
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Noorca M. Massardi, Budayawan, Penulis dan mantan Redaktur Eksekutif dan Pemred Majalah Berita Mingguan Forum Keadilan
Indonesia memang negara anomali sejak kelahirannya. Bersuku-suku tapi (masih) bisa bersatu. Beratus bahasa daerah tapi mau berbahasa satu. Berpenduduk mayoritas muslim tapi bukan negara Islam. Terpapar teknologi informasi paling canggih di dunia, tapi kenyataan sehari-hari masih sangat terkebelakang. Nyaris bebas buta huruf, tapi menjadi negara terburuk karena tidak doyan membaca.
Demokrasi Indonesia juga sudah bermetamorfosis a la Indonesia. Diawali demokrasi parlementer, menjadi demokrasi terpimpin, lalu demokrasi Pancasila-Orde Baru, akhirnya, menjadi demokrasi semaunya, pasca 1998. Kendati negara hanya mengakui satu ideologi, yakni Pancasila, namun pada dasarnya, partai-partai politik yang ada tidak menjadikannya sebagai ideologi tunggal. Maka berbeda dengan di negara demokratis lainnya, partai-partai yang berkuasa dan yang beroposisi, tidak punya ideologi sama sekali. Setiap pemilihan umum, tidak pernah ada pertarungan antarideologi. Tidak ada kiri lawan kanan. Tidak ada ideologi agama lawan sekularisme. Karena semua partai politik hanya mengakui satu kesamaan ideologi: pragmatisme. Tujuannya pun satu dan sama: kekuasaan dan uang.
Maka pasca 1998, dari pemilu ke pemilu, dari pemerintahan ke pemerintahan, partai-partai politik hanya memanfaatkan emosi massa sesaat, untuk meraih suara terbanyak dan akhirnya mendapatkan kursi di parlemen. Massa yang pada setiap kampanye pemilu legislatif dan pemilu presiden, dibujukrayu dan dihasut sentimen primordialnya, begitu usai pemilu, lalu ditinggalkan.
Contoh paling spektakuler adalah dalam kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta April 2017. Penolakan terhadap kandidat populer Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan memanfaatkan emosi massa melalui sentimen agama, berhasil dimenangkan Anies Baswedan. Suasana “perang saudara” yang seolah di ambang pintu (pokoknya ganti Ahok), lenyap seketika Anies terpilih. Sesudah itu, radikalisme, ancaman kerusuhan akibat sentimen suku, agama, ras, antargolongan (SARA), tidak terjadi. Mengapa? Karena baik partai pendukung pemenang, maupun partai pendukung yang kalah, sama-sama hanya memiliki satu ideologi: pragmatisme (kekuasaan dan uang). Begitu kekuasaan diraih, dan uang dalam pelbagai bentuknya disalurkan, kondisi kembali tenang. Kekuasaan terbagi merata di parlemen DKI, dan aneka janji dan fanatisme selama kampanye, hilang tanpa bekas. Bahkan para pemilih tidak peduli lagi apakah gubernur baru mereka bekerja atau tidak.
Apa yang terjadi di DKI Jakarta (2017), bisa terproyeksikan (dan sedang direkaulang) pada pemilihan legislatif dan pemilu presiden 2019. Kampanye menghalalkan segala cara, membakar emosi massa dengan sentimen SARA, digelar di hampir seluruh wilayah. Aneka riset dan survei elektoral menunjukkan, kenaikan suara pendukung capres/cawapres penantang (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno) dari waktu ke waktu terus meningkat. Sementara suara pendukung capres/cawapres petahana (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) cenderung menurun. Walau pun, perubahan itu terjadi hanya karena mereka yang belum menentukan pilihan mulai melirik ke salah satu pasangan calon.