Selasa 18 Sep 2018 07:34 WIB

Isu Rupiah, Serupa Tapi tak Sama

Rupiah terseok, namun ekonomi Indonesia masih mampu bertahan.

Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id
Foto: Republika.co.id
Friska Yolandha, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolanda*

Isu rupiah masih hangat diperbincangkan meskipun kini tekanannya tampak agak mereda. Intervensi pemerintah melalui sejumlah kebijakan menolong rupiah tak sampai tembus level Rp 15 ribu per dolar AS.

Mengutip Bloomberg, perdagangan rupiah ditutup Rp 14.806 per dolar AS di pasar spot pada Jumat (14/9). Pada kurs tengah BI, rupiah diperdagangkan di level Rp 14.835 per dolar AS.

Secara perlahan, rupiah menjauhi Rp 14.900 setelah pekan sebelumnya sempat membuat rakyat harap-harap cemas. Intervensi pemerintah berbuah manis. Namun, harga yang harus dibayar adalah penurunan cadangan devisa (cadev).

Per akhir Agustus, cadev negara tercatat sebesar 117,9 miliar dolar AS atau turun 0,4 miliar dolar AS dari awal bulan yang sebesar 118,3 miliar dolar AS. Posisi tersebut setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Cadangan devisa terus mengalami pengurangan sejak awal tahun. Per Januari 2018, cadev berada di posisi 131,98 miliar dolar AS. Artinya, sampai akhir Agustus, 14,08 miliar dolar AS cadev dikucurkan untuk membayar utang dan menjaga rupiah.

Prediksi liar rupiah bakal capai Rp 15 ribu per dolar AS membuat orang membanding-bandingkan kondisi saat ini dan 20 tahun lalu. Ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menilai tidak dapat dibandingkan antara kondisi saat ini dan 1998. "Yang terjadi saat ini sebenarnya adalah kembalinya dunia kepada situasi normal baru (new normal)," kata Chatib Basri dalam cicitannya di Twitter pada 6 September 2018.

Dalam 10 tahun terakhir, dunia berada dalam keadaan abnormal karena kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang menerapkan suku bunga rendah. Kini, secara perlahan tapi pasti, The Fed akan menaikkan suku bunganya kembali untuk menarik pasar dunia. Hal ini berimbas pada negara berkembang, termasuk Indonesia yang selama ini memang sangat bergantung pada investasi asing.

Hal yang sedang kita hadapi ke depan adalah nilai tukar yang tidak menentu, suku bunga meningkat dan inflasi yang ikut meningkat. Akibatnya, ekonomi akan melambat selama beberapa tahun ke depan.

Pemerintah sudah beberapa kali melakukan revisi suku bunga acuan. Saat ini, suku bunga acuan di tingkat 5,5 persen. Sejumlah ekonom menilai ini belum berakhir. Hingga akhir tahun, BI diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuan untuk meredam pelemahan rupiah yang terus berlanjut.

Pemerintah juga sudah melakukan sejumlah pengetatan kebijakan. Di antaranya, pemberlakuan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 atau PPh impor yang diharapkan dapat menurunkan tingkat impor hingga dua persen. Pemerintah juga mendorong kewajiban penggunaan biodiesel 20 persen (B20) untuk mengurangi impor minyak.

Lalu apakah kondsi saat ini sama dengan 1998? Tentu tidak. Banyak indikator yang menunjukkan perbedaan yang jauh dengan kondisi 20 tahun lalu. Di antaranya, inflasi Agustus 1998 mencapai 78,2 persen sedangkan Agustus 2018 'hanya' 3,2 persen. Pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 1998 mencapai minus 13,34 persen sedangkan tahun ini 5,27 persen.

Cadangan devisa tahun ini masih baik dibandingkan 1998 yang cuma 23,61 persen. Dengan kondisi saat itu, Indonesia memperoleh peringkat surat utang di level 'junk'. Saat ini, Indonesia masih berstatus 'investment grade'.

Jauh? Tentu jauh berbeda kondisinya saat itu dan hari ini. Meskipun tertatih-tatih, perekonomian nasional masih mampu bertahan dari segala  terpaan sentimen negatif. Kalau bahasa beken pejabat negara, fundamental ekonomi nasional masih kuat.

Dengan pengalaman berkali-kali diterpa krisis, atau terdampak krisis negara lain, Indonesia masih mampu berdiri tegak. Namun, hal ini tentu saja tidak terus-menerus dibiarkan. Indonesia jangan melulu 'self defense' tapi juga harus 'fight'. Caranya? Tentu saja dengan mendorong ekspor. Perlu dibuat kebijakan-kebijakan yang dapat memperkuat ekspor.

Nilai ekspor nasional hingga Juni mencapai 104,24 miliar. Jumlah ini naik  11,35 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Mengutip data Badan Pusat Statistik, ekspor terbesar di antaranya bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan serta mesin/peralatan listrik.

Kebijakan-kebijakan yang proekspor harus didorong. Kebijakan yang seperti apa? Salah satunya adalah kemudahan berusaha di dalam negeri. Sembari menekan masuknya produk dari luar, pemerintah harus memperkuat kualitas dan kuantitas produk lokal. Integrasi industri dari hulu ke hilir harus digalakkan agar tak perlu lagi impor-impor dan harga produk lokal pun akhirnya bersaing dengan produk impor.

Masyarakat pun diharapkan meningkatkan kesadaran pentingnya mengonsumsi produk dalam negeri demi stabilitas ekonomi nasional. Misalnya, lebih sering beli produk-produk organik hasil usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) alih-alih produk organik impor, atau sering-sering beli pakaian buatan butik lokal daripada brand asing. Toh, dampaknya secara tidak langsung akan kembali ke kita juga. Jangan sampai teriak-teriak harga sembako naik, rupiah melemah, tapi ngopi di Starbucks, beli kaos H&M, sepatu merek Adidas.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement