Kamis 12 Mar 2020 06:11 WIB
Keris

Keris Diponegoro: Review Polemik Kepulangan Naga Siluman

Review Polemik Kepulangan Keris Naga Siluman

Pangeran Diponegoro dengan keris dengan jubah, dan serbannya. Lukisan ini karya A.J. Bik yang dibuat keitika Pangeran Diponegoro  berada dalam tahanan di Batavia.
Foto: wikipedia
Pangeran Diponegoro dengan keris dengan jubah, dan serbannya. Lukisan ini karya A.J. Bik yang dibuat keitika Pangeran Diponegoro berada dalam tahanan di Batavia.

Oleh: Salim A Fillah, Penulis Buku Perjuangan Diponegoro 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir', Pemerhati Perkerisan

Dalam karya yang merangkum keseriusannya selama 40 tahun meneliti Sang Pangeran, 'The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java' jilid ke-3 bagian Appendix, Prof. Peter Carey tak lupa mencantumkan daftar pusaka Pangeran Diponegoro baik yang berupa tombak maupun keris. Di antara nama-nama kerisnya adalah; KKA Bondoyudho, KK Abijoyo (dilebur bersama tombak panah Sarutomo dan tombak Barutubo menjadi Bondoyudho), KK Wisa Bintulu (sudah dikembalikan ke Keraton Yogyakarta sebelum pecahnya perang), KK Wresa Gumilar (warisan dari Sultan HB III), KK Rondhan (sama dengan nama salah satu tombak), KK Hatim, dan KK Blabar.

Dalam wawancara baru-baru ini, Pak Peter juga menegaskan bahwa kalau bernama KK (Keris Kyai) Naga Siluman, kemungkinan keris itu bukan pusaka utama dan bukan yang paling berharga milik Sang Pangeran, sebab beliau tidak pernah menyebut-nyebutnya sama sekali dalam Babadnya yang setebal 1100 halaman. Naga Siluman juga tak ada dalam daftar pusaka susunan Otoritas Kolonial yang dibagikan pada ahli waris setelah penangkapannya. Sang Panglima tertinggi, Jenderal De Kock juga tak pernah menyebut keris ini dalam laporannya kepada Komisaris Du Bus, Gubernur Jenderal Van den Bosch, Menteri Jajahan, dan Raja Willem, maupun buku hariannya.

Penyebutan nama Naga Siluman ada dalam catatan kecil Ali Basah Sentot Prawirodirjo yang telah menyerah. Sentot menyatakan, dia melihat Sang Pangeran menyerahkan Kyai Naga Siluman kepada Kolonel Jan Baptiste Cleerens, pemrakarsa perundingan damai di Magelang yang berakhir khianat dengan penangkapan Sang Pangeran.

Setahun setelah Perang Jawa berakhir, keris Kiai Naga Siluman itu dihadiahkan Kolonel Cleerens kepada Raja Willem I. Pada tahun 1831 itu pula keris jadi koleksi di Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) atau Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik di Den Haag. Menurut Sejarawan Bonnie Triyana hal ini adalah, "Barangkali semacam simbol penaklukan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825–1830) yang nyaris membuat Belanda bangkrut."

Kalau kita membaca Babad dengan seksama, tentu penyerahan 'Naga Siluman' kepada Cleerens tak bisa disebut tanda takluk. Tanda persahabatan dan tanda iktikad baik, ini lebih masuk akal. Pembicaraan pra-perundingan Magelang sangatlah bernuansa persahabatan. Beberapa kali perbincangan ditingkahi canda, seperti tentang berapakah tembakan salvo yang layak untuk menyambut kehadiran Sang Pangeran di setiap benteng Belanda yang dilewatinya menuju Magelang. Tanya jawab diakhiri dengan kata-kata menghunjam yang epik itu, "Tak perlulah jika merepotkan dan memberatkan. Toh sudah lebih dari 100.000 peluru kalian tembakkan padaku selama perang!"

Saking akrabnya, Sang Pangeran disebut menganggap Cleerens seperti 'adik'. Diberikan pula sebuah panggilan sayang, 'Kurnel Kleres'. Kleres atau Kaleres artinya 'orang yang benar'. Hal ini menunjukkan kepercayaan yang begitu besar dari Sang Pangeran pada Sang Kolonel. Ini tentu karena Cleerens memberi jaminan bahwa jika perundingan dengan Jenderal De Kock gagal, Pangeran bebas kembali ke Bagelen Barat. Jaminan yang sebenarnya Cleerens tak berhak memberi, dan memang kelak jelas diingkari.

Jadi 'Naga Siluman' yang dilihat Sentot kemungkinan adalah hadiah persahabatan tanda iktikad baik. Jelas bukan tanda takluk. Kalau Cleerens kemudian dikisahkan menghadiahkannya kepada Raja Willem I dengan menyebutnya sebagai tanda takluk, ini tentu demi kepentingan sang Kolonel untuk dianggap berjasa. Maka inilah pengkhianatan kedua Cleerens kepada Sang Pangeran. Pertama mengingkari jaminan untuk kembali ke Bagelen Barat jika perundingan dengan De Kock gagal. Kedua keris hadiah tanda persahabatan malah disebut tanda takluk.

Catatan berikutnya yang dianggap memperkuat keberadaan 'Naga Siluman' di Belanda adalah penugasan Raden Saleh untuk memverifikasi sebilah keris di Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden.

Raden Saleh melaporkan keris itu kepada Direktur KKVZ, SRP Van de Kasteele, pada 17 Januari 1831, seperti dikutip dalam buku 'Raden Saleh dan Karyanya' karya Werner Kraus. Ia mengatakan kata 'kiai' merupakan gelar kehormatan kepada 'tuan'. Kata 'nogo' atau 'naga' adalah simbol orang Jawa bagi seorang pemimpin. Sedangkan 'siluman' adalah orang yang punya kemampuan tinggi dan bisa menghilang.

"Karena itu, nama keris Kiai Nogo Siluman berarti raja ular penyihir, sejauh hal itu dimungkinkan untuk menerjemahkan sebuah nama yang megah," sebut Raden Saleh. Sang maestro juga sempat menyebut bahwa keris ini bergandhik naga dan ber-luk 13.

Persentuhan pelukis masyhur ini dengan 'Naga Siluman' dikisahkan sangat impresif, bahkan diduga menginspirasinya kelak untuk melukis 'De Gevangenname van Prins Diponegoro' (Penangkapan Pangeran Diponegoro) yang termasyhur pada 1857 untuk menandingi perspektif Nicholaas Pieneman yang memberi tajuk 'penyerahan diri'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement