
Oleh : Iskandarsyah Siregar, Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kita tidak boleh terus berpura-pura bahwa keadaan dunia saat ini baik-baik saja. Termasuk keadaan kita di Indonesia. Dalam diamnya statistik dan derasnya arus informasi, sesungguhnya dunia tengah diguncang oleh ketegangan struktural yang bisa meletup kapan saja. Dunia tidak sedang baik-baik saja. Yang terjadi saat ini adalah krisis ekonomi tidak hanya menghantam angka-angka makro, tetapi juga mengguncang fondasi sosial, politik, dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Distorsi dan disrupsi ekonomi tidak lagi menjadi urusan teknis antara neraca dagang dan kebijakan fiskal. Ia telah menjelma menjadi penentu arah hubungan internasional, stabilitas geopolitik, bahkan masa depan peradaban. Dalam titik ini, setiap bangsa dan negara berada di persimpangan jalan. Mereka dituntut untuk menentukan: akan tetap mengikuti arus besar sistem ekonomi global yang kian tak menentu, atau mulai berani menyusun jalan baru yang lebih berdaulat, manusiawi, dan terhubung dengan jati diri masing-masing.
Kenaikan Suku Bunga dan Resesi yang Membayangi
Dunia saat ini berada dalam tekanan moneter yang luar biasa. Kenaikan suku bunga global, terutama oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed), telah menekan likuiditas, mengguncang pasar saham, dan meningkatkan risiko gagal bayar di banyak negara berkembang. Bahkan negara-negara maju tidak luput dari goncangan. Amerika Serikat sendiri baru saja kehilangan peringkat kredit tertingginya, AAA, dari lembaga pemeringkat Moody’s. Jepang, salah satu kekuatan ekonomi dunia, menghadapi beban utang yang semakin sulit diatasi.
Dampak dari kenaikan suku bunga ini menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Rupiah terus tertekan, bukan karena kekuatan dolar yang meningkat, tetapi karena fundamental ekonomi domestik yang belum mampu memberi ketahanan sejati. Ironi yang semakin menyayat akal dan hati adalah ketika kita mendapati bahwa saat dolar Amerika melemah terhadap mata uang lain, rupiah justru ikut melemah. Ini menunjukkan bahwa persoalan kita jauh lebih dalam dan struktural.
Ketegangan Dagang dan Peringatan Krisis
Dalam dimensi pertarungan yang lebih kompleks, hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa masih memanas. Presiden AS, Donald Trump, bahkan mengancam akan memberlakukan tarif impor sebesar 50 persen terhadap produk-produk dari Eropa mulai 1 Juni. Kebijakan ini bukan hanya akan memicu perang dagang terbuka, tetapi juga bisa memicu disintegrasi pasar global yang selama ini menjadi tumpuan sistem ekonomi internasional.
Peringatan krisis keuangan datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Robert Kiyosaki, penulis Rich Dad, Poor Dad, yang memprediksi akan terjadi krisis finansial global senilai 1,6 triliun dolar. Ia menganjurkan publik untuk mulai memikirkan strategi penyelamatan pribadi, termasuk investasi pada emas, perak, dan Bitcoin. Apakah ini sebuah kepanikan berlebihan? Mungkin tidak. Dunia memang sedang menuju pada titik didih baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Realitas Ekonomi Indonesia: Antara Ilusi dan Krisis Nyata
Bagaimana dengan kondisi kita di dalam negeri? Sepertinya situasinya tidak lebih baik. Daya beli masyarakat Indonesia semakin melemah secara nyata. Ini bukan ilusi, bukan retorika pesimistis. Kian hari, makin banyak keluarga yang harus mengurangi konsumsi makanan bergizi karena harga pangan melonjak. Akses terhadap layanan kesehatan semakin tidak merata. Sementara itu, kualitas lingkungan hidup, termasuk udara bersih dan air layak konsumsi, terus menurun di kota-kota besar.
Dalam kondisi seperti ini, wajar bila masyarakat mulai merasa kecewa, bahkan frustasi. Ketika angka pertumbuhan ekonomi disajikan dengan optimisme oleh pemerintah, kenyataan di lapangan menunjukkan jurang ketimpangan yang semakin dalam. Ini bukan lagi soal angka, melainkan soal martabat dan hak dasar setiap warga bangsa negara untuk hidup layak di tanah airnya sendiri.
Mencari Jalan Keluar: Kembali kepada Jati Diri Bangsa
Jadi, apa yang sebenarnya harus kita lakukan? Kemana bangsa ini akan melangkah? Apa yang harus kita lakukan untuk keluar dari krisis yang berlapis ini? Apakah kita akan terus membiarkan diri terombang-ambing dalam sistem ekonomi global yang terbukti gagal menyejahterakan semua, ataukah sudah waktunya kita kembali pada jati diri bangsa yang sejati?
Jati diri pertama dan paling mendasar bagi Indonesia adalah sebagai bangsa yang berkhidmat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini bukan hanya nilai moral atau slogan normatif. Ini adalah panduan fundamental dalam menyusun sistem ekonomi, sosial, dan politik yang adil dan berkelanjutan. Dalam perspektif Islam, nilai-nilai ini terwujud secara sistematis dalam apa yang disebut sebagai ekonomi syariah.
Ekonomi syariah bukan sekadar tidak melibatkan riba atau sistem bagi hasil. Lebih dari itu, ia adalah sistem yang menempatkan manusia sebagai makhluk bermartabat, bukan objek eksploitasi. Sistem ini mendorong pelaku ekonomi untuk tidak sekadar mengejar keuntungan, tetapi juga keberkahan dan keadilan. Dalam sistem ini, keberpihakan kepada yang lemah, transparansi dalam transaksi, dan distribusi kekayaan yang adil adalah pilar utamanya.
Menuju Sistem yang Adil, Manusiawi, dan Menyatukan
Apabila bangsa ini benar-benar ingin keluar dari jerat krisis dan ketimpangan, bahkan pada akhirnya sanggup menjadi solusi dan kebaikan bagi seluruh alam, maka satu-satunya jalan yang harus kita tempuh adalah membentuk sistem ekonomi dan sosial yang berkemanusiaan yang adil dan beradab. Simpulan ini bukanlah sekadar retorika politik atau idealisme kosong yang sulit diwujudkan. Justru sebaliknya, ini adalah amanat konstitusional dan ideologis yang tertanam kuat dalam fondasi negara kita, yakni Pancasila. Tepatnya, sila kedua Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kedua fundamen literal ini harus menjadi arah kompas dalam setiap kebijakan, strategi pembangunan, begitupun dengan cara kita membangun hubungan antarmanusia dan antarkelompok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mewujudkan sistem ekonomi dan sosial yang seperti itu sangat tidak sederhana. Tidak cukup hanya dengan perubahan kebijakan atau desain kelembagaan. Yang lebih penting adalah perubahan cara pandang dan perilaku dari para pelaku utamanya—mereka yang berada di garis depan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. Kita membutuhkan pemimpin dan pelaksana kebijakan yang tidak hanya memiliki kemampuan teknokratis, tetapi juga integritas moral dan kepedulian sosial yang tinggi. Mereka harus menjadi cerminan dari nilai-nilai luhur bangsa ini, bukan sekadar aktor yang melanjutkan logika pasar bebas yang mengabdi pada keuntungan maksimal dan akumulasi modal tanpa batas.
Sistem kapitalisme global yang mendominasi saat ini telah memperlihatkan wajah buruknya: eksploitasi sumber daya, ketimpangan sosial yang ekstrem, ketidakstabilan ekonomi, dan krisis moral. Jika Indonesia ingin keluar dari jeratan sistem ini, maka kita harus berani membangun alternatif yang lebih manusiawi. Bukan dalam arti menolak sepenuhnya sistem pasar, tetapi membangun sistem pasar yang dikendalikan oleh nilai dan etika. Nilai utama itu adalah kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban. Pasar bukanlah ruang bebas nilai. Ia harus tunduk pada prinsip-prinsip moral dan sosial yang menjamin bahwa tidak ada satu pihak pun yang tertinggal atau tertindas.
Dalam kerangka ini, sikap mental dan peran pelaku ekonomi dan politik sangat krusial. Mereka harus mempraktikkan prinsip keberpihakan kepada yang berhak, pemberdayaan masyarakat, pemerataan sumber daya secara proporsional, serta transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan dan tindakan. Mereka harus menjadi contoh nyata dari bagaimana kekuasaan dan kekayaan bisa digunakan untuk membangun, bukan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya semata. Karakter seperti inilah yang layak disebut sebagai “Bangsawan dan Negarawan”—mereka yang memperjuangkan cita-cita kolektif, bukan sekadar ambisi pribadi atau loyalitas pada oligarki.
Apabila para pelaku dalam sistem ini memiliki komitmen terhadap keadilan dan kemanusiaan, maka mereka tidak hanya memperbaiki sistem dari dalam, tetapi juga menjadi motor utama dalam membangun Persatuan Indonesia yang sejati. Persatuan semacam ini bukan dibentuk dari keseragaman identitas atau politik sektoral, tetapi dari pengakuan atas perbedaan dan komitmen bersama untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua. Persatuan yang lahir dari empati sosial dan kesadaran kolektif bahwa masa depan bangsa hanya bisa diraih melalui kerja sama, bukan dominasi atau eksklusi.
Persatuan yang sejati hanya mungkin terwujud jika masyarakat merasa diperlakukan adil, dihargai, dan diberdayakan. Secara implementatif, setiap warga negara harus memiliki akses yang adil dan proporsional terhadap sumber daya ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berpartisipasi dalam proses politik. Ini hanya bisa terwujud jika sistem kepemimpinan nasional kita didasarkan pada prinsip hikmat kebijaksanaan. Dalam konteks Pancasila, ini berarti bahwa rakyat harus dipimpin dan diwakili oleh individu-individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kejernihan moral dan spiritual. Mereka adalah pemimpin yang mampu melihat lebih jauh dari sekadar kepentingan jangka pendek, dan mampu menempatkan kepentingan rakyat sebagai panglima dalam setiap keputusan.
Dalam hal ini, musyawarah untuk mufakat menjadi mekanisme ideal yang ditawarkan oleh Pancasila sebagai bentuk pengambilan keputusan kolektif. Musyawarah bukan hanya sebuah forum formal untuk berdiskusi, melainkan ruang etis di mana semua suara didengar dan kebenaran dicari secara bersama-sama. Ia bukan tentang siapa yang kuat atau siapa yang banyak, tetapi siapa yang benar dan siapa yang bijaksana. Berbeda dengan sistem demokrasi liberal yang seringkali terjebak pada logika dominasi mayoritas dan manipulasi minoritas, musyawarah dalam konteks Pancasila mengedepankan konsensus yang adil dan bertanggung jawab. Ia menolak cara berpikir menang-kalah dan menggantinya dengan cara berpikir menang-bersama.
Tapi realita yang terjadi saat ini masih belum menggembirakan. Realitas sosial politik kita hari ini masih jauh dari cita-cita tersebut. Politik sering kali dijalankan sebagai ajang perebutan kekuasaan, bukan sebagai sarana pelayanan publik. Pemimpin yang dipilih bukan karena hikmat dan kebijaksanaan, tetapi karena popularitas dan kekuatan finansial. Proses politik dibajak oleh kepentingan sempit yang justru mengikis kepercayaan publik dan memperlebar jurang ketimpangan sosial. Jika kondisi ini dibiarkan, maka bukan hanya sistem ekonomi dan sosial yang rusak, tetapi juga tatanan moral bangsa akan runtuh.
Oleh karena itu, agenda transformasi bangsa harus dimulai dari pembenahan karakter pelaku-pelaku utama dalam sistem kita. Pendidikan moral dan spiritual harus menjadi inti dari proses kaderisasi pemimpin, bukan sekadar pelatihan keterampilan teknis. Sistem politik dan ekonomi harus membuka ruang bagi orang-orang yang memiliki integritas dan keberanian untuk menegakkan kebenaran, meskipun tidak populer. Kita butuh lebih banyak negarawan, bukan sekadar politisi. Kita butuh lebih banyak pelayan masyarakat, bukan sekadar pemilik modal.
Dengan demikian, cita-cita membangun sistem ekonomi dan sosial yang adil dan beradab bukanlah hal yang mustahil. Ia adalah amanat yang harus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, hingga individu-individu di setiap lapisan masyarakat. Pancasila tidak akan hidup sebagai ideologi jika ia hanya disimpan dalam pidato atau teks undang-undang. Ia harus hidup dalam tindakan nyata: dalam cara kita bekerja, memimpin, berdagang, membangun, dan bermasyarakat.
Saat bangsa ini akhirnya memiliki cukup banyak pelaku ekonomi dan politik yang berkarakter luhur, maka transformasi sistem akan terjadi dengan sendirinya. Kita akan menyaksikan lahirnya tatanan baru yang lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih bermartabat. Dan di saat itulah, Persatuan Indonesia yang sejati akan terwujud—persatuan yang dibangun di atas fondasi kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab bersama. Bukan persatuan semu yang rapuh oleh kepentingan sempit, tetapi persatuan kokoh yang akan membawa bangsa ini menuju masa depan yang berdaulat, berkepribadian, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari Langkah ke Sistem, Dari Sistem ke Realitas Keadilan
Kita harus memiliki keyakinan dan keteguhan hati bahwa kita bisa bangkit dan menang. Jika semua langkah tadi sanggup kita jalani dengan penuh kesungguhan dan konsistensi, insya Allah akan membawa kita pada tujuan luhur bangsa ini: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebuah cita-cita yang hanya bisa diwujudkan bila kita tidak lagi mengejar pertumbuhan semata, tetapi keseimbangan. Tidak lagi menjadikan rakyat sebagai angka statistik, tetapi sebagai manusia yang bermartabat.
Ini saatnya bangsa Indonesia tidak lagi menjadi pasar bagi kepentingan asing, tetapi menjadi pusat kebangkitan nilai-nilai luhur yang bisa menjadi inspirasi dunia. Kita bisa dan harus menjadi bangsa yang berdaulat dalam ekonomi, mandiri dalam pengambilan kebijakan, dan merdeka dalam menentukan arah masa depan.
Kedaulatan itu tidak mungkin dibeli dengan utang. Ia hanya bisa dibangun dengan kesadaran kolektif, kepemimpinan yang visioner, dan sistem yang memihak kepada rakyat. Untuk itu, reformasi struktural yang menyeluruh sangat diperlukan. Kita tidak hanya butuh kebijakan ekonomi baru, tetapi juga narasi baru tentang masa depan bangsa ini. Narasi yang berangkat dari akar sejarah kita, dari jiwa Pancasila, dan dari iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.