pengarah Mushaf Nusantara, Ketua Bidang Kontak Kelembagaan Lemka

Meskipun diprotes kalangan ulama fikih, penorehan warna emas pada iluminasi mushaf terus berlanjut. Ekspresi cinta seniman muslim pada keagungan kitab suci.

Pada awalnya, mushaf Alquran adalah sebuah naskah polos. Menyusul saran Umar bin Khattab agar Alquran segera dikodifikasi dan ditulis, para penulis awal lebih fokus pada kemurnian dan akurasi teks. Tiada hiasan sedikit pun, bahkan corak kaligrafinya sangat sederhana, tanpa titik maupun harakat. Kekhawatiran utama mereka sederhana, jangan sampai hiasan mengganggu kesucian firman Tuhan.

Baca Juga

Abad-abad berikutnya, lambat laun para penulis dan seniman kaligrafi memasukkan unsur hiasan alias iluminasi dalam penulisan mushaf, lebih lagi ketika mereka mendapatkan perintah, sekaligus sokongan biaya dari para khalifah. Perlahan, seni iluminasi menemukan tempatnya. Bukan sekadar hiasan, melainkan "cahaya" yang memberi dimensi baru pada mushaf.

Menghindari Visualisasi Makhluk Bernyawa

Pertanyaannya, apa yang bisa dihadirkan para seniman sebagai motif ornamen pada iluminasi mushaf? Sejak awal, para seniman kaligrafi cenderung menghindari penggambaran makhluk bernyawa —manusia atau hewan, karena dianggap berisiko mengarah pada kemusyrikan, penyembahan selain Allah. Namun, larangan ini tidak mematikan kreativitas, malah membuka pintu pada hadirnya keindahan yang lebih abstrak.

Menurut Martin Lings dalam The Quranic Art of Calligraphy and Illumination, para seniman muslim kemudian menggali pesan-pesan kitab suci. Salah satunya tertera pada surat Ibrahim ayat 24-25 yang  menggambarkan "kalimah thayyibah" melalui metafora pohon: berakar kokoh, bercabang ke langit, dan selalu berbuah. Sebuah lambang kehidupan yang tak terbatas.

Maka lahirlah motif floramorfis atau syujayrah (pohon-pohon mini) yang menjadi jiwa seni iluminasi. Motif pohon, bunga, dan daun yang bercabang tak berujung menjadi simbol ketakterhinggaan. Bayangkan, setiap halaman mushaf berubah menjadi semesta kecil. Garis-garis emas yang membentuk ornamen floramorfis bagai cabang-cabang pohon hayat, merambat tanpa batas. Palmette dan arabesk yang ritmis kian memperindah ornamen iluminasi mushaf.

photo
Iluminasi halaman Mushaf Alquran Nusantara Khas Sulawesi Selatan - (Lemka)

Menurut Lings, penggunaan motif floral pada iluminasi mushaf terus berkembang dan bertahan hingga kiwari, menyesuaikan dengan corak lokalitas di mana mushaf itu ditulis.

Dominasi Warna Emas

Selain motif floramorfis, penggunaan warna emas -- atau bahkan emas murni, sangat menonjol pada iluminasi mushaf, sejak awal abad ke-9 hinggi kini. Dari mushaf yang masih bertahan, diketahui bahwa penggunaan emas, atau warna emas, pertama kali muncul dalam manuskrip Alquran pada masa pemerintahan khalifah 'Abd al-Malik dan putranya, al-Walid I dari dinasti Umayyah.

Pada era itu, warna emas bahkan dimanfaatkan sebagai tinta untuk penulisan teks kaligrafinya, bukan sekadar hiasan mushaf. Corak kaligrafi yang digunakan untuk penulisan Alquran adalah gaya Kufi bersudut yang masih sederhana.

Khalifah secara jor-joran mensponsori penulisan mushaf bertinta emas nan mewah, yang dikirim dan disumbangkan ke masjid-masjid di kota-kota besar. Tindakan itu, menurut Umberto Bongianino, dosen Seni dan Arsitektur Islam Oxford University, untuk memamerkan kepada publik bahwa Alquran “versi istana” secara kualitas lebih unggul daripada versi Alquran yang “tidak sah” dan banyak beredar di kalangan masyarakat. Jauh sebelum mesin cetak ditemukan, umat Islam saat itu banyak yang menyalin sendiri kitab suci agar bisa membacanya. Tentu, selain tulisannya sangat sederhana, juga berpotensi tak luput dari salah tulis.

photo
Iluminasi halaman Mushaf Alquran Nusantara Khas Bali - (Lemka)

Menurut Bongianino, selain untuk menyimbolkan kesalehan dan kepedulian penguasa pada komunitas Muslim, penggunaan emas dalam tulisan dan dekorasi mushaf nan mewah juga guna mengimbangi kitab Injil yang kala itu dihiasi juga dengan ornamen-ornamen mewah. Apalagi, sebagian seniman yang direkrut istana adalah para mualaf yang sangat terlatih dalam skriptoria Bizantium atau Suryani.

Saking dominannya warna emas pada iluminasi mushaf, dalam bahasa Arab (khususnya di kawasan Mesir) seni iluminasi mushaf dikenal sebagai fann at-tadzhib. Tadzhib seakar dengan kata dzahab, yang berarti emas. Penggunaan warna emas pada iluminasi mushaf berlaku hampir di seluruh wilayah Islam.

Tengok saja mushaf yang lahir di era dinasti Mamluk (kini kawasan Mesir dan Suriah) di abad pertengahan. Pada masa yang dikenal sebagai puncak kejayaan seni iluminasi mushaf sepanjang sejarah Islam, dominasi warna emas tampak pada bingkai, nama surah, dan ornamen halaman mushaf.

Iluminasi emas nan rumit dan detail juga tampak pada mushaf karya dinasti Safawiyah di Iran (abad ke-16 dan17). Sedangkan dekorasi warna emas pada mushaf Turki Utsmani sangat sophisticated. Juga pada mushaf dinasti Mughal (India) yang memadukan corak dekorasi Persia dan India. Tak kalah indah sapuan warna emas pada iluminasi mushaf Andalusia, yang mencerminkan perpaduan budaya Islam dan Eropa.

Di Indonesia, penggunaan warna emas pada mushaf sangat lazim, baik yang ditulis beberapa abad silam maupun yang kontemporer. Lihatlah misalnya Mushaf La Lino di Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat. Warna emas pada mushaf yang ditulis abad ke-19 itu sangat dominan, di samping warna merah, hijau, biru dan kuning. 

photo
Iluminasi halaman Mushaf Alquran Nusantara Khas Sulawesi Tenggara - (Lemka)

Pada mushaf kontemporer seperti Mushaf Istiqlal, Mushaf At-Tin, dan Mushaf Sundawi, warna emas juga sangat menonjol. Bahkan Mushaf Sundawi yang diprakarsai Gubernur Jawa Barat saat itu, R. Nuriana,  menghabiskan 1.500 gram emas prada dan 1000 gram emas murni serbuk. Mushaf Sundawi diresmikan Nuriana pada 25 januari 1997. 

Pada iluminasi Mushaf Nusantara yang ditulis serentak oleh 365 kaligrafer Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka) dalam durasi 10 jam, 19 Maret lalu, unsur warna emas juga sangat kental. Awalnya, Achmad Haldani, pakar iluminasi sekaligus konsultan ahli Mushaf Nusantara mengusulkan penggunaan warna emas mencapai 45 persen, agar sesuai dengan jargon Indonesia Emas 2045. 

“Tapi pada kenyataannya, warna emas lebih mendominasi, mencapai 60 persen lebih,” kata Hilmi Munawar, Ketua Tim Iluminasi Mushaf Nusantara.

Memicu Reaksi Ulama Fikih 

Didin Sirojuddin, Direktur Lemka sekaligus inisiator Mushaf Nusantara mengungkapkan, “pengemasan” (tadzhib)  -- peneraan unsur warna emas yang dominan pada mushaf, tak luput dari perdebatan yang lumayan sengit, dan berlarut-larut. Itu terjadi ketika para ahli fikih muncul sebagai kritikus seni rupa, dengan mengharamkan penggunaan warna emas untuk mushaf. 

Malik bin Anas -- darinya lahir mazhab Maliki, misalnya, pada abad ke-8 menolak ornamentasi halaman-halaman mushaf dengan pola iluminasi dari emas. Alasannya, kilau warna emas akan "mengganggu konsentrasi pembaca saat mendaras ayat-ayat suci." 

photo
Iluminasi halaman Mushaf Alquran Nusantara Khas DKI Jakarta - (Lemka)

Penolakan inilah yang menjadi salah satu rujukan sejumlah ahli fikih hingga kini, yang menentang penulisan kaligrafi pada dinding masjid atau mushala, bahkan jika tulisan itu berisi ayat-ayat kitab suci. Alasannya sama, karena khawatir bisa mengganggu kekhusyuan muslim yang sedang salat. 

Begitupun, tak sedikit yang membela kubu seniman iluminasi mushaf. Salah satunya Ibnu Khaldun, ulama sekaligus bapak sosiolog. Penulis buku magnum opus Muqaddimah itu menimpali, "sekiranya Alquran memancarkan cahayanya dengan warna emas, maka penggunaan tinta emas untuk penulisan mushaf hukumnya wajib!”

Didin mengaku sependapat dengan Ibnu Khaldun. Ia merujuk perintah Allah kepada Nabi Musa; Tulislah Taurat dengan tinta emas! “Bagi saya, Kitab Suci Taurat tentulah sama dengan Kitab Suci Alquran,” tegas Didin. 

Sejak kritik dari kalangan ulama fikih itu mengemuka, nyatanya tradisi menghias mushaf dengan dominasi warna emas terus berkembang, dan mencapai puncak keemasannya berabad-abad kemudian. Para seniman seperti menafikan kekhawatiran sebagian ulama fikih, seraya menegaskan, bahwa penggunaan warna emas justru merupakan ekspresi penghormatan atas keagungan kalam Tuhan. Ini seperti ditegaskan Martin Lings dalam bukunya, emas adalah simbol transendental keagungan Tuhan.

Begitulah, seperti kata asalnya, "illuminate" (memberi cahaya),  para iluminator tidak sekadar menghias, tapi mereka "menerangi" mushaf. Setiap goresan, setiap warna yang mereka torehkan adalah ungkapan rasa ta'zim (penghormatan) tertinggi kepada kitab suci. Dan penorehan warna emas adalah puncak kekaguman mereka pada Zat Yang Tak Tertandingi.

“Keindahan visual dapat menghadirkan kedalaman spiritual”. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement