Jumat 10 Oct 2025 08:40 WIB

Menjaga Pesantren sebagai Subkultur

Catatan kecil menyambut dibentuknya Ditjen Pesantren Kementerian Agama RI

Santri membaca Alquran bersama di Pondok Pesantren Darussalam, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (4/3/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Santri membaca Alquran bersama di Pondok Pesantren Darussalam, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (4/3/2025).

Oleh : Dr Tiar Anwar Bachtiar, Ketua Bidang Tarbiyah PP Persatuan Islam dan Rektor IAI Persis Garut

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cukup senang mendengar Wamenag sudah berdiskusi dengan MenPAN untuk membuka Direktorat Jenderal (eselon I) baru di Kemenag, yaitu Direktorat Jenderal Pesantren yang selama ini hanya setingkat Direktorat (eselon II) di bawah Ditjen Pendidikan Islam bersama dengan Direktorat Madrasah dan Direktorat Diktis. Dengan komposisi seperti ini mungkin Direktorat Madrasah dan Diktis pun bisa saja akan diajukan juga menjadi Direktorat Jenderal sendiri.

Jika seandainya disetujui direktorat baru ini, tentu saja ini menjadi kabar baik bagi pengelola pesantren yang selama ini seolah tersisihkan oleh madrasah dan PTKI yang diguyur anggaran lebih besar dibandingkan pesantren. Sangat mungkin postur anggaran menjadi lebih besar setelah levelnya dinaikkan dengan asumsi semakin besar dan semakin banyak program yang dapat dikembangkan pada direktorat jenderal baru ini.

Salah satu alasan mengapa “pesantren” dapat dipisahkan dari model pendidikan Islam lain, yaitu madrasah dan PTKI karena keunikannya sebagai sebuah subkultur (Abdurrahman Wahid, 1974) yang tumbuh secara original dari peradaban Islam Indonesia. Pesantren dalam denyut nadi masyarakat Indonesia bukan hanya berperan sebagai lembaga pendidikan semata, melainkan telah membentuk suatu jejaring kebudayaan dan peradaban Islam Indonesia yang khas. Penempatan “pesantren” hanya sebagai lembaga pendidikan formal seperti halnya madrasah dan PTKI memang akan mencerabut akar kultural pesantren yang sambung menyambung dengan bagian kebudayaan lain dalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia.

Dalam sebuah pesantren, seperti dikonsepkan Zamakhsyari Dhofier (Tradisi Pesantren, 1986), terdapat paling tidak lima unsur utama: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab kuning. Masing-masing dari kelima unsur inilah yang kemudian membentuk suatu subkultur khas Pesantren dalam masyarakat Islam. Oleh sebab itu, Clifford Gertz (Religion of Java, 1956) membedakan masyarakat di Jawa dalam risetnya yang legendaris dalam tiga kategori: santri, priyayi, dan abangan.

Sentrum dari sebuah pesantren adalah peran kiai-nya, karena sejarah tumbuhnya suatu pesantren adalah peran kiai yang ingin mengaplikasikan ilmu agamanya dengan menjadikan masjid sebagai pusat aktivitasnya. Secara perlahan ilmunya ia tularkan kepada masyarakat di sekitar masjid itu sehingga kemudian terbentuk komunitas masyarakat yang belajar kepada sang kiai ini. 

Semakin dikenal reputasi agama sang kiai, semakin banyak yang ingin belajar kepadanya sehingga disediakan pemondokan di sekitar masjid dan tempat tinggalnya. Hal-hal yang diajarkan oleh kiai kepada santri-santrinya terangkum dalam buku-buku teks pelajaran yang disebut kitab kuning. Pelajaran utama adalah fikih dan tasawuf, karena bidang ini adalah yang paling aplikatif untuk dijalankan oleh masyarakat umum. Tambahannya sebagai penguat adalah akidah, tafsir, hadis, dan ilmu bahasa Arab. Karena pengajaran yang bersifat aplikatif tentang hal yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan pesantren ini tumbuh dengan menjalankan konsep-konsep kehidupan sebagaimana diajarkan sang kiai. Inilah yang kemudian membentuk komunitas yang membentuk subkultur budaya Santai (pesantren) yang khas, terutama keterikatan dan ketaatan secara spiritual kepada kiai.

photo
Sejumlah santri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur membawa barang bawaan setibanya di Terminal Mengwi, Badung, Bali, Senin (17/3/2025). - (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Kalau melihat realitas budaya semacam ini, menjadi sangat memiliki alasan apabila pesantren oleh pemerintah diperlakukan secara khusus berbeda dengan sekolah biasa. Pada sekolah-sekolah biasa seperti madrasah atau PTKI, pengaruh budaya yang khas seperti yang dibentuk oleh pesantren tidak ditemukan. Sekolah atau madrasah biasa dapat diperlakukan semata-mata sebagai institusi pengajaran biasa di ruang-ruang kelas.Kepala sekolahnya berperan hanya sebagai manajer, guru-guru lebih banyak menjalankan tugas menyampaikan pelajaran-pelajaran di kelas. 

Hal semacam ini tidak berlaku di pesantren. Di pesantren kiai adalah sentrum segalanya yang sumbernya adalah kharisma spiritual. Manajemen konvensional dapat saja dijalankan, namun kekuatan utama ada pada kharisma sang kiai. Kharisma ini bahkan mengikat santri hingga akhir hayat sehingga membentuk hubungan guru-murid yang panjang setelah para santri tidak lagi belajar langsung kepada kiainya.

Berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan modern non-pesantren yang disebut sekolah atau madrasah menyebabkan sedikit demi sedikit pesantren mulai terpinggirkan. Apalagi, kekuatan pesantren yang bertumpu pada kharisma kiai juga sekaligus merupakan kelemahannya. Ketika kiai gagal menyiapkan kader pengganti yang sebanding, maka pesantrennya akan gulung tikar. 

Di pesantren yang kiainya tidak tergantikan, para penerusnya memilih untuk melanjutkan pesantren dengan pola persekolahan biasa. Pondok biasanya hanya berfungsi untuk menampung santri dari luar kota yang mau bersekolah di sana. Pesantren berubah menjadi boarding school tanpa kiai berkharisma dan pengajaran kitab-kitab kuning yang legendaris.

UU Sisdiknas tahun 2003 dan kemudian turunannya UU Pesantren tahun 2019 berusaha untuk memberikan pengakuan terhadap pesantren agar setara dengan lembaga pendidikan persekolahan dan madrasah yang sudah diatur sebelumnya oleh negara. Terlihat dalam UU Pesantren usaha untuk tetap memelihara tradisi pesantren dengan mendasarkannya pada inisiatif masyarakat. 

photo
Sejumlah santri mengikuti kegiatan kajian Kitab Kuning di Pondok PesantreneurshipPay, Desa Margaluyu, Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (20/4/2021). - (ANTARA/Adeng Bustomi)

Artinya undang-undang ini berusaha untuk menjaga tradisi ini agar tidak tergerus oleh perubahan dalam pendidikan masyarakat. Menempatkan pesantren hanya sebagai bagian dari pendidikan Islam biasa seperti madrasah memang akan mereduksi peran tradisional pesantren yang lainnya, yaitu sebagai lembaga yang dimiliki umat dan menjadi episentrum budaya mereka. Budaya yang telah memberikan kontribusi besar dalam mengokohkan nasionalisme Indonesia dan menjadi dasar bagi tegaknya negara ini tentu saja menjadi sangat penting untuk menjadi perhatian negara. Memang sudah pada tempatnya apabila pesantren diberi keleluasaan untuk bergerak bukan hanya selevel lembaga pendidikan biasa.

Pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren dapat memberikan jawaban atas persoalan di atas. Hanya saja, Direktorat Jenderal Pesantren ini jangan juga hanya merupakan perluasan kewenangan dalam menangani pesantren sebagai lembaga pendidikan semata. Ditjen ini harus memerankan fungsi pemelihara pesantren sebagai warisan budaya asli Indonesia secara utuh sebagaimana fungsi asalnya. Oleh sebab itu, Ditjen Pesantren harus terlebih dahulu memiliki misi yang kuat sebagai berikut.

Pertama, Ditjen Pesantren harus berperan untuk memelihara seluruh nilai-nilai kultural yang positif dari tradisi pesantren yang sudah berkembang selama berabad-abad ini. Misalnya, Ditjen Pesantren harus mampu menjaga heritage ke-kiai-an secara tradisional sebagai episentrum kultur pesantren. Ke-kiai-an bukanlah suatu pelabelan formal berdasarkan jenjang karir atau sekadar profesi memimpin sebuah pondok pesantren. Ke-kiai-an adalah suatu kualitas spiritual yang bersumber dari kedalaman ilmu agama dan praktiknya yang konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, bukan pada tempatnya, apabila Ditjen Pesantren kemudian mereduksi kiai hanya sebatas sebagai jabatan administratif memimpin pesantren. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement