
Oleh : Dr. Kuncoro Hadi, RIFA, CLOT (Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al Azhar Indonesia)
REPUBLIKA.CO.ID, Dunia perbankan syariah Indonesia saat ini menghadapi sebuah teka-teki besar: bagaimana mewujudkan prinsip fundamental Risk Sharing (Bagi Hasil) di mana risiko dan keuntungan harus ditanggung bersama, di tengah tuntutan ketat manajemen Risiko Gagal Bayar (Default Risk) ala perbankan modern. Ketegangan antara idealisme dan realitas kehati-hatian ini mencapai puncaknya setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang tentang BUMN.
Regulasi baru ini, yang bertujuan membuat BUMN lebih akuntabel layaknya perusahaan swasta, secara tak terduga menciptakan gempa bumi risiko bagi Bank Syariah yang selama ini membiayai proyek-proyek strategis BUMN. Bank Syariah kini harus mengkalibrasi ulang selera risiko (Risk Appetite) mereka: apakah mereka mampu mempertahankan cita-cita Risk Sharing ketika risiko gagal bayar BUMN menjadi risiko korporat murni yang sangat mahal?
Secara historis, pembiayaan yang disalurkan perbankan kepada BUMN selalu diperlakukan sebagai aset berisiko rendah. Asumsi ini didasarkan pada keyakinan yang lama dianut, bahwa BUMN adalah entitas strategis yang memiliki dukungan implisit dari negara (quasi-sovereign). Artinya, jika terjadi masalah atau kerugian, intervensi pemerintah akan selalu ada untuk mencegah BUMN gagal total.
Dukungan "terselubung" ini berfungsi sebagai jaminan risiko, yang memungkinkan Bank Syariah, termasuk entitas besar hasil merger, mengalokasikan modal dengan perhitungan yang efisien. Kerangka ini membuat Bank Syariah merasa relatif aman untuk masuk ke dalam pembiayaan proyek infrastruktur BUMN yang biasanya berjangka panjang dan sarat dengan ketidakpastian pendapatan.
Pasal 4B: Tembok Hukum yang Mengakibatkan Biaya Modal Melambung
Pasal 4B UU 1/2025 adalah inti dari perubahan radikal ini. Pasal tersebut secara eksplisit mendirikan "Tembok Hukum" (legal firewall) yang tegas memisahkan kerugian yang dialami BUMN dari Kerugian Negara. Meskipun tujuan mulianya adalah mendorong akuntabilitas dan profesionalisme BUMN, dampaknya terhadap bank sangat signifikan dan terukur. Bank Syariah dipaksa untuk mengklasifikasikan eksposur pembiayaan BUMN bukan lagi sebagai risiko "semi-negara" yang aman, tetapi sebagai Risiko Korporat murni, layaknya perusahaan swasta biasa.
Keputusan ini harus dikritisi karena menimbulkan beban finansial yang berat. Dalam aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Risiko Korporat murni memiliki bobot risiko (Risk Weight) yang jauh lebih tinggi. Peningkatan bobot risiko ini secara otomatis menaikkan ATMR (Aset Tertimbang Menurut Risiko) bank. Apa artinya? Artinya, untuk setiap Rupiah yang dipinjamkan kepada BUMN, Bank Syariah kini wajib mencadangkan modal inti yang jauh lebih besar agar rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio atau CAR) tetap aman.
Kenaikan kebutuhan modal ini adalah kenaikan biaya modal yang signifikan, yang pada akhirnya membatasi kapasitas Bank Syariah dalam mendistribusikan dana. Jika pembiayaan menjadi terlalu mahal secara modal, Risk Appetite Bank Syariah akan menurun, dan mereka akan didorong untuk membatasi atau bahkan menolak proyek BUMN, apalagi yang menggunakan skema Risk Sharing yang berisiko tinggi.
Dilema ini diperparah oleh kenyataan bahwa praktik perbankan syariah di Indonesia sebagian besar masih konservatif. Meskipun idealnya menggunakan akad Risk Sharing seperti Musyarakah dan Mudharabah, mayoritas pembiayaan di industri ini, termasuk Bank Syariah ‘BUMN’, didominasi oleh akad debt-based (berbasis utang) seperti Murabahah (jual beli). Akad Murabahah lebih disukai karena menghasilkan piutang yang pasti, dan risiko gagal bayarnya (risiko kredit) lebih mudah diukur dan diatasi melalui jaminan dan mekanisme restrukturisasi.
Pasal 4B kini semakin memperjelas: tanpa dukungan negara, bank akan semakin menghindari skema Risk Sharing murni karena menanggung Risiko Investasi (kerugian operasional BUMN) tanpa ada lagi jaring pengaman negara.
