
Oleh : Dr Sunan Sunarto, Ketua DPP Persatuan Ummat Islam (PUI) Bidang Dikdasmen
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Guru selalu kita tempatkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun di tengah segala tuntutan yang terus bertambah, kesejahteraan yang tak kunjung memadai, serta degradasi karakter bangsa yang begitu terasa, fenomena wibawa guru hari ini justru mulai rapuh. Padahal, mereka adalah cermin bangsa. Dari wajah guru, kita melihat siapa diri kita sebenarnya sebagai bangsa.
Saat guru-guru yang seharusnya menjadi panutan tiba-tiba terjebak dalam perilaku negatif, entah karena tekanan ekonomi, kurangnya dukungan institusi, atau lingkungan sosial yang tak mendukung, gaya hidup berlebihan ataupun segelintir oknum yang tidak tahan nafsu dan godaan, maka ini menjadi alarm bagi bangsa ini bahwa rem keteladanan mulai longgar. Jika guru kehilangan wibawa, maka generasi pun kehilangan arah.
Fenomena yang lebih memprihatinkan terlihat dari hubungan guru dan murid yang kian retak. Kita menyaksikan sendiri bagaimana siswa berani menantang dan bahkan merundung gurunya. Kasus di Banten beberapa waktu lalu hanyalah satu dari sekian banyak potret buram relasi yang dulu berdiri di atas rasa hormat.
Hak asasi manusia seolah menjadi pembenar kebebasan tanpa tanggung jawab. Guru yang menegakkan disiplin bisa dilaporkan, dicaci, bahkan dipidana. Sebuah ironi di negeri yang katanya menjunjung tinggi budaya dan tata krama.
Jika guru tak lagi dihormati, maka generasi akan tumbuh tanpa figur untuk dijadikan panutan. Dan bangsa yang kehilangan panutan akan tumbuh dalam kekosongan nilai.
Kesejahteraan yang Terluka
Lebih mengkhawatirkan lagi, riset IDEAS dan lembaga penelitian lainnya menemukan fakta bahwa banyak guru yang hidup dalam kondisi ekonomi terjepit. Dalam survei, disebutkan bahwa guru adalah profesi yang paling banyak terjerat dalam praktik pinjaman online (pinjol) ilegal, sekitar 42 dari persen korban pinjol ilegal tercatat berprofesi sebagai guru.
Temuan ini mengungkap dua hal sekaligus: (1) bahwa kesejahteraan guru jauh dari ideal, (2) bahwa guru juga menjadi korban sistem yang tak adil. Angka tersebut bukan sekadar statistik sosial ekonomi, tetapi jeritan sebuah ironi bahwa penjaga masa depan harus meminjam untuk bertahan hidup hari ini.
Bagaimana kita bisa berharap pendidikan unggul jika para pendidiknya bergulat dengan kekhawatiran membayar sewa rumah atau biaya sekolah anak sendiri? Kesejahteraan bukan kemewahan bagi guru, melainkan syarat utama kualitas.
Di sisi lain, pengalaman di beberapa daerah yang concern terhadap kesejahteraan gurunya, membuktikan bahwa ketika kesejahteraan guru diperhatikan, kualitas pendidikan meningkat signifikan. Sebaliknya, bila guru diperlakukan seadanya, maka standar pendidikan di daerah itu pun merosot.
Menyelamatkan Guru, Menyelamatkan Masa Depan Bangsa
Negara seharusnya tak cukup berhenti pada slogan hormat guru. Hormat itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan sistem pengupahan yang adil, perlindungan hukum yang kuat, dan kesempatan peningkatan kapasitas yang merata.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam memulihkan wibawa guru. Orang tua perlu mengajarkan kepada anak mereka bahwa menghormati guru bukan pilihan, tapi kewajiban moral sebagai anak bangsa.
Sekolah harus kembali menjadi ruang pembentukan karakter, bukan sekadar pusat penilaian angka-angka. Guru adalah arsitek bagi masa depan bangsa, bukan sekadar petugas penyampai kurikulum.
Kita harus sadar bahwa wajah bangsa ini tampak pada diri para gurunya. Jika mereka rapuh, maka rapuh pula masa depan kita. Jika mereka kehilangan martabat, maka hilang pula kehormatan bangsa.
Guru tidak meminta disanjung. Mereka hanya ingin diberi kesempatan untuk menjalankan peran mulianya tanpa rasa takut, tanpa rasa cemas, dan tanpa harus menyangga segalanya sendirian.
Pada akhirnya, memperbaiki pendidikan tidak hanya dimulai dari murid dulu, kurikulum dulu, atau fasilitas dulu. Ia harus dimulai dari guru, memuliakan martabatnya, menyejahterakan hidupnya, dan mengembalikan wibawanya sebagai penjaga peradaban.
Karena, Jika cermin bangsa mulai retak, bukan cerminnya yang harus disalahkan melainkan wajah yang kita pantulkan. Maka menyelamatkan guru adalah cara menyelamatkan masa depan Indonesia.
Selamat Hari Guru!