REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Dunia Muslim dalam dua dasawarsa terakhir dihadapkan pada berbagai tantangan internal dan eksternal. Salam satu tantangan serius itu adalah kecenderungan peningkatan ekstrimisme dan radikalisme di kalangan kaum Muslimin baik di negara-negara Muslim sendiri atau di bagian dunia lain seperti di Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika.
Belum terlihat tanda-tanda menyakinkan berakhirnya kecenderungan tidak menguntungkan itu. Meski ISIS mengalami kekalahan di berbagai fron di Irak dan Suriah, aksi bersenjata teror brutal masih terus mereka lakukan. Begitu juga kekerasan dan teror masih dilakukan Alqaidah, Boko Haram, asy-Syabab, JAT, dan JAD misalnya.
Meski demikian, kontra-wacana dan kontra-gerakan terhadap radikalisme dan terorisme juga meningkat di kalangan umat Muslimin mayoritas yang cinta damai di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Mereka selama ini cenderung menjadi mayoritas diam; padahal suara dan sikap mereka yang tegas anti-kekerasan, anti-radikalisme, dan anti-terorisme sangat diperlukan.
Dalam konteks itulah berbagai upaya pembangkitan dan pemberdayaan moderasi Islam yang damai dan inklusif merupakan kebutuhan medesak. Hal ini benar bukan hanya kepentingan Islam dan kaum Muslimin hari ini, tapi juga masa depan. Jelas, tidak ada masa depan, kemajuan dan kebangkitan peradaban Islam jika kaum Muslimin sendiri masih bergumul dengan ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme.
Moderasi Islam yang urgen itu dikenal terutama di Indonesia sebagai Islam wasathiyah, Islam jalan tengah yang terekspresikan dalam konsep dan praktik ‘Islam Nusantara’ di lingkungan NU dan ‘Islam Berkemajuan’ di kalangan Muhammadiyah. Paradigma seperti itu, ada tidak hanya di lingkungan Muhammadiyah dan NU, tetapi juga dalam ormas-ormas Islam lain yang terdapat di seantero Indonesia.
Paradigma dan praksis Islam wasathiyah juga menjadi salah satu prinsip dan corak Islam yang dikembangkan lembaga Al-Azhar baik melalui universitas maupun lembaga dakwah, kebudayaan dan risetnya. Berbeda dengan Indonesia yang kaya dengan ormas Islam wasathiyah, Mesir tidak memiliki ormas non-pemerintah yang signifikan. Memang ada ormas al-Ikhwan al-Muslimun; tetapi ia lebih merupakan organisasi politik, yang selalu terlibat dalam pertarungan kekuasaan dengan militer Mesir.
Institusi Al-Azhar sendiri sejak 1961 di masa pemerintahan Presiden Gamal Abdel Nasser mengalami ‘nasionalisasi’, sehingga Al-Ahar yang semula merupakan lembaga non-pemerintah menjadi bagian integral institusi pemerintah. Karena itu Al-Azhar hampir selalu mengambil posisi yang sama dengan rejim yang berkuasa.
Sejauh menyangkut Islam, Al-Azhar bertugas memelihara dan mengembangkan ortodoksi Islam yang disebut sebagai Manhaj Al-Azhar. Manhaj itu terdiri dari tiga prinsip: pertama, menganut paham atau kalam (teologi) Asy’ariyah atau Maturidiyah dalam aqidah; kedua, menganut salah satu dari empat mazhaz (Hanafi, Syafi’i, Maliki atau Hanbali) dalam fiqh, dan menganut akhlak Sufi atau menganut jalan tasawuf.
Ortodoksi Islam Al-Azhar atau Mesir umumnya bukan tidak sama dengan ortodoksi ormas-ormas Islam Indonesia—atau lebih tegasnya Islam Indonesia. Juga ada tiga aspek ortodoksi Islam Indonesia; Pertama, kalam Asy’ariyah-Maturidiyah; kedua, empat mazhab fiqh Sunni dengan prioritas Mazhab Syafi’i; dan tasawuf al-Ghazali baik yang dipraktekkan secara personal maupun komunal melalui kelompok atau tarekat.
Terbinanya ortodoksi Islam yang sama di antara kedua bangsa Muslim banyak terkait dengan sejarah hubungan di antara Indonesia dan Mesir sejak waktu yang sangat lama. Dan hubungan itu juga mencakup jaringan keilmuan dan sekaligus jaringan ulama.
Memang dari sudut hubungan diplomatik di masa moderen, hubungan kedua negara terbangun sejak 1947 setelah mengakui kemerdekaan Indonesia untuk kemudian meresmikan hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik antara Indonesia-Mesir selama 72 tahun patut dirayakan.
Untuk kepentingan itu, KBRI di Kairo menyelenggarakan Seminar dan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Refleksi Hubungan Indonesia-Mesir Menghadapi Tantangan dan Perkembangan Hubungan Antar-Bangsa’ di Kairo pada 4-5 Oktober 2017 lalu.
Seminar yang berlangsung di hari pertama menghadirkan sejumlah pembicara dari Indonesia dan Mesir. Dari Tanah Air mencakup Dubes RI Helmy Fauzy, Ketua Wantimpres Sri Adiningsih, anggota Wantimpres Sidarto Danusubroto, mantan Menlu Nur Hassan Wirajuda, dan penulis Resonansi ini. Pembicaraan seminar berfokus pada ‘Hubungan Indonesia-Mesir: Visi Masa Depan’.