Sabtu 11 Oct 2025 02:08 WIB

Ketika Janji Memuliakan Petani Bukan Lagi Retorika

Beras yang kita makan hari ini berasal dari tangan petani Indonesia.

Presiden Prabowo Subianto mengoperasikan mesin pemanen saat panen raya padi di Desa Randegan Wetan, Ligung, Majalengka, Jawa Barat, Senin (7/4/2025). Presiden Prabowo memimpin panen raya padi secara serentak bersama petani di 14 provinsi dan 157 kabupaten/kota sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional.
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Presiden Prabowo Subianto mengoperasikan mesin pemanen saat panen raya padi di Desa Randegan Wetan, Ligung, Majalengka, Jawa Barat, Senin (7/4/2025). Presiden Prabowo memimpin panen raya padi secara serentak bersama petani di 14 provinsi dan 157 kabupaten/kota sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh Dr Ir Endah Lisarini SE MM, Dekan Fakultas Sains Terapan Universitas Suryakancana Cianjur

Pergantian kepemimpinan adalah momen yang selalu ditunggu untuk evaluasi: Apakah janji-janji yang diucapkan di panggung politik benar-benar diterjemahkan menjadi kebijakan yang menyejahterakan rakyat? Khusus di sektor pangan, pertanyaan ini mengerucut: Sungguh Presiden Prabowo Subianto tulus memuliakan petani?

Melihat capaian sektor pangan dalam kurun waktu satu tahun (Oktober 2024 – Oktober 2025), jawabannya tampaknya jauh lebih dari sekadar retorika. Tiga pilar kebijakan utama era ini—yang tertuang dalam laporan kinerja pemerintah—menunjukkan bahwa "memuliakan petani" adalah strategi yang utuh, bukan hanya meningkatkan produksi, tetapi juga melindungi dan memberi kepastian ekonomi bagi mereka yang bergelut di lumpur.

Kepastian Harga: Jaring Pengaman Ekonomi Petani

Ketulusan seorang pemimpin terhadap petani paling nyata terlihat dari seberapa besar negara hadir saat panen melimpah. Sebelum era ini, petani sering terperangkap dalam jebakan: panen bagus, harga anjlok. Namun, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dengan tegas menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp6.500 per kilogram sejak Januari 2025.

Ini adalah jaring pengaman yang krusial. Harga ini bukan angka arbitrer, melainkan komitmen. Ketika harga GKP di lapangan pada Agustus 2025 rata-rata mencapai Rp6.760/kg, artinya HPP tersebut berhasil menjadi titik acuan yang menopang nilai jual produk petani. Dampaknya terasa langsung. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Nilai Tukar Petani (NTP) terus naik konsisten, mencapai 124,36 pada September 2025.

NTP adalah indikator kesejahteraan yang paling jujur. Kenaikan yang terjadi selama 10 bulan berturut-turut ini membuktikan bahwa petani tidak hanya dibayar atas jerih payahnya, tetapi juga memiliki daya beli yang lebih baik.

Memuliakan petani, dalam konteks ini, adalah memastikan kantong mereka tidak pernah kosong setelah musim panen.

Reformasi Pupuk: Menghapus Keluhan di Seluruh Negeri

Pupuk bersubsidi adalah isu yang selalu menjadi hantu bagi petani. Tumpang tindih regulasi, kelangkaan, dan distribusi yang lambat sering kali menggagalkan musim tanam sebelum dimulai. Laporan menyebutkan, tata kelola pupuk bersubsidi sebelumnya diatur oleh lebih dari 145 regulasi lintas kementerian. Sungguh sebuah labirin birokrasi yang mematikan efisiensi.

Langkah strategis yang dilakukan melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 adalah sebuah revolusi diam. Perpres ini menyatukan semua aturan, memangkas rantai birokrasi, dan menjamin alokasi pupuk kembali ke tingkat ideal sebesar 9,55 juta ton pada tahun 2025.

Dengan memastikan pasokan pupuk yang tepat jumlah, tepat waktu, dan mudah diakses secara digital, pemerintah sejatinya telah menghilangkan salah satu sumber penderitaan terbesar petani. Reformasi ini menghemat waktu, biaya, dan yang terpenting, menjamin bahwa setiap hektare lahan produktif mendapatkan haknya.

Dampak kolektif dari HPP yang kuat dan pupuk yang terjamin adalah suasana baru di pedesaan. Kini, tidak terdengar lagi keluhan petani di seluruh negeri. Mereka bersuka cita menyambut berbagai kebijakan yang pro rakyat kecil. Ketidakpastian telah berganti dengan kepastian, dan rasa dihormati itu melahirkan semangat untuk terus berproduksi. Ini adalah bukti tulus bahwa kemuliaan petani berbanding lurus dengan kemudahan mereka bekerja.

Kemandirian Pangan: Martabat di Mata Dunia

Hasil dari dua pilar di atas adalah lonjakan produksi yang mengembalikan martabat bangsa. Krisis beras di awal 2024 diklaim telah berbalik total. Produksi beras nasional mencapai 33,19 juta ton dan stok beras nasional menembus 4,2 juta ton—disebut sebagai angka tertinggi dalam 57 tahun sejarah Indonesia.

Capaian ini bukan sekadar statistik, melainkan simbol kemandirian. Indonesia kembali mencapai status swasembada beras. Pengakuan datang dari panggung dunia, di mana FAO memproyeksikan Indonesia sebagai produsen beras terbesar di ASEAN, melampaui Thailand dan Vietnam.

Ketika Presiden Prabowo menyampaikan pidato di Sidang Umum PBB 2025 dan dengan bangga menegaskan, “Beras yang kita makan hari ini berasal dari tangan petani Indonesia sendiri,” ia tidak hanya berdiplomasi. Ia sedang mengukuhkan kedaulatan pangan sebagai fondasi kedaulatan bangsa. Dan kedaulatan itu diwujudkan oleh tangan-tangan petani di desa.

Jika tulus diartikan sebagai tindakan nyata yang berdampak positif dan berkelanjutan, maka bukti-bukti ini cukup kuat. Kebijakan pangan era Prabowo telah berhasil mengintegrasikan produksi yang tinggi (surplus) dengan kesejahteraan petani yang terjamin (NTP naik dan HPP kuat).

Memuliakan petani adalah pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai, namun setidaknya, pada periode 2024-2025, fondasinya telah dibangun dengan kokoh di atas reformasi dan komitmen harga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement