Kamis 19 Jan 2017 08:01 WIB

Membubarkan FPI

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika

Awal mulanya adalah bentrok antara dua organisasi massa. Kala itu imam besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab sedang menjalani pemeriksaan di Polda Jabar. Massa FPI datang untuk memberikan dukungan terhadap imamnya. Sebaliknya, massa Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang pembinanya adalah Kapolda Jabar Anton Charliyan justru mengecam Rizieq.

Usai pemeriksaan terhadap Rizieq (12/1), bentrokan itu terjadi. Batu pun berseliweran di udara. Massa GMBI yang tampaknya lebih siap membuat barisan FPI kocar-kacir. Sebuah mobil milik anggota FPI rusak. Massa FPI lalu meninggalkan lokasi, sedangkan massa GMBI tetap berjaga-jaga hingga malam.

Esoknya, giliran massa FPI menyerang markas GMBI di Ciampea, Bogor. Markas itu pun dibakar. Polisi kemudian segera menangani sehingga kerusuhan itu tidak sempat meluas.

Empat hari kemudian (17/1), GMBI kembali melakukan unjuk rasa di Bandung. Mereka mengajukan agenda pembubaran FPI karena ormas Islam ini dianggap sebagai kelompok yang menjadi pemecah belah bangsa. Tuntutan pembubaran FPI disampaikan kepada DPRD dan pemerintah setempat.

Usulan pembubaran FPI bukanlah yang pertama kali. Pada bulan Oktober 2014, pelaksana tugas gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pernah mewacanakan untuk membubarkan FPI dan akan mengirimkan usulan itu ke Kemendagri. Kala itu, Menkumham, Yasonna H Laoly, pun sudah memberi tanggapan. Menurut Laoly, pembubaran ormas tidaklah gampang. Ada proses panjang yang harus dilalui dan tak bisa dilakukan serta-merta.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj bahkan bersikap lebih keras. Ia beranggapan tak ada hak bagi Ahok untuk membubarkan FPI. Ia menilai, urusan pembubaran ormas adalah ranah kepolisian, Kemenkumham, dan Kemendagri. Malahan, kata Said Agil, mengusulkan pembubaran pun Ahok tak punya hak. 

Hal yang sama dinyatakan Mendagri Tjahjo Kumolo baru-baru ini. Menurut Tjahjo, ada prosedur yangn harus ditempuh untuk membubarkan sebuah ormas. Pemerintah harus memberikan perinngatan pertama hingga ketiga. Jika dalam masa peringatan itu ormas tersebut memperbaiki diri maka rencana pembubaran itu bisa tak jadi dilaksanakan.

Mendagri menambahkan, FPI memang terdaftar di Kemendagri. Dengan demikian, kewenangan ada di Kemendagri untuk memproses usulan masyarakat yang meminta pembubaran sebuah ormas. Tjahjo juga menyinggung, usulan pembubaran terhadap ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak mungkin dilakukan. Hal itu lantaran HTI tak terdaftar di Kemendagri.

Di alam demokrasi seperti saat ini, pembubaran suatu ormas bukanlah langkah yang tepat. Jika alasan yang jadi usulan pembubaran adalah karena ideologi ormas yang bersangkutan, semestinya pemerintah sejak awal tak memberi izin berdirinya ormas tersebut. Jangan sampai terjadi, sebuah ormas dibubarkan karena alasan ideologi yang dimilikinya. Padahal, saat awal pendirian, pencantuman ideologi itu tidak menjadi masalah. Bila pada saat pendirian ormas tersebut ideologinya tak menjadi masalah dan memang kemudian tak ada perubahan, mestinya sekarang pun tak boleh dipersoalkan.

Lain lagi jika ormas tersebut saat awal berdirinya menggunakan ideologi yang tak bertentangan dengan ketentuan yang ada, tapi dalam perjalanannya ideologi tersebut mengalami perubahan atau penyesuaian. Apabila ideologi baru ini benar-benar bertentangan dengan ideologi dan simbol-simbol kenegaraan, mungkin proses menuju pembubaran ormas bisa ditempuh tetapi tetap harus melalui peringatan lebih dulu. Jika dalam proses peringatan itu ormas tersebut melakukan perbaikan, tentu langkah pembubaran menjadi tidak perlu.

Khusus terkait dengan keberadaan FPI saat ini, pada hemat saya sama seklai tak tepat bila ormas ini dibubarkan. Usulan pembubaran pun juga sangat tidak mematuhi etika berdemokrasi. Bukan saya membela keberadaan FPI namun saya berpijak pada pillihan kita untuk menjalankan demokrasi secara konsisten.

Demokrasi pada galibnya menghargai kebebasan individu untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat. Undang-Undang Dasar 1945 pun menjamin hal ini. FPI toh secara formal sudah mengajukan prosedur pendaftaran sebuah ormas. Selain itu, FPI juga telah mematuhi proses untuk diakui sebagai ormas. Mereka juga tak melakukan perubahan dalam ideologinya. Dari sini jelas, bahwa tak ada dallih apa pun untuk membubarkan FPI.

Kalau kita ingin lebih maju berdemokrasi, hal-hal seperti ini tak semestinya muncul dan menjadi pembahasan ramai khalayak luas. Kita akan mundur jauh dalam berdemokrasi jika masih juga memberlakukan tindakan konyol dengan memberangus dan membubarkan ormas atau organisasi apa pun yang resmi terdaftar. Sudah semestinya pemerintah mengabaikan tuntutan warga yang menghendaki pembubaran sebuah ormas atau mungkin juga partai yang resmi terdaftar.

Biarlah pembubaran sebuah ormas atau partai menjadi catatan sejarah kelam di masa lalu karena proses belajar berdemokrasi yang sedang kita jalani. Jika itu kembali kita ulangi, kebodohan dalam berdemokrasi akan menjadi penanda tetap dalam perjalanan kebangsaan kita. Semua kompponen masyarakat semestinya bisa memahami hal ini.

Dalam kasus FPI, jika sekiranya perilaku anggota ormas ini dinilai melakukan penyimpangan, mereka itulah yang seharusnya dilaporkan dan menjalani proses hukum. Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anggota FPI itulah yang harus diusut tuntas, bukan mengadukan organisasinya.

Ini sama halnya dengan perilaku buruk para personel sebuah partai politik. Misalnya anggota mereka banyak melakukan korupsi, tentu person itu yang dilaporkan dan diproses hukum, bukan parpolnya. Logika berpikir seperti ini mestinya bisa dipahami oleh seluruh komponen masyarakat yang aktif bergerak dalam sebuah organisasi massa atau partai politik. Oknum yang bersinggungan dengan hukumlah yang harus menanggung risiko.

Pembubaran ormas hanya bisa dilakukan jika ada bukti nyata bahwa secara masif dan terstruktur atau sistematis mereka hendak merongrong kekuasan pemerintah atau mengganti ideologi negara melalui cara-cara yang tak dibenarkan dalam tata atau aturan demokrasi. Andai sekadar wacana untuk mengubah UUD 1945, misalnya, tak pantaslah mereka diciduk.

Inilah saatnya kita lebih dewasa dalam berdemokrasi. Janganlah ketidaksukaan terhadap suatu kelompok membuat kita bersikap zalim kepadanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement