Senin 07 Jan 2019 08:42 WIB

Efek Elektoral Jokowi dan Kebijakan Fiskal

Ini menggambarkan Jokowi tidak terlalu peduli dengan potensi efek elektoral.

Iman Sugema
Foto: Republika/Da'an Yahya
Iman Sugema

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema

Sebagaimana kita ketahui bahwa tahun 2019 merupakan tahun pertarungan politik untuk memilih presiden dan anggota parlemen. Karena itu, menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Di lain pihak, pejawat memiliki insentif untuk mendorong perekonomian supaya lebih kinclong atau lebih nendang secara elektoral. Namun, langkah seperti ini cenderung akan menciptakan instabilitas. Intinya, walaupun pejawat memiliki otoritas untuk mengerahkan anggaran untuk menciptakan efek elektoral, pada kenyataanya otoritas itu tidak akan sepenuhnya bisa termanfaatkan.

Teorinya sederhana sekali. Di negara-negara maju, pejawat biasanya cenderung melakukan kebijakan anggaran yang sangat populis. Berbagai kebijakan dirancang supaya bisa menambah pundi-pundi suara.

Tentu hal seperti ini akan cenderung memperbesar belanja negara yang pada ujungnya akan memperlebar defisit fiskal. Dalam situasi ekonomi terbuka, hal ini akan cenderung memperlemah nilai tukar dan atau menaikan tingkat suku bunga. Tentu hal ini berisiko untuk menciptakan instabilitas bagi perekonomian.

Bagaimana dengan Jokowi sebagai petahana di pilpres tahun ini? Ada tiga hal yang menarik untuk dibahas. Yang pertama adalah rekam jejak pemerintahan Jokowi yang sejauh ini tidak terlalu populis.

Yang kedua, ruang gerak anggaran yang relatif sangat terbatas. Dan yang terakhir adalah situasi eksternal yang tidak memungkinkan untuk menempuh kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif. Berikut adalah ulasannya.

Selama ini, pemerintahan Jokowi dikenal tidak terlalu populis. Ini ditunjukkan dengan strategi penurunan defisit fiskal yang tahun lalu hanya sekitar 1,7 persen dari GDP. Kalau mau sedikit ekspansif, sebetulnya pemerintah masih bisa mendorong defisit sesuai dengan rencana semula yaitu sekitar 2,5 persen dari GDP.

Bukannya dinaikkan, malah justru defisit ditekan. Ini menggambarkan bahwa Jokowi tidak terlalu peduli dengan potensi efek elektoral yang bisa diraih dengan cara memperbesar pengeluaran pemerintah.

Kalau mau, pemerintah bisa saja memperbesar program-program yang sangat populis dan well targeted. Hal ini bisa ditempuh dengan cara memperbesar anggaran untuk subsidi dan program sosial di berbagai lini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement