Kamis 08 May 2025 18:52 WIB
Catatan Perjalanan "Islam dan Dialog Antaragama di Jerman" Bagian I

Islam di Jerman: Antara Sentimen dan Integrasi

Jika sentimen antimuslim terus dibiarkan, dampaknya bisa meluas.

Muslim berdoa di Munich, Jerman.
Foto: Reuters
Muslim berdoa di Munich, Jerman.

Oleh : Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia; dari Berlin

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Saat ini, ada sekitar 5,5 juta muslim yang tinggal di Jerman, sekitar 6,6 persen dari total penduduk. Sebagian besar adalah imigran generasi kedua atau ketiga. Mereka datang dari berbagai latar belakang — 45 persen keturunan Turki, 27 persen dari Timur Tengah, 19 persen dari Eropa Tenggara, dan sisanya dari Afganistan, Iran, dan sekitarnya. Karena itulah, komunitas muslim di Jerman sangat beragam dalam budaya, bahasa, dan pandangan keagamaan.

Hubungan antara Turki dan Jerman juga punya sejarah panjang. Pada 1961, Jerman mendatangkan banyak pekerja dari Turki untuk membantu pembangunan. Banyak dari mereka akhirnya menetap dan membangun kehidupan di sana. Hal serupa juga terjadi dengan pekerja dari Maroko (1963), Tunisia (1965), dan Yugoslavia (1968).

Sentimen Antimuslim dan Diskriminasi

Meski sudah cukup lama tinggal di Jerman, integrasi komunitas muslim masih menjadi tantangan. Studi dari Kementerian Dalam Negeri Jerman pada 2023 menunjukkan bahwa 14 persen muslim merasa mereka tidak diterima sepenuhnya sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan, sekitar separuh warga Jerman masih setuju dengan pandangan antimuslim.

Di kehidupan sehari-hari, diskriminasi ini muncul dalam banyak bentuk. muslim sering dianggap "asing" atau penganut agama yang "terbelakang". Mereka kerap dikaitkan dengan kekerasan dan ekstremisme. Kesalehan sering disalahartikan sebagai fundamentalisme.

Diskriminasi terasa di berbagai aspek: di dunia kerja, pendidikan, dan perumahan. Perempuan berhijab sering menghadapi permusuhan paling nyata. Laki-laki muslim dicap agresif. Di sekolah, anak-anak muslim sering dinilai dengan prasangka — anak perempuan dianggap tertindas, sementara anak laki-laki dicap misoginis. Nama Arab atau Turki pun bisa membuat penilaian akademik mereka diragukan.

Di buku pelajaran dan kurikulum, Islam sering muncul dalam konteks konflik. Program pencegahan ekstremisme pun sering menargetkan muslim, yang justru memperkuat stigma bahwa mereka adalah pelaku, bukan korban.

Media pun tak jauh beda. Pemberitaan media besar, baik cetak maupun televisi, cenderung fokus pada kekerasan yang dilakukan oleh muslim atau isu integrasi yang sempit. Sementara kekerasan terhadap muslim atau oleh kelompok ekstrem kanan jarang dibahas.

Apa penyebabnya? Ada banyak. Rendahnya kesadaran redaksi soal sentimen antimuslim, pengaruh kepentingan bisnis, tekanan politik populis, minimnya akses ke narasumber muslim, dominasi “pakar Islam” yang kontroversial, kurangnya keberagaman di ruang redaksi, dan lemahnya etika serta pelatihan jurnalis.

Untuk mengatasi hal ini, Mediendienst Integration merilis Handbuch Islam und Muslime pada 2019 — sebuah buku panduan berbahasa Jerman untuk jurnalis yang membahas beragam topik seputar Islam dan muslim, mulai dari ajaran utama, sejarah Islam di Eropa dan Jerman, hingga isu islamofobia.

Integrasi dan Kesetaraan

Pada 2015, aksi protes antiimigran merebak di beberapa kota Jerman. Merespons hal itu, Kanselir Angela Merkel saat itu, menegaskan, "Ada empat juta muslim tinggal di Jerman. Mereka menjalankan agama mereka di sini. Mereka adalah warga Jerman, dan agama mereka, Islam, juga bagian dari Jerman." Pernyataan ini sejalan dengan ucapan mantan Presiden Christian Wulff pada 2010.

Pernyataan semacam ini penting, karena bisa membentuk opini publik yang lebih adil tentang Islam dan muslim. Di sisi lain, ini juga mendorong komunitas muslim untuk lebih terlibat dalam masyarakat. Integrasi yang baik dipercaya akan memperkuat rasa saling percaya, saling memahami, dan pada akhirnya mengurangi diskriminasi.

Studi yang sama menunjukkan bahwa persepsi negatif terhadap Islam lahir dari kurangnya pemahaman publik. Jika sentimen antimuslim terus dibiarkan, dampaknya bisa meluas — memengaruhi kebijakan pemerintah dan struktur sosial. Ketiganya saling terkait, dan jika diskriminasi terus terjadi, partisipasi yang setara dan pengakuan terhadap komunitas muslim akan sulit terwujud. Padahal, kedua hal itu adalah fondasi utama bagi demokrasi yang dijunjung tinggi di Jerman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement