Oleh: Nur Hadi Ihsan, Dosen Universitas Darussalam Gontor
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesantren berdiri bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi sebagai ekosistem nilai yang menghidupkan ilmu dengan ruh, dan memanusiakan akal dengan adab. Ia bukan sekadar tempat belajar, melainkan ruang penyucian jiwa dan pembentukan watak—tempat ilmu tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupkan melalui keteladanan, kesederhanaan, dan khidmah.
Di tengah arus pendidikan modern yang serba kompetitif dan materialistik, pesantren hadir sebagai oase tempat ilmu kembali menemukan maknanya yang hakiki: menuntun manusia menuju Allah melalui jalan akhlak dan amal.
Adab sebagai Fondasi Ilmu
Keunggulan pertama pesantren terletak pada adab. Dalam tradisi keilmuan Islam, adab bukan sekadar sopan santun, melainkan tata batin dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya. Murid tidak hanya diajarkan apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana memuliakan ilmu dan pengajarnya.
Tradisi pesantren mengajarkan bahwa seseorang itu belum dianggap berilmu sebelum beradab, sebab ilmu yang lahir tanpa adab akan kehilangan cahaya dan keberkahannya.
Dalam ruang pesantren, adab menjadi bahasa yang menyatukan: antara guru dan santri, antara ilmu dan amal, antara dunia dan akhirat. Ketika seorang santri mencium tangan gurunya atau menundukkan kepala saat menerima pelajaran, itu bukan ritual feodal, melainkan ekspresi epistemologis: pengakuan bahwa ilmu adalah anugerah Ilahi yang turun melalui perantara manusia yang telah menempuh jalan tazkiyah.
Akhlak sebagai Jiwa Pendidikan
Akhlak adalah buah dari penyucian jiwa dan hati yang berakar pada kesadaran Ilahiah. Di pesantren, akhlak bukan sekadar pelajaran moral, tetapi cara hidup. Keikhlasan, kesederhanaan, kesabaran, kejujuran, dan amanah tidak diajarkan lewat teori, melainkan dihidupkan dalam keseharian: mencuci piring bersama, menjaga kebersihan kamar, melayani tamu, dan taat kepada jadwal dengan penuh kesadaran.
Di sinilah pesantren menunjukkan keunggulannya yang hakiki. Pendidikan di pesantren tidak berhenti pada transfer ilmu, tetapi menumbuhkan transformasi diri. Santri belajar menundukkan ego, melatih tanggung jawab, dan menempuh perjalanan batin untuk mengenal Tuhannya. Ilmu menjadi sarana untuk memperhalus akhlak, dan akhlak menjadi jalan untuk mengenal makna ilmu.