Selasa 20 Jun 2017 20:54 WIB

Fase Kritis Demokrasi Kita Hari ini

Warga memasukan surat suara ke kotak suara saat pemungutan suara ulang (PSU) putaran kedua Pilkada DKI Jakarta di TPS 01 Gambir, Jakarta, Sabtu (22/4).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Warga memasukan surat suara ke kotak suara saat pemungutan suara ulang (PSU) putaran kedua Pilkada DKI Jakarta di TPS 01 Gambir, Jakarta, Sabtu (22/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Moch Aly Taufiq, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

 

Saat ini, pemerintah bersama DPR sedang ngebut merampungkan RUU Penyelenggaraan Pemilu. Sederet isu sudah diputuskan, meskipun beberapa isu krusial lainnya masih membutuhkan pembahasan panjang.

RUU ini adalah rangkaian insfrastruktur demokrasi kita yang masih diselimuti jalan terjal. Labirin panjang berkelok seakan juga tak ada ujung yang segera kita temui. Endemik intrik politik rasanya kian hari juga kian mengubur cita-cita kemakmuran negeri ini. Gejala apa gerangan yang terjadi?

Bung Karno dalam salah satu kesempatan pidatonya mengatakan secara retoris-provokatif: 

“Saudara-saudara, saya usulkan, kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yaitu politiek-economische yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial”.

Kutipan pidato sang proklamator itu betapapun masih sangat kontekstual dan relevan jika kita bumikan ke dalam demokrasi Indonesia saat ini. Mengapa? Meminjam istilah R. William Liddle (2010) demokrasi Indonesia saat ini adalah demokrasi in waiting, demokrasi yang sedang proses loading, demokrasi yang sedang ‘mencari bentuk’, menentukan posisi mana yang pas, format bagaimana yang cocok serta gaya apa yang klik.

Sejalan dengan hal itu, wakil presiden Mohammad Hatta dalam “Demokrasi Kita” juga pernah mengatakan bahwa kelak harusnya demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang sesuai dengan kultur dan juga nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa, bukan demokrasi yang asal “copy-paste” mentah-mentah dari Barat. Demokrasi seperti itu dinamakan oleh Hatta sebagai demokrasi kekeluargaan yang menjunjung tinggi permusyawaratan.

Konsep demokrasi yang digagas oleh Soekarno dan Hatta itulah yang kemudian hari diterjemahkan oleh Yudi Latif (2011) sebagai demokrasi deliberatif.Demokrasi yang meletakkan keutamaan diskusi dan juga musyawarah yang bertendensi pada argumentasi-argumentasi serta daya konsensus serta hikmah kebijaksanaan yang mumpuni.

Namun, rupanya lain konsep lain pula pelaksanaan. Menilikkondisi yang ada dan berkembang belakangan ini, terutama soal demokrasi serta dunia perpolitikan negeri ini,agaknya kita harus rela untuk berpikir lebih keras lagi guna menentukan langkah yang lebih serius, bertindak secara jeli tidak asal-asalan dan juga berlaku adil serta konstruktif dalam membaca demokrasi.

Kenyataannya demokrasi kita masih sangat gaduhdan diwarnai dengan intrik dan konflik sekaligus kental dengan aromasaling mengalahkan serta kagiatan-kegiatan yang bersifat politis-transaksional.

Karut marut demokrasi kita tidak hanya datang dari sulitnya menerapakan konsep saja, namun juga ketidak seragaman kita dalam memahami demokrasi itu sendiri juga menjadi masalah yang teramat serius yang harus kita kaji lebih jauh.

Bukankah tidak sedikit produk demokrasi kita hari ini yang dianggap inkonstusional? Hampir di setiap pascahajatan pemilu, pemilukada dan juga pemilihan-pemilihan yang lainnya selalu diikuti oleh protes, kecaman dan juga tak jarang “amuck” dari pihak yang kalah karena merasa dicurangi.

Sudah tidak terhitung lagi jumlah sengketa pilkada yang terjadi di negeri ini, dan itu semua sebagaimana kita pahami adalah salah satu produk demokrasi negeri ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement