Kamis 13 Mar 2025 17:01 WIB

Defisit APBN: Masih Terkendali atau Mulai Berisiko?

Pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk meningkatkan pendapatan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati hadir menjadi pembicara peluncuran buku Mr Clean Marie Muhammad (Sang Pejuang Antikorupsi dan Aktivis Kemanusiaan) di Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2025).
Foto: Republika.co.id/Erik Purnama Putra
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati hadir menjadi pembicara peluncuran buku Mr Clean Marie Muhammad (Sang Pejuang Antikorupsi dan Aktivis Kemanusiaan) di Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2025).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Syafruddin Karimi, Departemen Ekonomi Universitas Andalas

Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus menjadi sorotan. Per Februari 2025, pemerintah mencatatkan defisit sebesar Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah masih meyakini angka ini sesuai dengan target APBN yang menetapkan defisit sebesar 2,53 persen dari PDB.

Namun, tren penerimaan pajak yang terus melemah menimbulkan pertanyaan besar: apakah defisit APBN masih dalam kendali atau mulai memasuki zona risiko?

Penerimaan Pajak Terus Anjlok

Sumber utama pendapatan negara berasal dari pajak, tetapi realisasinya semakin jauh dari target. Hingga Februari 2025, penerimaan perpajakan baru mencapai Rp 240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahunan. Penerimaan pajak bahkan anjlok 30,2 persen dibandingkan Februari 2024, hanya mencapai Rp 187,8 triliun.

Penyebab utama penurunan pajak berasal dari lemahnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri. Pemerintah batal menaikkan tarif PPN dari 11 persen ke 12 persen, menyebabkan penerimaan dari pajak konsumsi tidak meningkat sesuai ekspektasi. Di sisi lain, Pajak Penghasilan (PPh) badan turun drastis, mencerminkan kinerja korporasi yang lebih lemah dibandingkan tahun sebelumnya. Jika tren ini berlanjut, maka target penerimaan negara sebesar Rp 3.005,1 triliun akan semakin sulit tercapai.

Belanja Negara Tetap Tinggi

Sementara penerimaan negara melemah, belanja negara terus meningkat. Hingga Februari 2025, pemerintah telah menghabiskan Rp 348,1 triliun atau 9,6 persen dari target APBN. Belanja non-kementerian dan lembaga (non-K/L) mencatat kenaikan yang cukup tinggi, mengindikasikan alokasi yang lebih besar untuk subsidi dan pembayaran bunga utang. Transfer ke daerah juga naik lebih cepat dibanding belanja kementerian dan lembaga, yang bisa menjadi beban jika tidak dikelola dengan efisien.

Jika pemerintah tidak mengendalikan pertumbuhan belanja, sementara penerimaan negara terus melemah, maka defisit APBN akan semakin melebar. Pemerintah bisa saja menutupi defisit dengan utang, tetapi langkah ini memiliki konsekuensi serius bagi stabilitas ekonomi.

Risiko Defisit yang Meningkat

Defisit APBN yang saat ini berada di angka 0,13 persen dari PDB memang masih dalam batas aman. Pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk mengelola pembiayaan tanpa harus melakukan pemotongan belanja secara agresif. Namun, jika penerimaan negara terus gagal memenuhi target, maka pemerintah harus mencari alternatif lain untuk menutup selisih anggaran.

Salah satu langkah yang kemungkinan akan diambil adalah peningkatan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Jika pemerintah terlalu bergantung pada utang untuk menutupi defisit, maka biaya pembayaran bunga akan semakin tinggi.

Investor akan meminta imbal hasil yang lebih besar jika melihat risiko fiskal meningkat. Jika situasi ini tidak segera dikendalikan, maka defisit APBN bukan hanya masalah angka di atas kertas, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas makroekonomi.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Pemerintah perlu bertindak cepat untuk memastikan defisit tidak keluar dari jalur yang telah dirancang. Salah satu langkah paling krusial adalah meningkatkan kepatuhan pajak. Penerimaan pajak masih memiliki potensi besar untuk digenjot jika pengawasan dan reformasi perpajakan dijalankan dengan lebih tegas. Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap sektor yang selama ini kurang optimal dalam kontribusi pajak.

Selain itu, pemerintah harus lebih selektif dalam belanja negara. Anggaran harus difokuskan pada sektor yang memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Jika anggaran tetap dialokasikan ke belanja yang kurang produktif, maka beban fiskal akan semakin berat tanpa memberikan manfaat ekonomi yang maksimal.

Dalam jangka pendek, pemerintah juga perlu mempertimbangkan diversifikasi sumber pendapatan negara. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dapat menjadi solusi untuk mengurangi tekanan pada pajak. Optimalisasi pendapatan dari sumber daya alam dan dividen BUMN bisa memberikan kontribusi tambahan yang signifikan terhadap APBN.

Kesimpulan

Defisit APBN masih dalam batas aman, tetapi tren pelemahan penerimaan pajak bisa mengubah situasi dengan cepat. Jika pemerintah tidak segera memperbaiki strategi perpajakan dan pengelolaan belanja, maka risiko fiskal akan meningkat. Mengandalkan utang untuk menutup defisit hanya akan menambah beban di masa depan.

Pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengoptimalkan belanja agar defisit tetap terkendali. Jika tidak, maka ketidakstabilan fiskal bisa menjadi ancaman serius bagi perekonomian Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement