REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Unsud
Kisah tentang Sri Sultan Hamengkubowo IX yang menarik justru pada sisi humanis, sosok yang sederhana dan merakyat. Orang Yogyakarta sampai hari ini masih mengenang sosok Ngarsa Dalem ini dalam berbagai versi tentang kedekatan Raja dan rakyatnya.
Beberapa penggal cerita juga diketahui dan dituliskan dalam buku yang disunting oleh Atmakusumah, berjudul Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan Hamengkubowono IX.
Kisah Pedagang Beringharjo
Suatu kebiasaan Sri Sultan naik mengedarai mobil sendiri kemana-mana. Termausk juga kebiasaan memberi lift atau tumpangan kepada orang. di Tahun 1946, suatu saat sedang mengemudi Jeep dari Sleman menuju Jogja. Seorang wanita menyetop di pinggir jalan, mengatakan mau ikut ke pasar Kranggan.
Sri Sultan berhenti dan menolongnya mengangkat dagangannya ke atas kendaraan menuju pasar Kranggan. Sampai di tujuan, barang dagangan tersebut ia turunkan. Kemudian wanita itu mau memberi ongkos, akan tetapi ia menolak dan kembali ke kendaraan.
Di koran-koran diberitakan kemudian wanita itu jatuh pingsan, setelah mengetahui yang memberi tumpangan dan ikut mengangkut barang dagangannya adalah Ngarsa Dalem. Sri Sultan sendiri ketika ditanya tentang peristiwa itu tidak tahu bahwa wanita tersebut jatuh pingsan setelah tahu siapa dirinya.
Kisah Perjalanan menuju Bandung
Pada suatu waktu, Sri Sultan sedang menuju Bandung. Saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Di suatu desa ada seorang pria yang ikut menumpang.
“Kami mengobrol dalam sikap santai sambil merokok. Kemudian saya merasa bahwa penumpang itu berkali-kali memperhatikan muka saya. Akhirnya bertanya, ‘apakah Bapak ini Sultan Hamengkubowono yang...eh, Menteri Pertahanan itu?.
Saya jawab: Ya. Pria itu mendadak tidak betah duduk di sebelah saya. Ia tampak agak gelisah dan minta diturunkan saat itu juga, padahal kami masih jauh dari tempat tujuan.
‘Tak usah sampai Bandung Pak!" katanya kaku. “ Ah, nggak apa-apa,” kata saya, dan saya ‘paksa ‘ pria itu untuk terus sampai di kota tujuan”.
Kisah Rebuwes dan Brigadir Royadin
Pengalaman lain terjadi tahun lima puluhan dimana mobil-mobil belum diberi AC. Demikian mobil pula mobil Sultan, sekalipun saat itu menjabat menteri. “ Kesenangan saya adalah mengemudikan mobil antara Jakarta-Yogya pulang pergi.
Jika hari sangat panas dan dibelakang setir saya kegerahan, sesampai di luar kota saya suka buka baju. Duduk dibelakang setir dengan santai saja, hanya memakai singlet dan...celana dalam”.
Di suatu tempat, kira kira diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, di bilangan Cilosari, sering ada penyetopan polisi untuk pemeriksaan surat-surat. Malam itu saya disetop, dan atas permintaan polisi saya berikan rebuwes dan surat-surat mobil.
Beberapa saat setelah meneliti rebewes dan surat-surat mobil, tampak polisi itu seperti kaget dan agak gugup. Beberapa kali dia mengamati foto di rebewes, kemudian memandang saya.
Tiba-tiba ia berdiri tegak, memberi hormat dengan tangan ke kepala sambil berkata terputus-putus: “Eh, Selamat Malam Pak, silakan jalan terus.” Ia berkata demikian sambil lekas-lekas mengembalikan rebewes dan surat-surat mobil saya.
Barangkali kisah ini agak mirip dengan cerita rebewes di atas dan dituturkan jauh hari kemudian oleh keponakan sang polisi pada tahun 2000-an. Artinya cerita itu belum pernah dipublikasikan sebelumnya?. Adakah ada kemiripan dengan cerita yang diangkat dalam biografi sebagaimana diakui oleh Sri Sultan?
Dalam cerita polisi Brigadir Royani pernah menilang Sri Sultan HB IX ketika mengendarai mobil melewati daerah Pekalongan. Peristiwa tersebut terjadi tahun 1960-an. Saat itu Sri Sultan dianggap Brigadir Royani yang bertugas telah melanggar verbodden. Keunikan cerita ini, terjadi ketika polisi itu tetap menilang Sri Sultan. Beliau pun mengakui kesalahannya dan tidak melawan dengan posisi dan kedudukannya.
Kehebohan justru terjadi di markas kepolisian Pekalongan. Brigadir Royani dianggap tidak tahu adat, terlalu kaku, seharusnya dia melepaskan saja mobil Sri Sultan. Atasannya marah habis-habisan, sebab urusannya bisa panjang hingga menteri. Akhirnya rebewes itu dikembalikan ke Yogyakarta.
Brigadir Royani kebat- kebit dengan sikap keputusannya yang berani menilang Sri Sultan. Dia siap-siap dipindahtugaskan. Biasanya ditempat lebih pelosok, seperti Pekalongan Selatan. Saat itu polisi setingkat brigadir paling dimodali sepeda.
Beberapa waktu kemudian setelah peristiwa penilangan itu, Brigadir Royani dipanggil atasannya. Ia diminta untuk pindah. Brigadir Royani awalnya mengira diminta pindah ke Pekalongan Selatan, daerah terpencil.
Namun justru, atasannya menerangkan bahwa Brigadir Royani atas sikap ketegasannya justru diminta Sri Sultan untuk pindah ke Yogyakarta dan Sri Sultan minta pangkatnya dinaikkan satu strip.
Namun, permintaan Sri Sultan untuk pindah bertugas dari Pekalongan Brigadir Royani tolak dengan halus. Prinsipnya ia ingin hidup mengabdi di Pekalongan. Sampai akhir tugasnya Brigadir Royani tidak pernah bertugas di Yogyakarta.
Sri Sultan juga tidak pernah memaksakan agar permintaan khususnya tersebut agar dipatuhi. Justru, Ia menghormati keputusan Brigadir Royani untuk tetap bertugas di Pekalongan.
Ikhtisar Kisah Hingga Imogiri
Sikap-sikap kepemimpinan dan patriotisme Sultan HB IX sebagaimana Ia melewati tantangan sejak akan dicalonkan menjadi Sultan. Ia melawan kontrak politik semena-mena Belanda atas Keraton yang diwakili Gubernur Adam, kemudian diakhiri anti-klimaks melalui wisik yang diterima di sore hari, setelah berbulan-bulan melakukan perundingan.
Selanjutnya setelah dinobatkan menjaid raja, ia menolak jika harus dibawa ke Australia jika Hindia Belanda diserang. Selanjutnya saat pendudukan Jepang yang terkenal kejam dengan siasat mengendalikan Pemerintahan secara langsung dan sekaligus menawarkan proyek pembangunan Selokan Mataram sebagai upaya meminimalisir pengerahan tenaga Romusha.
Saat proklamasi, secara spontan sehari setelahnya langsung menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia. Bahkan lebih jauh, memperbolehkan Ibukota republik pindah ke Yogyakarta dan sekaligus ikut mengeluarkan dana hingga 5 juta gulden dalam ikut membiayai pemerintahan.
Sikapnya yang kukuh sebagai orang Republikan saat-saat genting ketika Yogyakarta jatuh dan para pimpinan RI ditangkap. Diplomasi dan peran-peran selama masa pendudukan Belanda atas Yogyakarta membuktikan bahwa kualitas pendidikan yang ia peroleh dengan menyelami cara berfikir orang Belanda di mana sejak kecil ia tinggal bersama mereka membuahkan hasil.
Suatu lompatan pemikiran besar sejak tahun 1920 sejak usia empat tahun dititipkan pada pendidikan keluarga Belanda dituai paling tidak ketika Sang Sultan harus berkali-kali menghadapi diplomasi gawat dengan orang-orang dari bangsa yang ingin mereka berkuasa kembali.
Sebagaimana diketahui setelah Roem-Royen tercapai kesepakatan, selanjutnya dilakukan perundingan Konferensi Meja Bundar di Den Hag Belanda yang menghasilkan proses pengakuan Kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949.
Sesungguhnya peran SultanHB IX tidak berhenti sampai saat itu.
Sebab beliau kemudian juga berperan sebagai Menteri Pertahanan beberapa kali di kabinet yang terbentuk. Termasuk juga terpaksa menghukum rekan sekolah masa kecil yaitu Mozes atau Sultan Hamid II disebabkan berencana melakukan pemberontakan bersama Westerling pada kejadian APRA di Bandung.
Kabinet saling silih berganti, menyusul rapuhnya sistem politik yang dibina republik yang masih muda. Namun dalam setiap peristiwa gonjang-ganjing republik, Sri Sultan HB IX selalu diusulkan sebagai bagian dari Pemerintahan yang hendak disusun. Seperti saat PresidenSoekarno menujuk dirinya menjadi formatur yang akan membentuk kabinet. Konsepsi tersebut sontak menimbulkan kegemparan, dan pihak oposisi (terutama PSI dan Masyumi) menunjuk konsepsi agar MantanWakil Presiden M. Hatta dan Sri Sultan memimpin kabinet.
Demikian pula saat akhir era Demokrasi Terpimpin dan awal Orde Baru, Sri Sultan HB IX tampil menjadi triumvirat (bersama Soeharto dan Adam Malik) dalam membentuk Kabinet Ampera. Termasuk juga lobi-lobi untuk mendatangkan modal asing bagi keperluan program pemerintahan Orde Baru. Berdasar SU MPR 1973 diangkat menjadi Wakil Presiden mendamping Soeharto yang dulu menjadi pelaksana gagasan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Namun, dalam Sidang Umum tahun 1978, beliau menolak dicalonkan kembali. Konon kabarnya ia mulai tidak cocok dengan kebijakan Soeharto. Sri Sultan HB IX memilih tetap di keraton dan seabrek kegiatan sosial, seperti gerakan Pramuka dan membina dunia olahraga di KONI.
Senin, 3 Oktober 1988 dikabarkan Sri Sultan Hamengkubowono IX meninggal. Beliau wafat di Wasinghton, Amerika Serikat ketika direncanakan akan menjalani pemeriksaan kesehatan. Pemerintah USA menawarkan akan mengantarkan jenazahnya ke Indonesia.
Namun, Presiden Soeharto menolak, dan akan menjemputnya sendiri. Akhirnya disepakati, pesawat angkatan udara USA mengantarkan hingga Honolulu, Hawai. Selanjutnya Jenazah akan diangkut pesawat Garuda ke wilayah Indonesia.
Air Force Two dari Andrew AFB membawa terbang jenazah HB IX selama sepuluh jam dan mendarat di Pangkalan militer USA ditengah lautan Pasifik. Selanjutnya terjadi serah terima jenazah Sultan kepada rombongan yang ditugaskan dari Indonesia dengan menggunakan pesawat DC -10 Garuda Indonesia hingga sampai ke bandar udara Halim Perdana Kusuma Jakarta.
Pemerintah USA mengirim dua panglima militer tertinggi kawasan pasifik, Laksanama Huntington Hardistry dan Jenderal Merril Mc. Peak sebagai penghormatan atas kepergian Sri Sultan HB IX.
Setelah diistirahatkan sebentar di Bandara Halim Perdanakusuma, disertai tembakan salvo memecah kesunyian pagi Jenazah Sri Sultan dilepas Wakil Presiden Soedarmono. Dengan pesawat Hercules menuju kota Yogyakarta untuk menuju peristirahatan terakhirnya di ImogiriYogyakarta.
Penanggalan Jawa waktu itu menunjukkan pekan terakhir malam Sekaten. Akan tetapi datangnya berita duka wafatnya Ngarsa Dalem langsung mematikan Sekaten. Tidak ada lagi hingar bingar suara musik berikut teriakan penjual makanan. Semuanya berada dalam hening, digantikan kumandang bacaan ayat-ayat suci al-Quran secara terus menerus dari puncak menara mesjid Agung.
Laporan Tempo yang meliput peristiwa itu melukiskan, “..Perjalanan kereta jenazah sering harus berhenti. Akibat desakan massa yang melaut serta campur aduk. Sesekali terdengar isak tangis menyuarakan Ingkang Sinuhun atau Ngarsa Dalem.
Sepanjang jalan, kerumunan massa semakin menggila jumlahnya. Mereka memadati bukan saja semua sisi jalan, tetapi juga pohon, atap rumah, tembok, atau tempat umum manapun yang kosong. Jalan sepanjang 17 kilometer penuh sesak. Jumlah mereka mungkin ratisan ribu, atau malah diatas satu juta..”
“Le roi est mort”. Raja mangkat. Hiduplah Raja. Kata-kata bersayap itulah yang dikumandangkan mengantarkan kepergian Sri Sultan HB IX.
Sultan yang hidup dalam sejarah dan kenangan Bnagsa Indonesia. Ia pengawal setia Republik Indonesia tanpa pamrih.
Refrensi:
Buku Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan Hamengkubowono IX, Atmakusumah (Penyunting), Kompas Gramedia, Jakarta, 2002.
Aryadi Noersaid http://www.positif.or.id/en/sultan-hb-ix-polisi-pekalongan-the-untold-story/ unduh 16 Juli 2020