
Oleh : Hari Eko Purwanto, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP – Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gunung Rinjani selalu punya dua sisi: keindahan yang menenangkan dan tantangan yang mendebarkan. Di ketinggian 3.726 meter, kabut tipis menyelimuti lerengnya, seolah menutupi sisi gelap yang kerap luput dari cerita Instagram dan vlog para pendaki. Namun, pada pertengahan Juni 2025, keindahan Rinjani berubah menjadi duka internasional.
Juliana Marins, seorang pendaki asal Brasil, terjatuh ke dalam jurang saat menjelajahi jalur pendakian Rinjani. Ia bertahan selama empat hari di dasar jurang dengan kondisi yang memprihatinkan. Ketika informasi simpang siur tersebar, mulai dari kabar bahwa ia diberi makanan hingga ditemukan dalam keadaan selamat, justru sukarelawan lokal lah, bukan tim resmi, yang akhirnya berhasil mengevakuasi jasadnya.
Kisah tragis ini kemudian meledak secara global. Tagar #SaveJuliana mendominasi media sosial di Brasil dan menyebar hingga ke jagat digital Indonesia. Kecaman terhadap lambannya respons tim penyelamat Indonesia pun bermunculan. Bahkan, Pemerintah Brasil mengirim diplomat untuk menyelidiki kasus ini. Keluarga Juliana secara terbuka menuding ada kelalaian dan komunikasi yang tidak jujur dari pihak berwenang Indonesia. Di sisi lain, netizen dunia, terutama dari Brasil, menyuarakan kemarahan, rasa sedih, dan kritik atas bagaimana informasi soal upaya penyelamatan disampaikan secara tidak transparan.
Fenomena ini dapat dibaca melalui lensa agenda setting theory yang dikembangkan oleh McCombs dan Shaw. Teori ini menyatakan bahwa media tidak menentukan apa yang harus dipikirkan publik, tetapi menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. Dalam kasus Juliana, perhatian media dan masyarakat baru benar-benar muncul setelah topik ini viral secara internasional. Artinya, perhatian institusi pun bergerak mengikuti tekanan digital, bukan karena sistem yang berjalan otomatis.
Keterlambatan dalam penyampaian informasi dan tidak adanya narasi yang konsisten juga menunjukkan lemahnya komunikasi krisis. Dalam kerangka crisis communication theory (Coombs, 2012), respons terhadap situasi krisis seharusnya cepat (speed), akurat (accuracy), dan terbuka (transparency). Ketika ketiga elemen ini tidak hadir, ruang kosong itu akan segera diisi oleh opini public yang seringkali tidak terkendali dan penuh kecurigaan.
Situasi menjadi lebih rumit ketika aktor non-resmi seperti sukarelawan, pendaki lokal, bahkan content creator justru lebih dipercaya publik dibanding institusi formal. Inilah gambaran nyata dari krisis kepercayaan. Sukarelawan Agam Rinjani dan timnya menjadi sosok yang dielu-elukan karena mereka hadir dan bekerja, bukan hanya berbicara.
Peristiwa ini menyisakan pelajaran penting bahwa komunikasi di era digital bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi membangun narasi yang hidup dan dialogis dengan publik. Apalagi dalam konteks pariwisata dan penyelamatan jiwa manusia, keterlambatan sekian jam bisa berarti hilangnya nyawa.
Kita tidak bisa lagi menunggu isu menjadi trending baru kemudian bertindak. Komunikasi publik, terlebih saat krisis, harus berjalan cepat dan berempati. Pemerintah daerah, lembaga SAR, dan pihak terkait perlu membangun sistem komunikasi krisis yang proaktif dan adaptif, termasuk membuka ruang kolaborasi dengan komunitas lokal serta sukarelawan.
Peristiwa tragis yang menimpa Juliana Marins bukan sekadar catatan duka, tapi juga kaca pembesar atas cara kita, terutama lembaga public berkomunikasi di tengah krisis. Dalam dunia yang serba cepat dan terhubung, publik tidak lagi menunggu konferensi pers. Mereka mencari kabar di linimasa, menggali fakta lewat cuitan, dan mengambil kesimpulan dari video berdurasi 30 detik. Sayangnya, sebagian lembaga kita justru masih bertumpu pada pola lama: diam dulu, reaktif belakangan, dan baru bergerak cepat setelah viral.
Ini bukan lagi soal siapa salah dan siapa benar, tapi soal bagaimana sebuah krisis ditangani, bukan hanya di lapangan, tapi juga dalam percakapan publik. Ketika publik merasa didiamkan, maka mereka akan berbicara sendiri. Dan suara netizen, apalagi dalam jumlah masif dan lintas negara, bisa jauh lebih bising daripada megafon institusi mana pun.
Inilah pelajaran penting yang seharusnya tidak datang dari kehilangan: bahwa komunikasi bukan pelengkap dari aksi, tapi bagian dari aksi itu sendiri. Ia harus hadir sejak detik pertama, bukan setelah tagar trending. Ia harus jujur, bahkan ketika jawabannya belum ada. Dan ia harus humanis, karena di balik semua ini, ada orang tua yang kehilangan anak, ada relawan yang mempertaruhkan nyawa, dan ada masyarakat yang ingin percaya tapi sering dibuat ragu.
Ke depan, kita butuh tata kelola krisis yang lebih lincah, dan komunikasi yang tak hanya berpihak pada prosedur, tapi juga pada nurani. Pemerintah dan media sosial bukan lagi dua kutub yang saling curiga, tapi harus jadi mitra dalam menyampaikan kebenaran. Karena di dunia yang bergerak secepat notifikasi, kepercayaan publik bukan dibangun lewat seremonial, tapi lewat ketulusan, ketepatan, dan kehadiran yang nyata baik di lapangan maupun di layar-layar kecil kita.
Mari kita belajar dari Rinjani. Dari sunyi yang menelan suara, dari kabut yang menutup sinyal. Bahwa kecepatan teknologi memang penting, tapi kepekaan hati tetap lebih utama. Semoga tak ada lagi nyawa yang menunggu viral hanya untuk didengar.