Selasa 25 Nov 2025 02:31 WIB

Harga Sebuah Foto

Berbuat baik tidak perlu menunggu kaya.

Anak-anak berteriak dan menangis saat antre untuk mendapatkan makanan di kamp Khan Younis, Jalur Gaza Selatan, Sabtu (15/6/2024). Momen Idul Adha dilalui anak-anak Gaza yang berada di Khan Younis dengan ancaman bahaya kelaparan.  Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Palestina berada di ambang krisis kelaparan, dengan 1,1 juta orang (setengah dari populasinya) mengalami bencana kerawanan pangan akibat konflik dan pembatasan akses kemanusiaan.
Foto: EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Anak-anak berteriak dan menangis saat antre untuk mendapatkan makanan di kamp Khan Younis, Jalur Gaza Selatan, Sabtu (15/6/2024). Momen Idul Adha dilalui anak-anak Gaza yang berada di Khan Younis dengan ancaman bahaya kelaparan. Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Palestina berada di ambang krisis kelaparan, dengan 1,1 juta orang (setengah dari populasinya) mengalami bencana kerawanan pangan akibat konflik dan pembatasan akses kemanusiaan.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Eko Saputra, Kepala Pendayagunaan LAZ Persis Klp Bogor Utara

Ada momen ketika sebuah gambar tidak hanya menjadi karya jurnalistik, tetapi menjadi cermin retak yang memantulkan wajah kemanusiaan kita. Pada tahun 1994, foto Kevin Carter mengguncang nurani dunia, seorang gadis kecil kurus, merangkak dengan sisa tenaga, sementara seekor burung pemakan bangkai menunggunya dari belakang.

Ia berhasil mengambil gambar dengan angel yang sempurna dan terpaksa meninggalkan gadis kecil itu sendirian, takut tertular penyakit, dan memilih prioritas pekerjaannya. Foto tersebut diambil di Sudan, Afrika Selatan dan berhasil memenangkan Pulitzer, sebuah penghargaan tertinggi dalam dunia pers.

Namun demikian trofi tersebut justru merenggut kedamaian batin sang fotografer. Dua bulan setelah menerima penghargaan, Kevin Carter mengakhiri hidupnya karena dihantui sebuah penyesalan yang tak pernah berhenti berbisik setiap malam menjelang tidurnya “Mengapa aku tidak menolong anak itu?”

Tragedi tersebut menjadi cermin bagi kita. Bahwa sering kali manusia kalah dalam ujian terpentingnya, menjadi manusia itu sendiri. Dan ironi itu nampaknya tidak jauh dari kita. Di Kota Bogor, kota sejuk, hijau, dan penuh kehidupan, masih ada anak-anak dan keluarga yang berjuang menghadapi kekurangan gizi, kemiskinan, dan keterbatasan akses layanan dasar.

Data Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan prevalensi stunting masih berada pada angka 18,2 persen pada tahun 2024, artinya hampir dua dari setiap sepuluh balita tumbuh dalam kekurangan gizi kronis yang dapat memengaruhi masa depan mereka. Sementara itu, angka kemiskinan Kota Bogor masih berada di atas 7 persen, mencerminkan ratusan ribu warga yang menghadapi tekanan ekonomi sehari-hari.

Di balik statistik itu ada wajah-wajah kecil yang tak terekspos kamera. Ada keluarga yang membagi satu piring makan menjadi dua. Ada balita yang berat badannya tak naik selama berbulan-bulan. Ada ibu yang menahan lapar agar anaknya bisa makan lebih dahulu.

Islam memerintahkan kita untuk tidak menutup mata. Allah SWT berfirman: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 1–3). Ayat ini tidak sekadar retorika; ia adalah teguran langsung. Sebab ukuran keimanan terletak pada kepedulian sosial.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika kita tak rela anak kita kelaparan, bagaimana mungkin kita membiarkan anak-anak lain merangkak dalam sunyi tanpa pertolongan?

Kisah Kevin Carter adalah pengingat, bahwa penyesalan terbesar sering lahir dari kesempatan baik yang kita biarkan lewat. Di Bogor, kesempatan itu hadir setiap hari, melalui gerakan sedekah pangan, dukungan gizi untuk balita, pendampingan keluarga rentan, serta kerja-kerja sosial yang dilakukan komunitas dan lembaga kemanusiaan.

Kita patut mengapresiasi langkah pemerintah yang berani menjadikan pemenuhan gizi anak sebagai agenda nasional. Program MBG adalah bukti nyata bahwa negara tidak tinggal diam melihat jutaan anak menghadapi risiko kekurangan gizi dan keterbatasan akses makanan sehat. Ini adalah kebijakan yang menyentuh akar masalah, bukan sekadar permukaan.

Namun, kerja besar seperti ini tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Dalam tradisi Islam, kepedulian terhadap pangan, kesehatan, dan kesejahteraan adalah bagian dari ibadah dan identitas moral umat.

Di sinilah peran lembaga kemanusiaan sangat penting. LAZ Persis Klp Kota Bogor hadir sebagai jembatan kebaikan yang amanah, resmi, dan terpercaya untuk menyalurkan zakat, infak, serta sedekah bagi warga miskin, anak-anak bergizi buruk, dan keluarga yang membutuhkan uluran tangan, sekaligus sebagai mitra strategis dalam menguatkan program pemerintah. Dengan berdonasi melalui LAZ Persis kebaikan kita sampai tepat sasaran, menjadi makanan bagi yang lapar, obat bagi yang sakit, dan harapan bagi yang hampir putus asa.

Melalui penyaluran zakat, infak, dan sedekah, LAZ Persis insya Allah mampu menjangkau keluarga rentan, anak-anak yatim, serta warga yang mungkin belum tersentuh program pemerintah. Dukungan dari masyarakat melalui lembaga zakat dapat memperluas jangkauan manfaat MBG dan memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal, tidak ada keluarga yang luput dari perhatian.

Sinergi antara kebijakan negara dan partisipasi umat adalah bentuk nyata dari ukhuwah wathaniyah sekaligus ukhuwah insaniyah. Negara menyediakan sistem, lembaga zakat memperkuatnya dengan sentuhan empati dan ketepatan sasaran, sementara masyarakat menjadi pilar yang menjaga keberlanjutan. Inilah ekosistem kebaikan yang harus terus diperluas dan mendapat dukungan dari semua pihak.

Mari kita berlomba dalam kebaikan, jangan tunggu hingga ada foto lain yang menjadi saksi keterlambatan kita. Mari bergerak sekarang, sebelum derita berubah menjadi penyesalan. Mari ulurkan tangan, ringankan beban, dan jadikan kepedulian sebagai bukti keimanan kita.

Berbuat baik tidak perlu menunggu kaya. Cukup menunggu peduli dan rasa peduli itulah yang kini sangat dibutuhkan oleh saudara-saudara kita di Kota Bogor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement