REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: drg Syukri Wahid *)
Titik perbedaan mendasar antara konsep demokrasi dengan syura Islam adalah terletak pada sumber kedaulatannya. Demokrasi sumbernya, suara rakyat adalah legitimasi dari suara Tuhan.
Sedangkan dalam syura, suara Tuhan haruslah menjadi suara rakyat. Jika dalam konsep demokrasi suara bumi itulah yang menjadi suara langit, maka pada konsep syura, suara langit haruslah menjadi suara bumi.
Cara kerja dari demokrasi adalah suara terbanyak menjadi dasar suara Tuhan. Kalau konsep syura sistem kerjanya adalah apa yang disuarakan Tuhan haruslah menjadi dasar suara bagi rakyat.
Patokannya, bukan terletak pada suara yang paling diinginkan secara mayotitas rakyat. Lantas apakah kedua makna di atas kontradiktif? Apakah keduanya bisa dikompromikan?
Jika kedua konsep ini kita aplikasikan dalam sistem Negara, maka kedua-duanya membutuhkan sarana yang sama untuk mewujudkannya, yaitu membutuhkan sarana perwakilan. Dalam sistem syura Islam, sarana perwakilan ini dikenal dengan istilah ahlul halli wal 'aqdi, sedangkan dalam sistem demokrasi disebut representatif atau Dewan. Mengapa negara membutuhkan sarana itu ?
Sekarang bayangkan bagaimana caranya mempraktekkan perintah Allah SWT dalam surat as-Syura’: “Wa amruhum syuura bainahum...". Artinya, “dan urusan dengan mereka hendaklah kamu bermusyawarah dengan mereka.”
Secara langsung ayat ini memberi perintah kepada setiap ulil amri atau pemimpin yang berwenang untuk mengurus umat dan selalu bermusyawarah dengan masyarakatnya dalam segala urusan. Apakah mungkin pemimpin di Indonesia bermusyawarah langsung dengan 240 juta jiwa penduduknya secara bersamaan? Dimana kira-kira tempat yang luas menampung peserta musyawarah sebesar itu? Orang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua harus ke Jawa semua untuk rapat dengan ulil amri-nya?
Tidak terbayang seperti apa memimpin musyawarah dengan 240 juta orang peserta. Jadi untuk merealisir ayat tersebut di tengah dinamika kehidupan kita yang selalu berkembang akan membutuhkan sarananya, yaitu institusi perwakilan.
Baik sistem demokrasi ataupun syura yang kita gunakan, maka keduanya pasti membutuhkan sarana perwakilan. Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana cara menentukan dan memutuskan anggota perwakilan itu atau ahlul halli wal 'aqdi alias DPR/MPR, agar seorang ulil amri bisa menjalankan firman Allah SWT tersebut? Apakah mereka harus ditunjuk langsung? Siapa yang menunjuk mereka? Apakah ditentukan orang-orangnya? Ataukah melalui mekanisme dipilih? Atau bisa sim-salabim langsung muncul itu orang-orangnya duduk di perwakilan rakyat?
Karena itulah kita membutuhkan cara untuk menentukan mereka. Itulah yang kita sebut dalam bahasa politiknya sebagai pemilihan umum atau pemilu. Pemilu dalam perspektf tersebut sebagai sarana meminta persetujuan untuk menjadi wakil rakyat atau umat secara legal untuk mengurusi mereka. Mereka menitipi kewajiban bermusyawarah kepada wakil yang mereka percaya bisa menjalankan peran tersebut. Seperti fungsi mengangkat pemimpin, hisbah atau kontrol pada ulil amri atau pemerintah, maka kita titipkan kewajiban itu kepada wakil kita untuk menjalankannya.
Mengapa saat di zaman khalifah Umar bin Khattab Ra para formatur yang terdiri dari enam orang itu tidak dipilih semua sahabat untuk menentukan khalifah penggantinya? Jawabannya adalah karena seluruh sahabat tersebut sudah ridha dengan sahabat yang masuk dalam formatur tersebut, yang secara alamiah sudah sangat layak menjadi wakil mereka.
Para Sahabat sudah menjadi rujukan dan referensi dalam setiap urusan dunia dan agama mereka. Seperti Abdurrahman bin Auf Ra, Utsman bin Affan Ra, Ali bin Abi Thalib Ra. Tanpa melalui pemilupun mereka sudah menjadi ahlu halli wal 'aqdi di tengah ummat kala itu.
Lantas bagaimana dengan konteks kekinian kita sekarang, bagaimana mencari 500 orang dari lautan 240 juta orang di Indonesia? Maka Pemilu sebenarnya hanyalah alat meminta persetujuan untuk menjadi wakil mereka. Karena itulah dalam agama ini syarat menjadi ahlul halli wal ‘aqdi sangatlah berat.
Bukan hanya syarat integritas diri tapi juga kompetensi dan lain-lain, agar jika nanti Allah menagih bagaimana kita melaksanakan kewajiban bermusyawarah, kita dengan mantap menjawab, “Sudah aku laksanakan dengan mewakilkannya ke Fulan ya Allah.”
Jelaslah bahwa kita akan menggunakan sistem memilih itu, baik dalam konsep demokrasi atau konsep syura’ dalam Islam, sehingga jangan terlalu mudah alergi dengan masalah pilih memilih.
Titik kedua yang krusial, apakah sistem ini akan kita pakai dalam masyarakat yang majemuk? Nanti perwakilannya tidak sesuai seluruh syarat ahlul halli wal ‘aqdi dong. Nanti isi para wakil rakyat itu bercampur dengan model orang-orang berbeda agama, keyakinan, ideologi dan lain-lain, padahal para perwakilan tersebut yang akan menjadi sumber kedaulatan rakyat?
Kita kembali ke awal lagi: kalaupun demokrasi yang dipilih sebagai instrumen di sebuah negera, maka itu alat yang dapat digunakan sebagai pintu masuk dalam otoritas mengurus sebuah negara. Karena memang sarana itulah yang menjadi alat legal dan diakui untuk menjalankan fungsi kedaulatan di sebuah negara.
*) Ketua Komisi I DPRD Balikpapan