
Oleh : Iskandarsyah Siregar, Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional
Pertanyaan besarnya adalah Apakah Indonesia akan musnah? Atau malah sukses bermanuver menjadi Pemimpin dunia?
Peradaban dunia saat ini tengah berada di ambang perubahan besar yang sepertinya mengarah pada kondisi yang tidak selalu menuju pada kebaikan umat manusia. Di balik berbagai gimmick, keriuhan, dan gemerlap kehidupan yang seolah gembira, realitas geopolitik global menunjukkan bahwa kondisi sebenarnya sedang jauh dari kata baik-baik saja. Perang tidak lagi hanya berupa tembakan dan rudal, melainkan menyusup melalui jalur proxy seperti kanal informasi, ekonomi, kebijakan kesehatan, dan manipulasi persepsi publik. Dalam pusaran dinamika ini, Indonesia sebagai negara besar dengan populasi dan kekayaan alam melimpah tentu tidak dapat diam dan membohongi diri sendiri bahwa kita akan selalu baik-baik saja. Justru, melihat wujud morfologis negeri ini, bangsa kita berpotensi menjadi sasaran berikutnya dari permainan geopolitik global yang penuh agenda tersembunyi.
Dunia Sedang Tidak Baik-Baik Saja: Ketegangan yang Mengglobal
Mari kita mulai dengan meneropong jauh keluar. Kita harus jujur melihat bahwa kondisi global saat ini berada dalam ketegangan yang kompleks. Perang dagang yang terjadi saat ini, khususnya antara Amerika Serikat dan Tiongkok, dua raksasa ekonomi dunia, bukan hanya soal tarif impor atau industri semikonduktor, melainkan mencerminkan pertarungan dan perebutan hegemoni global. Ketegangan ini berdampak psikologis terhadap bangsa-bangsa lain, termasuk sekutu tradisional kedua negara tersebut, yang kini bingung menentukan keberpihakan. Dalam hal ini, kita dapat melihat perubahan persekutuan yang ekstrem terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Hubungan antarnegara menjadi tegang dan penuh kecurigaan. Terjadi bongkar pasang persahabatan dan permusuhan. Apa yang disebut sebagai “perang dingin baru” kini menyusup ke dalam sistem ekonomi dunia dan turut memengaruhi stabilitas politik seluruh dunia. Termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Sementara itu, konflik Pakistan dengan India yang kembali memanas bukan sekadar konflik perbatasan atau agama. Tiba-tiba sekali eskalasi memuncak drastis. Bahkan, ada dimensi yang jauh lebih serius, yaitu isu senjata nuklir. Pakistan merupakan satu-satunya negara mayoritas Muslim yang secara resmi memiliki senjata nuklir. Maka sangat masuk wajar jika muncul persepsi bahwa terdapat agenda terselubung untuk menekan dan, jika memungkinkan, menonaktifkan kemampuan nuklir Pakistan. Dalam konteks ini, spekulasi mengenai keterlibatan kekuatan global seperti Israel—yang sejak lama memiliki keinginan menjadi dominator di Timur Tengah dan bahkan dunia—bukanlah omong kosong belaka. Sejak Perang Dunia II, Israel telah memainkan peran licik yang masif dan sistematis melalui aliansi militer, teknologi, dan intelijen. Bahkan, para ilmuwan mulai menyusun hipotesis yang mengarah pada kenyataan bahwa dominasi Amerika Serikat dan Uni Eropa pun perlahan sedang diambil alih oleh kepentingan Israel melalui pengaruh ekonomi dan lobi global.
Gejolak di Dalam Negeri: Mengapa Indonesia Tiba-Tiba Menjadi Keruh?
Kita harus sepakat bahwa setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto, atmosfer sosial-politik Indonesia sempat menunjukkan ketenangan yang relatif. Prabowo, yang sebelumnya menjadi antitesis Jokowi dengan konteksnya selama dua kali pemilu, justru diterima sebagai figur penyeimbang atau jalan tengah. Ia berhasil menjembatani massa pro-Jokowi dan kelompok oposisi yang selama ini kerap bertarung keras, baik dalam konteks ide atau bahkan pernah juga secara fisik. Dalam beberapa bulan pertama pemerintahannya, publik melihat ada harapan baru untuk rekonsiliasi nasional dan perbaikan tata kelola pemerintahan.
