
Oleh : Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028, Dr Otong Sulaeman M Hum
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membuka luka lama bangsa ini—yaitu kekhawatiran atas bangkitnya kembali peran dominan militer dalam ruang sipil dan politik.
Di tengah kompleksitas transisi demokrasi Indonesia, disahkannya UU tersebut—yang memberi perluasan peran dan kewenangan militer dalam urusan non-pertahanan—menjadi kemunduran yang secara filosofis perlu dikritisi.
Tulisan ini ingin menelaah isu tersebut melalui dua lensa filsafat: Plato dan Mulla Sadra.
Plato dan kekacauan jiwa negara
Dalam Politeia, Plato membayangkan negara ideal sebagai cerminan dari struktur jiwa manusia. Jiwa yang sehat terdiri atas tiga unsur yaitu rasio (logos), keberanian atau kemauan (thymos), dan nafsu atau hasrat (epithymia).
Rasio harus memimpin, thymos harus menopang dan membantu, sedangkan epithymia harus dikendalikan. Bila salah satu dari dua unsur bawah—thymos atau epithymia—mengambil alih kendali, jiwa akan kacau. Begitu pula negara.
Dalam analogi negara, Plato menyebut tiga kelas masyarakat yaitu filsuf sebagai pemimpin, militer sebagai penjaga, dan pedagang sebagai produsen.
BACA JUGA: Konflik Internal Israel Semakin Tajam, Saling Bongkar Aib Antara Ben-Gvir Versus Shin Bet
Ketika kelas militer mengambil alih peran kepemimpinan dan memaksakan kehendak melalui kekuatan, negara jatuh ke dalam bentuk kediktatoran atau timokrasi—kekuasaan berbasis kehormatan dan kekuatan, bukan kebijaksanaan.
Revisi UU TNI, yang memberi ruang bagi perwira tinggi aktif untuk mengisi jabatan sipil dan memperluas operasi militer di luar pertahanan negara, menjadi indikator atas gejala timokrasi dalam praksis politik kita. Negara tak lagi dipimpin oleh kebijaksanaan (sophia), melainkan oleh thymos—semangat heroik, kehendak kuasa, dan klaim moral sepihak atas keamanan.
