Selasa 27 Feb 2018 11:41 WIB

Pujian dan Blusukan Bos IMF: Belajarlah pada Era Suharto

‘’Ora utang, ora pathekan (tidak berutang, tidak kurapan),’’ kata Suharto.

Bahas Rencana Pertemuan IMF.  Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde (tengah) bersama Presiden Joko Widodo mengunjungi Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (26/2).
Foto: Republika/ Wihdan
Bahas Rencana Pertemuan IMF. Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde (tengah) bersama Presiden Joko Widodo mengunjungi Pasar Tanah Abang, Jakarta, Senin (26/2).

Melihat riuh rendahnya sambutan Bos IMF (International Monetery Fund), Christian Lagarde, ketika melakukan kunjungan ke rumah sakit dan pasar Tanah Abang serta puja-pujinya bahwa kondisi ekonomi Indonesia kini sangat baik, maka hendaknya semua orang Indonesia mau melihat ke belakang mengenai apa yang pernah terjadi dengan sepak terjang IMF di sini.

Semua masih ingat ketika pada tahun 1991 Presiden Suharto mendepak JP Pronk dari IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia), sebuah organisasi  yang terdiri lembaga dan negara pemberi utang kepada Indonesia. JP Pronk membuat Suharto marah besar setelah sibuk blusukan ke berbagai tempat. Imbasnya IGGI yang pernah sangat bersahabat dengan Suharto dibubarkan.

photo
JP Pronk ketika bertemu Presiden Suharto. Setelah dia melakukan blusukan, IGGI dibubarkah. Pronk dianggap bertingkah layaknya Gubernur Jendral Hindia Belanda. (foto: Suharto.co).

‘’Ora utang, ora pathekan (Tidak berutang, tidak kurapan),’’ kata Suharto kala itu saking marahnya atas blusukan Pronk. Dia menganggap blusukan Pronk itu sama dengan perilaku gubernur jendral zaman Hindia Belanda. Bagi orang khususnya orang Jawa, tindakan itu ‘petanteng-petenteng’ alias tak tahu adab. IGGI bubar, para tenokrat Indonesia kala itu menganti ‘mantelnya’ dengan sebutan CGI (Consultative Grup in Indonesia).

Selanjutnya, peran IMF pun tetap berjalan. Bahkan, ketika sampai menjelang krisis ekonomi di pertengahan 1997, IMF mengeluarkan pujain setinggi langit. Ekonomi Indonesia baik dan aman dari krisis. Ini kemudian diamini oleh Menteru Keuangan saat itu, ‘Mr Clean’ Mar’ie Muhammad. Di dalam rapat dengan DPR kala itu dia menyampaikan suasana yang menyenangkan, persis apa yang dikatakan IMF tentang keadaan ekonomi Indonesia yang katanya sangat baik itu.

Tapi lacur, suasana berubah. Terjangan krisis ekonomi keuangan yang bermula datang dari jatuhnya nilai mata uang Thailand (Baht) karena diborong George Soros, kini berimbas ke Indonesia. Suharto awalnya bersikeras bertahan dan tidak mau menandatangi perjanjian dengan ekonomi dengan IMF. Tapi, para tenokrat yang ada di dalam negeri mendesaknya.

Para pemimpin negara besar juga ikut terus memintanya mendatangi perjanjian itu. Bahkan Presiden AS Bill Clintong berulangkali mendesak Suharto agar segera sepakati perjanjian eknomi (utang) dengan IMF itu.

Setelah beberapa bulan menimbang pada sekitar awal tahun 1998, Suharto akhirnya memutuskan menandangi perjanjian itu. Hanya berselang beberapa bulan kemudian, pada Mei 1998 Suharto jatuh dari kursi kekuasaan alias ‘lengser keprabon’.

                                                         *******

Lalu pertanyaannya, apakah setelah perjanjian dengan IMF ditandatangani dan Suharto jatuh, kondisi ekonomi Indosia membaik? Ternyata tidak demikian adanya. Selain dolar terus melambung, satu persatu orang Indonesia melihat lepasnya aset strategis ke asing. Para orang pemilik bank dan perusahaan dibantu melalui BLBI, sementara pengusana ‘nasi pecel’ dibiarkan mandiri. 

Pada kemudian hari para konglomerat alias orang super kaya itu, tetap jadi pengemplang utang yang kini kasusnya belum juga diselesaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. IPTN berubah menjadi perusahaan rongsokan yang secara gamblang diakui BJ Habibie dibanyak forum disebabkan karena IMF tidak memperbolehkan memasok dana lagi. Pengangguran dan rusuh pun meledak di mana-mana.

Situasi ekonomi yang buruk ini, sudah lama dikatakan mantan menteri keuanganan Rizal Ramli. Dia mengatakan semua itu berasal dari biang kegagalan resep ekonomi IMF. Dalam banya diskusi Rizal Ramli secara terbuka mengatakannya. Rizal mengatakan dia mengatakan ‘kegagalan ini’ bukan hanya di Indonesia tetapi di ‘depan hidung’ para petnggi IMF secara langsung. Apalagi juga terbukti kegagalan resep ekonomi IMF juga terjadi di negara lain.

Namun, apakah Rizal Ramli berpendapat sendirian? Ternyata banyak ekonom lain yang berpendapat senada. Kalau kita membuka banyak catatan pemberitaan lama, di sana terekam pendapat banyak ekonom yang kala itu mengecam sepak terjang IMF. Di antara mereka adanya ekonom Prof Stev Hanke. Dia adalah penasihat Suharto dan ahli masalah keuangan atau Curents Board System (CBS) dari Universitas John Hopkins di Amerika Serikat. Menurutnya, IMF-lah (termasuk Amerika Serikat) yang menjatuhkan Soeharto.

Bahkan, mengutip sebuah berita dari laman Antara sepuluh tahun silam, ada pengakuan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, yang bekas tentara Prancis itu. Menurut arsip lama berita yang menuliskan wawancara "perpisahan"  Camdessus sebelum pensiun dengan The New York Times, Camdessus mengakui IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia.

photo
Presiden Soeharto menandatangi perjanjian dengan IMF. Michel Camdessus terlihat memandanginya dengan bersedekap.

"Kami menciptakan kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun," ujar Camdessus.

Pengakuan ini tentu saja menyambar kesadaran banyak orang. Tak dinyana, krisis di Indonesia ternyata bukan semata kegagalan kebijakan ekonomi Soeharto, tapi juga berkat "bantuan" lembaga dan negara lain.

Nah, kisah ini membuktikan bagaimana harus bersikap dengan ‘puja-puji’ dari pihak lain. Apalagi bagi orang Jawa misalnya lagi-lagi ada nasihat arif bahwa orang tidak akan rusak mentalnya atau sengsara karena dihina dan dimaki. ‘Orang Jawa’ akan mati —persis huruf Jawa— bila dipangku alias dipuji.

Belajarlah pada kisah Presiden Suharto yang pernah mengalaminya. Ini penting agar kita bisa berharap tak akan terulang lagi!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement