Oleh Doddy Yudhistira Adams, Mantan Pengurus The Habibie Center dan Pemimpin Umum Majalah Musik Mumu
Sebagai anak Menteng, waktu muda tentu aku kenal Eboni, Musro, Stardust, Lipstick, Earth Quake, Tanamur, dan Angkerage. Nama terakhir berada di Taman Ria Monas dan waktu muda dulu aku ikut mengelolanya bersama Yan Jourgi. Nama-nama di atas adalah nama Discotheque tempat anak muda memangkal ketika itu.
Di antara nama tersebut di atas tempat meeting yang paling Jetset (sebutan lain untuk keren/elite) adalah Eboni di Hotel Hilton Jakarta (kini Hotel Sultan). Di tempat tempat itulah para selebritas berkumpul dan kita selalu menemuinya.
Masa muda dulu saya tidak munafik memang sering berkunjung ke sana. Sebagian memang bertugas sebagai MC atau menyanyi mengisi acara di sana. Setiap Rabu siang di Angkerage diselenggarakan 'Lucheon' dengan hiburan menonton fashion show dari Rahadian Yamin. Group saya terkadang bertugas sebagai MC dan peragawannya.
Masa muda saya di usia 20-an tidak lepas dari pergaulan anak muda Menteng, Jakarta. Kebetulan masa itu saya dibesarkan di daerah Menteng, Jakarta. Nuansa musik saya dibangun di Genk Pegangsaan tempat kami kumpul bersama Chrisye, Kenan Nasution cs.
Tempat 'Redevous musik juga di Radio Prambors yang kebetulan berada di belakang rumah saya. Prambors itu singkatan dari Prambanan Borobudur dan Sekitarnya. Banyak tokoh berada di sana, antara lain, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Ali Sadikin, Soedomo, Djojohadikusumo (eyangnya Prabowo), Jenderal Azis Saleh, dan para pahlawan Revolusi sebagian tinggal di daerah itu.
Rumah kami di Menteng itu punya riwayat tersendiri. Ketika zaman Jepang dulu ayahku meneruskan sekolah dari HIK Yogya ke SGT Jepun kebetulan asrama beliau di Pegangsaan (kemudian jadi PGT UI yang waktu mahasiswa juga tempat saya memangkal).
Setiap pagi ayah saya berolahraga lari lewat Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) lewat depan Rumah Bung Karno. Ayah yang waktu itu masih muda bilang ke teman-temannya bila beliau selalu ingin tinggal di depan rumah Bung Karno yang adem dan hijau.
Setiap pagi saat itu, di depan rumah selalu terlihat Bung Karno yang tampak membaca sambil minum kopi. Namun, ayah tidak lama di Jakarta, lalu oleh Jepang ayah ditempatkan di Blitar dan tinggal di rumah Ibu Wardojo kakak Bung Karno. Di sana ada Ibu Ida Ayu, ibunda Sukarno. Ayah sering memijit kaki Ibu Ida Ayu dan mendengarkan kisah Kusno kecil yang biasa di sungai mencari ikan untuk makan kakak dan keluarga.
Ibu Ida halus seperti priyayi Jawa walaupun beliau orang Bali. Kusno (panggilan Bung Karno) adalah putra sang fajar kesayangannya. Uniknya pada 1958 akhirnya ayahku menjadi tawanan politik oleh Sukarno karena PRRI tanpa diadili sampai medio 1966 dan direhabilitasi oleh Soeharto.
Ya, walaupun hidup keluarga kami dihancurkan Sukarno, ayah sedikit pun tidak dendam pada Sukarno. Saya menilai ada rasa kekaguman ayah akan Sukarno. Ideal nilai pendidikan yang diajarkan ke kami banyak beradaptasi dari cara-cara hidup Sukarno yang ayah dapat dari Ibu Ida Ayu.
Satu yang tak lepas sampai sekarang adalah kegemaranku membaca dan menulis. Aku suka membaca buku-buku hukum, politik, dan biografi. Di dalam biografi kita banyak menggali cara hidup ketangguhan dan kesuksesan para tokohnya di dalam menghadapi kehidupan.
****
Setelah meninggalkan Yogyakarta. pada tahun 1970 ayah mengabdi pada alm Bapak M Natsir tokoh Masjumi dan tokoh Nasional. Ayah dapat kepercayaan menjalankan Penerbitan Buku Sinar Hudaya milik Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Di mana di masa kuliah pun aku ikut membantu ayah disana. Itulah yang memperkenalkanku pada tokoh Nasional M Natsir yang mantan Perdana Menteri RI dan Ketua Umum Masjumi Partai Pemenang Pemilu tahun 1955 yang menjadi pemilu paling jujur dan adil dalam sejarah Indonesia.
Sinar Hudaya pun bersinar di tangan ayah. Saat itu mendapat kepercayaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk pengadaan buku-buku Perpustakaan Sekolah. Proyek inilah yg mengantarkan kami pada 1973 bisa kembali tinggal di jalan Proklamasi Menteng, persis di depan kediaman Bung Karno. Sesuai dengan impian almarhum ayahku Adam Saleh Datuk Tan Malik.
Rumah itu dulu pada eranya menjadi rumah paling bagus di kawasan Jln Kalasan Proklamasi Jakarta, tapi kini menjadi rumah tua antik yang menyimpan banyak kenangan kami sekeluarga di sana. Ayahku sayang perjuangan hidupmu melawan tantangan demi masa depan kami sekeluarga menjadi kaca bagi kami untuk membangun kehidupan ini!