REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Denny JA, Akademisi/Konsultan Politik
Semoga itu tak terjadi. Itulah respons cepat saya selaku warga yang mencintai negaranya. Cukup dag dig dug saya membaca review analisis masa depan yang dituliskan dalam bentuk novel, berjudul Ghost Fleet. Tahun 2030 itu hanya berjarak 13 tahun dari sekarang. Astaga!
PW Singer nama penulisnya. Ia seorang ahli ilmu politik luar negeri, mendapatkan PhD dari Harvard University. Bersama rekannya August Cole, mereka mencoba memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan dalam konflik global. Agar prediksi dan perspektifnya hidup, ia tuliskan analisisnya itu dalam drama novel.
Karena yang menulis seorang yang sangat ahli, novel ini bahkan menjadi perhatian serius petinggi militer di Amerika Serikat. James G Stavridis, pensiunan laksama angkatan laut Amerika Serikat, yang kini menjadi dekan di Tufts University jurusan hubungan internasional, menyebut buku ini (novel) merupakan cetak biru untuk memahami perang masa depan. Pemimpin militer di negeri Paman Sam itu mewajibkan para tentara membacanya.
Soal Indonesia sebenarnya disinggung lebih sebagai pembuka dan sambil lalu. Topik utama novel itu justru menceritakan bangkitnya China selaku super power yang bahkan melampaui Amerika Serikat.
Saat itu, komunisme China sudah usang. China dipimpin oleh "kelas baru" yang disebutnya sebagai Directorate. Ini elit gabungan antara kelas pengusaha kakap bersama para pemimpin tentara. Elite ini menggantikan pemimpin partai komunis yang segera dilupakan.
Lebih maju dibandingkan Amerika Serikat, China disamping lebih kaya, juga lebih cepat menemukan persenjataan supramodern, banyak jenisnya. Antara lain sejenis "cyber attack" yang mampu melumpuhkan aneka sistem elektronik bahkan yang paling canggih di Amerika Serikat.
Indonesia saat itu, di tahun 2030, disebut novel tersebut menjadi negara yang gagal. Ini kondisi yang jika lebih buruk lagi bisa mengarah pada kolaps seperti yang dialami Uni Soviet dan Yugoslavia, dua negara yang hilang dalam peta. Namun negara gagal tak otomatis semakin buruk jika bisa diperbaiki.
Segera saya mendalami lebih jauh apa itu Failed State, dan bagaimana pula ia diukur secara kuantitatif dalam Fragile State Index.
Failed State, negara gagal, atau dengan tanda kutip kita sebut negara yang mungkin "musnah," adalah kondisi ketika kemampuan pemerintah untuk mengelola kompleksitas negara berada pada titik rendah. Menurunnya wibawa pemerintah nasional mengancam keberlangsungan negara yang berdaulat. Meluas ketidaknyamanan warga.
Beberapa indikator dapat dikenali. Terjadinya penurunan kesejahteraan masyarakat yang signifikan, atau yang disebut economic collapse. Di samping bertambahnya kemiskinan, juga di sana sini terjadi kerusuhan akibat kondisi ekonomi.
Pada saat yang sama pemerintahan pusat punya legitimasi yang menurun di mata rakyatnya. Itu bisa beberapa sebab. Bisa karena "moral decay" terjadinya korupsi menghebat pada institusi pemerintahan yang diketahui luas. Bisa pula itu karena berkembangnya sentimen negatif, rasa ketidakadilan pemerintah dalam mengelola ragam kelompok komunal, ideologis, dan primordial.
Konsep negara gagal sendiri masih kontroversial dalam perdebatan konsep politik. Itu terminologi yang longgar dan sulit mengukurnya. Sebagian akademisi membuatnya lebih kuantitatif dan merumuskan dalam indeks yang disebut Fragile State Index.
Dalam Fragile State Index tahun 2017, sebenarnya rangking Indonesia tetap berada di posisi yang aman. Kondisi kita lebih baik, tentu saja dari beberapa negara seperti Iran, Iran, Pakistan. Namun juga Indonesia lebih buruk dibandingkan Malaysia, Brunei, Kuwait, apalagi negara Skandinavia. Rangking Indonesia berada di nomor 94 terburuk dari 178 negara yang diukur.
Dengan data kuantitatif di atas, prediksi novel Ghost Fleet itu agak berlebihan. Secara positif kita sebut saja prediksi novel itu berfungsi sebagai wake up call. Ada ahli yang dengan data dan ketajaman analisisnya sudah berkata: Hei, hati hati! Jangan terlalu santai. Negaramu bisa musnah!!