Oleh : Prof Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI
REPUBLIKA.CO.ID, Kebijakan Presiden Jokowi sangat tepat untuk mengambil alih pengelolaan Flight Information Region (FIR) yang berada di atas Kepulauan Riau. Kebijakan ini patut didukung.
Namun Perjanjian Penyesuaian FIR (Perjanjian FIR) yang Selasa lalu ditandatangani tidak merefleksikan kebijakan Presiden tersebut. Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan Perjanjian FIR sehingga para negosiator Indonesia terkecoh.
FIR yang seharusnya dikelola Indonesia dalam ketinggian berapa pun saat perjanjian efektif berlaku ternyata di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37,000 kaki didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura. Pada ketinggian tersebut bagi Singapura sangat krusial. Hal ini karena pesawat udara mancanegara melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandar Udara Changi.
Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Keselamatan harus dipastikan.
Bila FIR diserahkan ke Indonesia maka ini akan mengancam keberadaan Bandara Changi sebagai hub. Ada dua kecerdikan Singapura dalam mengecoh negosiator Indonesia.
Pertama, Singapura mengecoh dengan bermain pada isu yang sangat detail. Bagi lawyer yang menegosiasikan sebuah perjanjian ada peribahasa yang selalu menjadi panduan yaitu 'the devil is in the details'.
Maksud pribahasa ini adalah seorang lawyer untuk menang dalam bernegosiasi harus bermain di level yang sangat detail. Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail maka akan menjadi makanan empuk.
Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian.
Hal tersebut diatur dalam detail perjanjian FIR terkait pendelegasian Indonesia ke otoritas penerbangan Singapura. Bahkan pendelegasian diberikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan kedua negara.
Ini berarti pemerintah Indonesia tidak memiliki cetak biru untuk melakukan pengambilalihan. Mulai dari infrastruktur yang dibutuhkan hingga sumber daya manusia yang mengoperasikan.