Jumat 09 May 2025 06:16 WIB

Mohammad Natsir, Negarawan Berasesoris Tambalan

M Natsir terkenal denga kesederhanaan dan ketegasannya.

Mohammad Natsir
Foto: Public Domains
Mohammad Natsir

Oleh : Indra Gunawan, Dosen FEB UIII, Alumni PPSA Lemhannas XXIV, Anggota Badan Pelaksana BPKH 2022-2027

Bayangkan kita sedang duduk bersila di serambi rumah kayu tua di Jakarta Selatan, awal 1950-an. Hujan rintik-rintik turun pelan, aroma kopi robusta dan suara jangkrik malam menyatu dalam simfoni waktu. Di depanku, duduk seorang lelaki bertubuh ramping dengan senyum teduh: Mohammad Natsir—mantan Perdana Menteri RI ke-5, Menteri Penerangan RI ke-2, pendiri Masyumi, Presiden Liga Muslim duni dan ketua Dewan Masjid se-Dunia, namanya kini hanya disinggung sayup dalam buku sejarah. Aku, seorang santri, membuka percakapan dengan hati yang gemetar namun penuh rasa ingin tahu.

“Izin Guru, benarkah selama Guru jadi menteri hingga perdana menteri, hanya punya beberapa setel jas dan kemeja dengan banyak tambalan?” tanyaku hati-hati pada ulama yang negarawan ini.

Pak Natsir tersenyum. “Dinda,” katanya lembut, “kita tidak sedang membangun republik untuk mengisi lemari pakaian kita. Di masa revolusi, menambal kemeja lebih relevan daripada menambal rasa nasionalisme.”

Bertabur Kilauan dalam Kesederhanaan

Kala deru gemuruh revolusi dan ketegangan ideologi dulu, Mohammad Natsir berdiri sebagai Menteri Penerangan. Ada sesuatu yang ganjal di sela suara lantang yang bergema saat sidang kabinet, nampak pada kemejanya aneka tambalan. George McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika, mendeskripsikan dengan mata takjub bagaimana Natsir menghadiri pertemuan penting dalam balutan kain lusuh dan kesederhanaan yang tak dibuat-buat. 

Tahun 1946, saat bangsa ini masih mengatur napas di tengah agresi militer Belanda dan ancaman negara blok Barat dan Timur, Natsir yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan lantang bicara depan meja diplomasi, ia mewakili Indonesia dengan bahasa Inggris sefasih Bung Hatta. Namun, yang paling dikenang oleh para diplomat asing seperti George Kahin bukan bahasa atau pidatonya—melainkan kemejanya yang penuh tambalan.

“Kainnya lusuh,” tulis Kahin dalam memoarnya, “tapi matanya memancarkan wibawa yang membuat para diplomat diam mendengarkan.”

Bahkan, KH Agus Salim pernah menyindirnya dengan nada bercanda, “Natsir, jangan-jangan tambalan itu kau pakai supaya Belanda kasihan dan cepat pergi dari Indonesia!”

Staf kementerian sampai urunan untuk membelikannya baju baru, tapi ditolak halus. “Lebih baik uangnya beli tinta koran rakyat,” jawabnya, merujuk pada pentingnya menyebarkan berita kemerdekaan ke desa-desa.

“Guru, bagaimana Bapak bisa tetap sederhana di tengah kekuasaan?” tanyaku, masih kagum. Sambil menyeruput kopi, lalu menjawab, “Dinda, kekuasaan itu seperti angin—datang dan pergi. Yang abadi adalah akhlak. Aku ingat rakyat yang berjuang dengan keringat dan darah. bagi seorang Natsir, 'pantas' itu bukan soal halus dan licinnya jas dan kemeja, namun justru kilau integritas yang terpancar dari kesederhanaan."

Ini adalah potret keteladanan yang mendalam saat ada di tengah kekuasaan, beliau tidak sedikit pun tergiur untuk bermewah-mewah. Ketika masa jabatannya usai, Natsir dengan tenang mengayuh sepeda meninggalkan kantor, lalu ringan menyerahkan mobil dinas tanpa sedikit pun rasa memiliki yang berlebihan. Kesederhanaan itu bukan dibuat-buat, tapi memang sudah mendarah daging dalam dirinya."

Romansa Teladan yang Berkelindan

“Negara ini ibarat istri pertama, secara natural tak lagi secantik mudanya dulu, tapi ialah yang kita perjuangkan dengan air mata dan darah.”

Aku hampir tak bisa menahan air mata. Di tahun 1950, Natsir menawarkan jalan keluar konstitusional dari kebuntuan negara: ia mengusulkan Mosi Integral, yang mengembalikan bentuk negara federal ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—bukan dengan senjata, tapi dengan retorika konstitusional yang elegan. “Aku tak menyesal, Dinda. Kadang untuk menyelamatkan bahtera, awak kapal harus berbeda haluan sejenak lungsur ke sekoci agar tidak limbung dan tenggelam ringan pula berlayarnya.”

Sahabat dalam Perdebatan: Antara Natsir dan Aidit

“Gurunda, benarkah Guru pernah bersahabat dengan DN Aidit?” tanyaku penasaran.

Ia terkekeh. “Dia lawanku di ruang sidang, tapi saudaraku di luar ruangan.”

Aidit—pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI)—adalah lawan ideologis Natsir. Mereka pernah hampir saling lempar kursi dalam sidang. Tapi malamnya, Aiditlah yang kerapp datang dengan seduhan kopi panas untuk Natsir. Bahkan konon, jika Natsir kehabisan tumpangan sepulang rapat malam, Aidit memboncengnya naik sepeda.

“Kalau semua musuhmu adalah iblis,” ujar Natsir sambil tersenyum, “kau hanya akan hidup dalam neraka kebencian.”

Di mata Natsir, perbedaan ideologi tidak menghalangi kemanusiaan. Beliau mampu melihat Aidit bukan hanya sebagai lawan politik, tapi juga sebagai sesama sahabat anak bangsa."

Amien Rais menyebutnya “negarawan yang tak kenal dendam.” Gus Dur menyebutnya “salah satu muslim paling toleran yang pernah dikenalnya.”

Bahkan saat Pemerintah Pusat menolak otonomi daerah, Natsir membuat keputusan kontroversial: bergabung dengan PRRI atas nama kekuasan yang terdistribusi melalui otonomi daerah. “kenapa Gurunda dulu memilih jalan itu? Bukankah itu dianggap pemecah-belah negara kesatuan?” tanyaku hati-hati. Ia menghela napas. “Dinda, aku tak ingin negeri ini runtuh akibat dominasi sentralisme tokoh atau di bawah dominasi satu ideologi, pilihanku bertumpu pada soal menjaga keseimbangan.” Keputusan itu membawanya ke penjara hingga 1966. Namun, ia tak pernah menyesal. Drama hidupnya—dari puncak kekuasaan hingga jeruji besi—adalah bukti keberaniannya mempertahankan prinsip.

Dialog Sunyi dengan Bung Karno dan Bung Hatta

Natsir sangat dekat dengan Bung Hatta—dua pria Minang yang keras kepala soal prinsip. Tapi hubungannya dengan Bung Karno penuh dinamika. Mereka sahabat dalam perjuangan, namun bersilang jalan soal masa depan ideologi bangsa.

“Bung Karno itu pelukis besar,” kata Natsir, “tapi kadang terlalu jatuh cinta pada kanvasnya sendiri.”

Mereka bertukar surat. Kadang tajam, kadang lembut. Saat Natsir diberhentikan sebagai Perdana Menteri oleh Sukarno, ia hanya mengangguk dan berkata, “Yang penting Republik ini tetap berdiri, Bung.”

Warisan Keikhlasan dan Nurani Tanpa Kepentingan

“Tahukah kau, Dinda,” katanya suatu malam, “aku tak pernah punya rumah sendiri. Rumah ini pun pinjaman.” Saat ia wafat pada 6 Februari 1993, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tanpa harta, tanpa vila, tanpa yayasan bahkan warisan atas namanya. Ia pergi seperti ia datang: hanya dengan kesederhanaan yang mewah tertata.

Hari ini, saat negeri ini diramaikan oleh parade gelimang kemewahan dan politik transaksional, kita rindu sosok seperti Natsir. Sosok yang kemeja tambalannya justru menjahit kembali harapan rakyat. Bukan dengan janji, tetapi dengan teladan. 

Dan aku muridnya, hanya mampu menunduk haru. Hari ini, saat politik dinodai transaksionalisme dan kemewahan vulgar dipertontonkan tanpa malu, kami rindu sosok seperti Mohammad Natsir—yang kemeja tambalannya justru menjahit keikhlasan berbalut harapan bangsa, tulus menyulam nurani tanpa kepentingan, konsisten dengan keteladanan.

Tiba-tiba terbayang tunduk malunya wajah kami bila Natsir seolah muncul sekarang sambil berujar, “Duhai anak bangsa, sekarang siapa saja yang bangga memakai kemeja tambalan seperti aku?”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement