REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum?, Pakar Hukum Tata Negara dan Dosen Univertas Khairun Ternate
Presidential threshold, belakangan ini diperbincangkan dengan nada yang semuanya negatif. Malah soal ini dibicarakan, dalam beberapa aspek, dengan nuansa propaganda yang cukup konyol dan menggelikan. Konyol karena presidential treshold dikarakterisasi sebagai instrumen politik kaum oligarki.
Karakterisasi itu, jelas menarik, bukan karena menyangkal, tetapi mencerminkan betapa jelas level pengetahuan konseptual dalam ilmu tata negara dan politik. Aristotles tak bakal menyodorkan oligarki sebagai satu jenis pemerintahan, disamping demokrasi pada level terendah, kalau presidential threshold harus dirujuk sebagai variablenya.
Sejarah tata negara di tempat lain, Inggris dan Amerika misalnya, andai diambil dan disajikan digelanggang perbincangan ini, pasti menguatkan argumen menyepelekan karakterisasi itu sebagai hal konyol. Republik Romawi, Inggris di penghujung abad ke-17 dan Amerika abad ke-18 hingga awal pertengahan abad ke-20 menyajikan data itu.
Kenyataan ketatanegaraan dan politik, menemukan dan menerima begitu saja sebutan “presiden” untuk pemegang kekuasaan eksekutif itu. Kekuasaan, yang sesuai takdir sejarahnya, dipegang seorang diri, selalu menjadi magnet untuk didekati, dan dikendalikan oleh kelompok-kelompok oligarkis.
Kelompok oligarkis, begitu temuan sejarah selalu mengandalkan hukum dalam operasi bisnis mereka. Selalu, begitu tabiatnya, oligarki bergerak mendekat, dengan berbagai cara dan tujuan pada pemegang kekuasaan ini. Mengendalikan dan mengarahkan penguasa, itu tabiat mereka.
Oligarki tahu republik mendekorasi substansinya dengan satu keharusan. Keharusan itu, berbeda pada semua aspek, dengan cara yang dipraktekan dalam kerajaan absolut menemukan pemimpin. Republik mengharuskan pemimpin politik, sebut saja presiden, diisi dengan cara dipilih oleh rakyat. Republik mensifatkan cara itu sebagai elannya.
Cara ini, dalam rekaman sejarah PPKI 1945, juga diidentifikasi sebagai satu pilihan terbaik oleh pembentuk republik Indonesia, yang sedang dalam impian untuk dibentuk kala itu. Singkatnya, memilih, bukan menunjuk atau mengangkat, disepakati oleh para pembentuk UUD 1945 pada bulan Juli 1945 sebagai cara menemukan orang yang akan menjadi presiden.
Hebat, untuk tujuan itu, PPKI menemukan dan menciptakan organ baru yang disebut MPR. Analog dengan electoral college Amerika, MPR diberi wewenang sebagai satu-satunya organ mewakili rakyat memilih presiden dan wakil presiden.
Top, orang-orang pilihan diandalkan menemukan dan menentukan siapa yang layak dan tidak layak memimpin bangsa. Sayang, hal sehebat itu dicampakan, tentu dengan segala argumentasi yang disana-sini bersandar pada demokrasi sebagai preferensi dasarnya. Kekaguman tak berdasar pada demokrasi ini, jelas risikonya. Risiko itu, sesuai catatan tak terbantahkan dalam sejarah pemilihan presiden adalah uang, yang dimonopoli kaum oligarkis muncul menjadi penentu.
Sejarah pertalian uang dengan politik cukup jelas. Fakta itu terekam utuh dalam republik Romawi. Dalam kasus republik Romawi, uang dipakai membeli para pemilih. Satu di antara mereka yang paling kasar menggunakan cara ini adalah Gaius Veres. Itulah tipikal republik Romawi abad ke-68 Masehi.
Kenyataan busuk itu menjengkelkan Cicero, ahli hukum, sekaligus negarawan terhormat. Itu menjadi sebab Cicero menemui Vigulus, senator pada senatum kala itu. Memegang wewenang membuat undang-undang, Cicero meminta Vigulus secepatnya menemukan cara mencegahnya, sekaligus memastikan pemilihan konsul terbebas dari penggunaan uang.
Vigulus merespon, dan memprakarsai pembentukan UU. Terbentulah Lex Vigula, rancangan Vigulus. Undang-undang ini, tak melembagakan treshold. Yang dilembagakan adalah larangan menggunaan uang. UU ini juga melembagakan larangan, misalnya bagi-bagi barang, pesta dan sejenisnya.
Penggalan fakta dalam sejarah republik Romawi itu, diidentifikasi oleh Syed Husen Al-Atas, ilmuan top ini dalam bukunya Korupsi, Sifat dan Sebab. Intinya, semuanya bersandar pada uang. Praktik ini, hebatnya, diidentifikasi juga oleh beberapa peserta constitutional convention 1787 di Philadelphia, Amerika Serikat.
Dalam debat pemilihan pimpinan eksekutif, Albert Gerry, salah satu peserta mengidentifikasinya. Fakta itu dirujuk sebagai argumen penolakan terhadap gagasan presiden dipilih secara langsung. Gerry, dalam kata-katanya, tentu untuk meyakinkan oponentnya, dikutip Carrol Berkin dalam bukunya Brillian Solution, “in the people elect the executive, any organized group that draws together man from acros the nation will be able to control the outcome.”
Tantangan Gerry memicu peserta convensi mendiskusikan cara lain, termasuk dipilih oleh Kongres. Tetapi cara ini juga ditolak, dengan berbagai argumentasi yang, semuanya memiliki basis sejarah. Akhirnya ditemukan cara yang dipraktekan hingga sekarang. Praktis, presiden Amerika tidak dipilih secara langsung, sesuatu yang di Indonesia dinilai secara tak berdasar sebagai tidak demokratis. Konyol.
Sekeras itu sekalipun usaha, salah satunya, menghindarkan kaum oligarki dengan uangnya menggenggam kekuasaan, tabiat politik pemilihan dan bawaan alamiah oligarki, memungkinkan oligarki mengendalikan calon presiden dan presiden. Tetapi harus diakui, praktek itu belum tampak dalam pemilihan presiden sepanjang rute pemilihan presiden 1789-1896.
Oligarki ya oligarki, bekerja melaui struktur kekuasaan, dan mengandalkan hukum. Itulah mereka. Itulah yang didemonstrasikan pada periode pertama pemerintahan George Washington. Pembentukan First National American Bank 1791, menjadi perisitiwa pertama penetrasi oligarki kedalam pemerintahan. Taktik mereka khas, moncong kendali diarahkan bukan pada Presiden George Washington, tetapi kepada Alexander Hamilton, Menteri Keuangan.
Sebagai orang yang pernah bekerja pada Nort Bank, yang teridentifikasi memiliki koneksi dengan Bank of England, Hamilton, penemu konsep “implied power” segera memprakarsai pembentukan Bank itu. Oposisi datang dari Thomas Jefferson, Edmund Randolph dan James Madison. Tetapi Hamilton dengan konsep “implied power” berhasil meyakinkan kolega-koleganya sesama Federalis di Kongres.
Hamilton berhasil. First American National Bank, diberi umur operasi selama 20 tahun. Masa operasinya berakhir pada tahun 1812. Akhir yang pahit, karena Madison, presiden kala itu, yang visi dan keyakinan politiknya sehaluan dengan Thomas Jefferson (Kaukus Republik-Demokrat) kelak berubah dan bertransformasi menjadi “Demokrat” menolak perpanjangan masa operasinya.
Takdir politik menempatkan Madison dan Amerika pada akhir yang pahit. Madison dan Amerika dihukum oleh oligarki, sekelompok yang dengan kekayaannya terkenal menjadikan monopoli semua sumberdaya ekonomi dan politik sebagai bawaan aslinya. Amchel Meyer Rotschild yang tidak menyuaki sikap Madison, memastikan Amerika harus berperang melawan Inggris. Dan tahun 1812 Inggris benar-benar berperang dengan Amerika.
Hasilnya pasti dan jelas. Tahun 1816, Second American National Bank resmi beroperasi. Diberi napas untuk waktu 20 tahun. Menariknya ketika akhir itu datang, Amerika telah berada dalam kekuasaan Presiden Andrew Jackson, orang yang begitu mengagumi visi Thomas Jefferson tentang Bank.
Jackson veto, untuk tak mengatakan bank war, begitu para ilmuan tata negara menyebut tindakan Jakcson mem-veto UU untuk Third National American Bank. Oligarki tak diam. Nicolas Bidle, salah satunya yang terdepan, menyiapkan hukuman untuk Jackson dan Amerika. Amerika mengalami krisis keuangan tahun 1837, dan Jackson mengalami percobaan pembunuhan.
Bekerja mengendalikan pemerintah tanpa presidential threshold, itulah kehebatan oligarki Amerika. Pada kasus Abraham Lincoln, pria hebat yang dari mulutnya keluar kata-kata government by the people, from the people and for the people, juga harus menanggung semua akibat dari keberaniannya menantang oligarki.
Banking Act 1861 dan Legal Tender Act 1864, yang berhasil ditandatangani, tidak cukup menyenangkan kaum oligarkis. Bank mengenakan bunga besar terhadap pinjaman pemerintah dan hendak memobilisai bank note. Hal terakhir ini merupakan cara mereka mengubur gold standard disatu sisi, dan menciptakan elastis currency system, menjengkelkan Lincoln.
Menghadapi tingkah laku oligarki itu, Lincoln mengancam akan menggunakan otoritasnya menggelontorkan greenback, fiat money dalam jumlah tak terbatas. Tak lari, oligarki malah menyambutnya. Tak terjelaskan secara kongklusif hingga saat ini, tetapi sejarah berbicara secara jelas bahwa Lincoln, presiden anti budak ini, mati tertembak tak lama setelah pelantikan dirinya untuk jabatan yang sama pada term kedua.