Mendefinisikan Ulang Kerugian: Dari Negara ke Tata Kelola
Perubahan terbesar yang dituntut oleh Pasal 4B adalah pergeseran cara pandang terhadap "Kerugian" BUMN. Kerugian tidak lagi boleh dianggap sebagai masalah yang harus diselesaikan oleh negara, melainkan harus dievaluasi sebagai Kegagalan Tata Kelola Korporat Murni. Dalam konteks Risk Sharing, kerugian murni yang terjadi bukan karena kelalaian mitra harus ditanggung bersama. Namun, dalam Fiqh, jaminan (Rahn) diperbolehkan untuk mengantisipasi moral hazard, seperti kelalaian atau pelanggaran kontrak oleh mitra.
Dengan dicabutnya jaminan implisit negara, Bank Syariah harus menciptakan pandangan baru: pencegahan kerugian terletak pada pengawasan yang ketat terhadap kinerja BUMN. Ini menuntut bank untuk bergeser fokus dari mitigasi risiko kredit (gagal bayar) menuju penguasaan mitigasi Risiko Operasional BUMN. Penilaian kelayakan kredit (Due Diligence) tidak lagi cukup hanya dengan melihat angka di neraca, tetapi harus mencakup evaluasi mendalam terhadap tata kelola perusahaan BUMN, kontrol internal, dan implementasi prinsip Environment, Social, and Governance (ESG). Dengan kata lain, risiko gagal bayar (kerugian) kini telah diubah menjadi isu Shared Governance, di mana bank harus ikut memastikan bahwa BUMN dikelola secara profesional dan bertanggung jawab.
Terobosan Solusi: Kontrak Cerdas dan Insentif Regulatori
Untuk memastikan bahwa idealisme Risk Sharing tetap dapat diharmonisasikan dengan kebutuhan manajemen risiko pasca-Pasal 4B, diperlukan terobosan solusi yang konstruktif melalui kecanggihan Financial Engineering dan dukungan regulasi.
Pertama, Mengoptimalkan Kontrak Hibrida. Bank Syariah harus memprioritaskan inovasi kontrak yang secara cerdas mengendalikan risiko. Contohnya adalah Musyarakah Mutanaqisah (MMQ), yaitu kemitraan bertahap di mana bank menjual porsi kepemilikan aset kepada BUMN seiring berjalannya waktu.
MMQ mengubah risiko investasi yang besar menjadi risiko yang lebih terukur. Solusi lainnya adalah Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT), kontrak sewa yang diakhiri dengan kepemilikan aset. IMBT sangat ideal untuk proyek Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), karena Bank Syariah menanggung risiko aset yang lebih stabil, sementara risiko konstruksi dan operasional awal dialihkan kepada BUMN sebagai penyewa. Struktur kontrak yang solid ini menjadi jaminan risiko yang lebih andal daripada jaminan implisit negara.
Kedua, Jaminan Eksternal Eksplisit dan Insentif RWA. Jaminan negara implisit yang dicabut harus diganti dengan Jaminan Eksternal Eksplisit. Pemerintah harus melibatkan lembaga khusus seperti Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) atau lembaga penjamin lainnya untuk memberikan jaminan pembayaran yang jelas dan terukur kepada Bank Syariah. Jaminan eksplisit ini memulihkan efisiensi alokasi modal bank.
Selain itu, OJK perlu mempertimbangkan pemberian Bobot Risiko Preferensial (Insentif ATMR) bagi Bank Syariah yang berani menggunakan skema Risk Sharing untuk membiayai BUMN strategis, dengan syarat tata kelola dan prinsip ESG BUMN telah teruji dengan baik. Insentif regulasi ini adalah kompensasi logis atas hilangnya perlindungan negara dan dorongan untuk mengembalikan Bank Syariah ke prinsip idealnya.
Pada akhirnya, Pasal 4B UU 1/2025 adalah tantangan yang harus dijawab oleh industri keuangan syariah dengan inovasi dan kedewasaan. Risk Appetite Syariah di era baru tidak boleh lagi bergantung pada belas kasihan negara, melainkan harus berakar pada kecanggihan financial engineering dan tata kelola risiko yang disiplin. Dengan mengadopsi kontrak hibrida yang cerdas dan mengadvokasi insentif regulasi yang adil, prinsip Risk Sharing dapat dibuktikan mampu berjalan selaras dengan tuntutan kehati-hatian prudensial. Keunggulan struktur kontrak dan pengawasan tata kelola yang transparan adalah kunci kedaulatan risiko Bank Syariah di masa depan.