REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nugroho Agung Prasetiyo, Pengurus ISKI Pusat/Aktivis Komunikasi LD-PBNU
Peningkatan laju kasus Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir bergerak seperti sulit terbendung. Di saat yang sama, begitu banyak kabar duka yang datang dari inner circle kerabat, pertemanan hingga keluarga dekat akibat sulitnya menahan penyebaran Covid-19. Tanpa hendak menyalahkan berbagai pihak, mungkin inilah saat yang tepat untuk kembali mengevaluasi dan merenungkan pola komunikasi semacam apa yang semestinya dibangun untuk menekan tren kasus Covid-19 di negeri ini bisa lekas turun.
Diakui atau tidak, hingga kini masih banyak mindset sebagian orang di negeri ini yang mengacuhkan —bahkan menihilkan— keberadaan Covid-19. Bagi kelompok ini, membiarkan diri saat terinfeksi virus corona tanpa harus mendapatkan pengobatan, sepertinya hanya dianggap sebagai bagian dari hal yang biasa dalam perjalanan hidup mereka.
Lebih prihatin lagi, tak sedikit juga di antara mereka yang enggan memeriksakan diri ketika sudah berkontak dengan orang yang positif Covid-19 maupun ketika gejala Covid-19 itu sudah mulai muncul di dirinya. Dalam pandangan mereka, Covid-19 itu hanyalah rekayasa, buatan, hingga bentuk konspirasi global untuk menguntungkan sekelompok pihak.
Di sisi lain, negara terus berjuang sekuat tenaga menggenjot vaksinasi sebagai ikhtiar menguatkan herd immunity dari pandemi Covid-19. Sekuat tenaga upaya yang terus coba dilakukan bersama, masih saja ada sekelompok pihak yang bersikap acuh —bahkan resisten— untuk divaksin. Semua ini tentu merupakan tantangan nyata yang mengadang upaya bersama dalam menurunkan laju penyebaran Covid-19 saat ini dan masa mendatang.
Ketika fakta semacam itu masih banyak ditemukan di berbagi pelosok negeri ini, sudah terbilang cukupkah sosialisasi antisipasi Covid-19 kita hanya dengan mengandalkan influencer dengan jumlah follower yang besar saja? Atau sudah cukupkah kita meletakkan harapan lewat kampanye komunikasi di media sosial maupun media mainstream agar sosialisasi Covid-19 bisa diterima secara baik oleh publik?
Pertanyaan pun muncul; apakah sosialisasi 5M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas) itu sudah cukup dengan mengandalkan jalur komunikasi digital saja? Di sisi lain, dalam kehidupan nyata di luar dunia maya masih ada saja pihak-pihak yang kerap menyangkal keberadaan Covid-19.
Semua kekusutan itu kian bertambah kuat ketika kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali, belum sepenuhnya mendapat dukungan publik. Bahkan, kemudian ada kesan kebijakan tersebut tidak cukup favorable di mata sejumlah kalangan yang “terganggu” kepentingannya.