Oleh: Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis
Belakangan, banyak pihak di Indonesia menyuarakan perlunya filsafat diajarkan di sekolah tingkat SMA. Mengikuti kurikulum pendidikan beberapa negara maju di Eropa.
Sekilas kedengarannya itu ide baik, untuk pembentukan nalar kritis siswa sejak dini. Lagi pula, bernalar kritis sudah ditetapkan sebagai salah satu dari enam ciri profil pelajar Pancasila oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
Sisi lain, ide seperti itu perlu ditinjau ulang. Mengingat tradisi pengajaran filsafat di Indonesia belum fokus dan belum efektif membangun nalar kritis pelajar. Kesalahan pada metode pengajaran filsafat akan menambah beban baru bagi para pelajar SMA nantinya.
Berdasarkan pengalaman belajar filsafat umum di kampus-kampus Indonesia selama ini, menghasilkan banyak pelajar pemula yang “trauma” dengan kerumitan filsafat. Satu semester belajar filsafat hanya menghasilkan puyeng dan mumet.
Akibat lainnya, pelajar filsafat jadi tukang kutip penggalan-penggalan kalimat para filsuf. Belajar filsafat sudah seperti belajar agama. Penuh hapalan sabda-sabda tokoh filsafat.
Di kota saya, sekian lama tradisi berfilsafat dipahami sebagai keberanian pikiran nyeleneh. Sudah dianggap keren filsafatnya, jika sudah berani membuat pernyataan-pernyataan menantang hal-hal berbau religi. Seperti selamat datang di area bebas Tuhan. Juga, silakan letakan keimanan anda di luar ruangan ini. Banyak pernyataan sejenis ini dipandang sebagai kekerenan orang-orang berfilsafat.
Jika tidak nyeleneh, berfilsafat harus bicara melangit. Ibarat pesawat, take off lupa landing. Mewacanakan gagasan-gagasan mengawang yang tak berguna bagi kehidupan bersama. Fasih bicara topik-topik metafisika, gagap dalam percakapan dunia sosial, politik, dan ekonomi. Terasing di dunia yang terpisah.
Karenanya, cara-cara filsafat diajarkan di Indonesia perlu dievaluasi dan dikoreksi sebelum diajarkan kepada siswa SMA. Tentu, kritik-kritik pengajaran filsafat di tulisan ini berangkat dari refleksi atas pengalaman saya dan testimoni teman-teman di komunitas pegiat salah satu komunitas studi filsafat di Indonesia.