![](https://static.republika.co.id/uploads/images/widget_box/ketua-dewan-penasihat-posko-pilihan-rakyat-ppr-tamsil_230609114251-291.png)
Oleh : Tamsil Linrung, Wakil Ketua DPD RI
REPUBLIKA.CO.ID, Anggaran adalah cermin jiwa negara. Semakin jernih pengunaannya, semakin meruyak muruah bangsa.
Meski memantik kontroversi, kebijakan pemotongan anggaran sebesar Rp306,69 Triliun sejatinya bukan langkah mundur. Keputusan ini wujud rasionalisasi dan rekalibrasi guna memastikan pembangunan nasional sesuai dengan prioritas dan realitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemotongan anggaran terdiri atas dua cluster besar yakni pemotongan belanja kementerian dan lembaga Rp256,1 T dan penyesuaian alokasi dana transfer ke daerah (TKD) Rp50,59 T. Lalu tidak sedikit yang gelisah. Bagaimana negara menyeimbangkan efisiensi, keadilan, pembangunan, dan pengelolaan sumber daya yang terbatas sembari menjaga hak-hak warga negara?
Efesiensi memang menawarkan paradoks. Di satu sisi keterbatasan anggaran acapkali dipandang menghambat laju pembangunan, tetapi di sisi lain dapat menjadi katalisator inovasi dan optimasi sistem. Tulisan ini berupaya fokus pada sisi kedua, mencoba membangun optimisme di antara deretan kritik risiko perlambatan ekonomi.
Bagaimana pun, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 telah terbit. Kebijakan ini bisa dimaklumi sebagai konsekuensi logis dari defisit APBN.
Kini, tak ada kata mundur. Pilihan terbaiknya adalah beradaptasi dengan keterbatasan sembari membangun jalan keluar inovatif. Sebab jika dikelola dengan baik, pemangkasan akbar ini dapat menjadi pintu masuk mendekonstruksi budaya birokrasi yang seringkali terjebak dalam ritual administratif. Juga bukan tidak mungkin justru membuat Indonesia bertumbuh lebih tangguh.
Lamat-lamat, kecendrungan itu perlahan terlihat. Kementerian dan lembaga mulai menyesuaikan diri. Kementerian Perindustrian, misalnya, menerapkan skema kerja di luar kantor atau work from anywhere (WFA) yang dipandang membantu mengurangi biaya listrik, air, dan transportasi.
Tetapi efesiensi tentu bukan sekadar mengurangi pemakaian sumber daya. Di belakangnya harus terbangun strategi transformasi sistemik agar tata kelola tetap responsif, inklusif, dan berorientasi pada dampak nyata. Dalam konteks pembangunan bangsa, efisiensi harus dibarengi optimalisasi sumber daya melalui inovasi administratif, pemanfaatan teknologi, dan sinergi multipihak.
Kebijakan penghematan anggaran hanya bermakna jika selaras dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Maka efesiensi tidak boleh mengorbankan kesejahteraan rakyat. Karena justru untuk itulah tujuan kita berbangsa dan bernegara.
Bagaimana pun, anggaran Transfer ke daerah (TKD) yang menyusut Rp50,59 T merupakan ujian nyata bagi daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sebagai wakil daerah di pusat pemerintahan. Apalagi, menurut Litbang Kompas 25 April 2024, ketergantungan fiskal daerah terhadap dana transfer pusat masih tinggi, mencapai 79,4%.
Sebenarnya, daerah tetap berpotensi mendapat tambahan dana. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah memaksimalkan strategi policy coherence, yakni menyelaraskan atau mengintegrasikan program daerah dengan program prioritas pada peta jalan nasional. Karena itu daerah tidak boleh berjibaku dalam kubangan ego sektoral.
Semakin daerah responsif terhadap agenda nasional, semakin terbuka peluang mendapatkan sumber dana alternatif. Selain membuka kerjasama dengan pihak swasta melalui skema public private partnership (PPP), pendekatan terbaik lainnya adalah membangun dialog struktural dengan Pusat agar dapat mengidentifikasi kebijakan strategis nasional lebih detail.
Sebagai wakil daerah, menjadi kewajiban bagi DPD untuk aktif menjembatani kolaborasi dan sinergi pusat-daerah. Di waktu yang sama, juga mendorong optimalisasi potensi unik tiap daerah untuk meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan pendekatan ini, DPD berharap daerah semakin mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada APBN, sekaligus memperkuat otonomi daerah.
Papua Barat Daya misalnya. Dua-tiga hari lalu saya dan sejumlah Senator Komite IV DPD baru saja bertolak dari sana. Pertumbuhan ekonomi provinsi baru ini jauh melampaui rata-rata nasional (19,56% berbanding 4,95% nasional pada 2024). Sayangnya, angka positif ini lebih banyak bertumpu pada sektor sumber daya alam. Padahal sektor lain seperti perikanan dan kehutanan sangat potensial. Namun kontribusinya pada PNBP terlihat belum optimal.
Padahal ikan adalah sumber protein dan nutrisi. Karena itu DPD mendorong Papua Barat Daya dan daerah-daerah pesisir lainnya dapat menyusun perencanaan partisipatif untuk memperkuat program prioritas nasional seperti Makan Bergizi Gratis. Dalam konteks ini kolaborasi antar-dinas daerah dan kemampuan administrasi yang akurat menjadi faktor penentu sebagi konsekuensi kompetisi pendanaan berbasis proposal.
Pendekatan semacam itu juga menciptakan win-win solution antara Pusat dan daerah. Pusat mendapat dukungan implementasi kebijakan, sementara daerah memperoleh legitimasi politik dan sumber pendanaan alternatif. Tak hanya memompa APBD, langkah ini sekaligus mempercepat pemerataan pembangunan nasional.
Menilik fakta, tiga besar pos anggaran yang dipangkas adalah alat tulis kantor -- ATK (90%), kegiatan seremonial (56,9%) dan rapat, seminar, dan sejenisnya (45%). Efesiensi ATK dapat diimbangi dengan mengoptimalkan digitalisasi. Sementara virtual meeting bisa mensubstitusi kegiatan seremoni, rapat dan seminar.
Penggunaan platform e-government sebagai wujud digitalisasi tidak hanya mengurangi biaya tatap muka, tapi juga menggaransi prinsip transparansi dan akuntabilitas. Platform ini sekaligus mengatrol aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, atau perizinan, terutama di daerah terpencil.
Pemotongan anggaran mau tak mau mendorong prinsip value for money. Ketika satu rupiah begitu berharga, pembangunan harus meninggalkan proyek monumental dengan mengutamakan infrastruktur yang sangat esensial dan berdaya ungkit tinggi.
Saatnya daerah membuka pintu lebih lebar bagi pelibatan pendanaan swasta dan investor luar. Pengembangan energi terbarukan yang berdampak lansung pada produktivitas nasional juga perlu dipikirkan. Terlebih karena langkah ini sejalan dengan agenda presiden untuk swasembada energi.
Satu hal yang pasti, korupsi sebagai patologi kronis yang menggerogoti nadi keuangan negara harus diberantas. Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung ditantang bergerak lebih produktif agar dialektika penghematan tidak dirusak kebocoran keuangan negara dan penegakan hukum yang timpang. Apalagi, keempat lembaga penegak hukum ini tidak tersentuh pemotongan anggaran.
Ketangguhan daerah menghadapi pemotongan anggaran juga bergantung pada integritas dan tata kelola yang bersih dari korupsi. Karena itu, efektivitas monitoring dan pengawasan lembaga penegak hukum harus optimal menyentuh daerah. Saat dana yang tersedia semakin terbatas, setiap rupiah yang disalurkan harus berdampak pada kesejahteraan masyarakat.