
Oleh : Hendarman, Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikdasmen/Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apakah perubahan kebijakan merupakan sebuah keharusan apabila terjadi transisi atau pergantian kepemimpinan? Apakah perubahan kebijakan harus diterima sebagai sebuah keniscayaan? Secara normatif, kebijakan yang telah ditetapkan pada saatnya perlu dicermati kembali akibat adanya perubahan yang terjadi. Hal ini dikatakan Widodo (2007) dalam bukunya “Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik”.
Perubahan tersebut dapat terjadi di lingkungan internal (internal environment) maupun lingkungan eksternal (external environment). Dampak perubahan tersebut dapat berupa yang dikehendaki (intended-impact) maupun tidak dikehendaki (unintended-impact). Adanya perubahan dimaksud menimbulkan dampak yang berimplikasi potensi timbulnya masalah-masalah yang mengharuskan pembuat kebijakan atau pihak yang terkait dengan kebijakan dimaksud sudah harus memikirkan langkah antisipasi atau upaya pemecahannya.
Sebuah perubahan kebijakan telah diterbitkan oleh kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah. Pertimbangan dilakukan perubahan adalah untuk memastikan tersedianya pendidikan yang bermutu untuk semua warga negara melalui penilaian terstandar. Kebijakan dimaksud dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik, yang telah ditandatangani pada 28 Mei 2025, dan diundangkan di Jakarta, pada 3 Juni 2025. Tes Kemampuan Akademik (TKA) tersebut dapat diikuti murid jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal.
Mengapa TKA
Dalam kaitan dengan penilaian terstandar, sebelum ini masyarakat umum telah mengenal bentuk penilaian lain yaitu Asesmen Nasional (AN). AN adalah program evaluasi yang diselenggarakan pada saat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) belum dipecah menjadi tiga kementerian baru. AN mengukur mutu pendidikan di seluruh satuan pendidikan, mulai dari jenjang dasar hingga menengah. Dibandingkan Ujian Nasional (UN) maka AN tidak menentukan kelulusan siswa dan lebih berfokus pada pemetaan mutu pendidikan secara keseluruhan, termasuk kualitas proses pembelajaran dan lingkungan belajar. Hasil AN digunakan sebagai dasar untuk perbaikan mutu pendidikan, bukan untuk menilai individu siswa.
Asesmen Nasional menggunakan tiga instrumen utama. Pertama, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk mengukur kompetensi dasar literasi membaca dan numerasi. Kedua, Survei Karakter untuk mengukur sikap dan nilai-nilai yang mencerminkan profil pelajar Pancasila. Ketiga, Survei Lingkungan Belajar untuk mengukur kualitas lingkungan belajar di satuan pendidikan, termasuk iklim keamanan, inklusivitas, dan kebinekaan. Intinya, AN bukan hanya sekadar penilaian, tetapi juga merupakan alat untuk melakukan evaluasi sistem pendidikan secara komprehensif dan berkelanjutan.
Sedangkan tes kemampuan akademik (TKA) adalah kegiatan pengukuran capaian akademik murid dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP) pada mata pelajaran tertentu. TKA diselenggarakan oleh Kemendikdasmen, Kementerian Agama, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dengan menggunakan tiga prinsip, yaitu kejujuran, kerahasiaan, dan akuntabilitas.
TKA memiliki empat tujuan, Pertama, memperoleh informasi capaian akademik murid yang terstandar untuk keperluan seleksi akademik. Kedua, menjamin pemenuhan akses murid pendidikan nonformal dan pendidikan informal terhadap penyetaraan hasil belajar. Ketiga, mendorong peningkatan kapasitas pendidik dalam mengembangkan penilaian yang berkualitas. Keempat, memberikan bahan acuan pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan.
Dalam sejumlah kesempatan, menteri yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah mengungkapkan bahwa Pemerintah tidak mewajibkan murid untuk mengikutinya. Ditengarai bahwa pengalaman empiris selama ini menunjukkan bahwa tes di penghujung jenjang akademik seringkali dinilai sebagai sumber stres para murid. Atas dasar tersebut maka TKA didesain untuk mereka yang memang siap dan mampu menghadapi tes guna menambah penilaian individu saja.
Yang menarik adalah bahwa keputusan untuk menetapkan TKA tidak serta-merta menggantikan peran asesmen nasional karena tujuan keduanya memang berbeda. Asesmen nasional wajib diikuti oleh satuan pendidikan dan bertujuan menilai capaian pembangunan pendidikan. Sedangkan TKA untuk mengetahui potensi dan kemampuan akademik siswa. Juga, khusus untuk kelas 12 hasil dari penilaian TKA dapat menjadi komponen penilaian pada Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) masuk perguruan tinggi. Artinya, sistem ini tidak menjadi penentu kelulusan, tetapi bisa memengaruhi (proses) ke jenjang selanjutnya.
Menunggu Implementasi
Masyarakat pasti menunggu bagaimana implementasi kebijakan baru ini. Mutu dari kebijakan sangat tergantung pada kebenaran mengidentifikasi masalah secara tepat dalam makna bahwa masalah yang diidentifikasi tersebut tidak sekadar benar dalam arti plausible atau masuk akal, tetapi juga dapat ditangani (actionable) ditinjau dari berbagai sarana dan kondisi yang ada dan mungkin dapat diusahakan.
Kehadiran kebijakan TKA seyogianya sudah pasti melalui tahapan analisis yang didasarkan atas keakuratan dalam mengidentifikasikan masalah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk mengukur mutu dengan penilaian standar. Ini disebabkan pengalaman-pengalaman terdahulu seperti yang dikatakan Abidin (2006) bahwa ketepatan masalah selalu menjadi isu yang dapat diperdebatkan ketika perubahan kebijakan terjadi.