Namun, kondisi ini berubah drastis. Harapan tersebut seolah hanyalah ilusi yang naif. Tiba-tiba, sejumlah isu sensitif dan strategis bermunculan silih berganti. Anehnya, isu-isu panas tersebut terutama yang melibatkan TNI. Dari soal kenaikan pangkat yang dinilai tidak wajar, seperti dalam kasus Teddy Indra Wijaya yang melompat ekstrem dari pangkat kapten hingga menuju letkol, hingga pencopotan Letjen Kunto Arief Wibowo dari jabatan Pangkogabwilhan I yang menimbulkan kehebohan dan sak-prasangka karena mutasi tersebut kemudian direvisi hanya dalam waktu satu hari. Kasus yang lebih aneh lagi adalah mutasi Laksamana Muda Kresno Buntoro, perwira tinggi Angkatan Laut, menjadi Pati Mabes TNI AD dalam rangka pensiun—langkah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah TNI modern.
Isu-isu ini, walaupun pada dasarnya merupakan urusan internal TNI, tapi dalam era ultra-terbuka seperti sekarang ini, telah menjadi konsumsi publik dan membuka spekulasi yang beragam. Terlebih lagi, munculnya perbedaan tajam di kalangan purnawirawan TNI terkait isu pemakzulan Wapres Gibran semakin memperkeruh situasi. Tokoh-tokoh senior yang selama ini dihormati karena netralitas dan kenegarawanannya kini terlihat berseberangan secara terbuka. Terhadap semua hal ini, banyak yang menilai bahwa ini bukan sekadar dinamika dan urusan kelembagaan biasa, melainkan gejala awal dari pelemahan sistemik terhadap institusi pertahanan negara.
Vaksin, Pandemi, dan Artifisialisasi Fakta
Di tengah kegaduhan politik dan militer itu, tiba-tiba muncul pula isu global lain yang tidak kalah mencurigakan: vaksin TBC. Setelah dunia diguncang oleh pandemi Covid-19 dan muncul berbagai pertanyaan tentang transparansi serta motif di balik pengembangan vaksin global, kini masyarakat dibuat bertanya-tanya lagi. Vaksin TBC yang dikembangkan oleh GlaxoSmithKline (GSK) sejak 2018 dinyatakan berhasil dalam uji coba, namun entah mengapa pengembangannya mandek. Ironisnya, vaksin ini justru kembali didorong untuk digunakan setelah mendapat pendanaan besar dari Gates Foundation—nama yang sudah tak asing lagi dalam kontroversi vaksin Covid-19. Organisasi kemanusiaan seperti Doctors Without Borders pernah menyuarakan keprihatinan terhadap peran yayasan tersebut, yang dinilai terlalu dominan dalam menentukan arah kebijakan kesehatan global.
Muncul asumsi dan pertanyaan-pertanyaan “old brand new”, apakah Indonesia akan kembali dijadikan pasar dan objek eksperimen kebijakan kesehatan global? Apakah kita memiliki sistem pengambilan keputusan yang cukup independen untuk menolak intervensi yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat relevan, apalagi jika kita melihat betapa minimnya keterlibatan akademisi dan praktisi independen dalam diskursus kebijakan kesehatan publik di negeri ini.
Indonesia Dalam Bidikan?
Fenomena yang muncul secara beruntun, mulai dari kebijakan aneh di tubuh TNI, perpecahan di kalangan purnawirawan, hingga potensi manipulasi kesehatan publik, mengarah pada satu hipotesis yang layak direnungkan: mungkinkah Indonesia sedang dipersiapkan untuk menjadi target berikutnya dari strategi destabilisasi global? Atau bahkan, sebenarnya Indonesia adalah The Center of Gravity yang memang sejak awal menjadi target utama?
Dalam banyak skenario operasi strategis, musuh tidak akan langsung menyerang dari luar. Mereka akan lebih dahulu memecah kekuatan dalam negeri, melemahkan institusi strategis, dan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap TNI, pemerintah, dan tokoh-tokoh kunci bangsa. Dalam konteks ini, merusak soliditas TNI adalah langkah krusial dalam melemahkan bangsa secara keseluruhan.
TNI adalah simbol kedaulatan. Jika TNI goyah, maka pertahanan mental dan politik bangsa akan ikut runtuh. Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia harus menyadari bahwa menjaga TNI bukan hanya tugas internal institusi itu sendiri, tetapi tugas kita semua sebagai bangsa. Kita harus berhenti menyederhanakan persoalan besar ini sebagai “konflik pribadi antarjenderal” atau “dinamika wajar dalam militer.” Ini jauh lebih besar daripada itu.
Belum lagi pelemahan sektor lain seperti dunia pendidikan dan lembaga keagamaan yang sangat mungkin sudah mulai diserang dan dirusak dengan dimulai dari penghancuran nilai-nilai dasarnya. Tidak berfungsi secara maksimalnya kedua sektor ini dapat menjadi indikasi dan variabel hipotesis tak terbantahkan untuk menarik kesimpulan yang tidak membahagiakan ini.
Dengan semua fakta yang ada, pertanyaan besar muncul: apakah Presiden Prabowo mampu merespons segala tantangan ini dengan sikap kenegarawanan sejati? Ataukah justru tergelincir menjadi bagian dari aktor-aktor yang secara sadar atau tidak ikut merusak sendi-sendi kedaulatan bangsa? Tugas Prabowo tidak mudah. Tetapi sebagai presiden, beliau harus menunjukkan kemampuan mengambil keputusan besar di tengah badai, bukan hanya mengatur lalu lintas birokrasi.
Kembali pada jalur yang bijaksana dan berhikmah pada kebaikan dan visi misi awal berbangsa dan bernegara, rasanya menjadi solusi yang relevan dan efektif. Salah satu langkah yang mungkin patut dipertimbangkan kembali adalah mengaktifkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dalam konstitusi awal Indonesia, DPA adalah institusi penting yang memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan strategis nasional. DPA bukan sekadar penasehat, tetapi sebuah institusi yang memiliki integritas moral, legalitas konstitusional, dan kedalaman pemikiran strategis. Fungsi ini sangat berbeda dari Wantimpres atau Staf Khusus Presiden yang cenderung lebih bersifat politis dan personal. Terlebih, DPA diyakini dapat bekerja berfungsi efektif dan efisien tanpa perlu banyak bersikap basa-basi karena posisinya yang relatif sejajar dengan Presiden.
Dalam situasi seperti sekarang, kehadiran DPA dapat berfungsi sebagai penyeimbang yang kuat terhadap kecenderungan sentralisasi kekuasaan eksekutif. DPA dapat menjadi forum strategis yang terdiri dari negarawan sejati—bukan partisan politik—yang meletakkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Dengan kata lain, DPA memiliki peran, fungsi, dan tugas sebagai lembaga bangsa dan Presiden adalah lembaga negara.
Mengembalikan peran, fungsi, dan tugas lembaga akademik sebagai penasehat utama pengambilan kebijakan negara adalah hal urgen yang juga harus segera dilakukan. Tentu saja, hal ini harus dimulai dengan mengidealkan kondisi diri internal lembaga akademik tersebut. Yang memimpin dan memutuskan di lembaga ini haruslah mereka yang benar-benar ahli, berhikmah, dan memiliki kebijaksanaan. Bukan pemeran-pemeran minim kualitas yang selama ini menjadi asumsi publik. Tapi ini tidak mudah. Siapa yang berani melakukan? Konsekuensinya adalah mereka yang selama ini memimpin dengan bermodalkan manuver politik, kepalsuan membosankan, dan gimmick tak berfaedah harus tersingkir karena malkualitas. Apakah kita siap?
Indonesia Harus Menjadi Bangsa Pemenang
Bangsa Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton atas konstelasi global yang tengah berubah secara radikal. Kita harus hadir sebagai subjek sejarah, bukan objek dari skenario global. Untuk itu, kita perlu kepemimpinan yang berani, cerdas, dan berjiwa negarawan. Kita juga perlu institusi-institusi kuat yang tidak mudah dipolitisasi, serta sistem pengambilan keputusan yang berbasis akal sehat dan integritas.
Mungkin, sudah saatnya bangsa ini berhenti berharap bahwa penyelesaian akan datang dari luar. Kita sendiri yang harus menentukan arah. Dan arah itu hanya bisa ditentukan jika kita bersatu, sadar, dan berani menghadapi kenyataan. At the end of the day, Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika bukan kaum itu yang mengupayakan.