REPUBLIKA.CO.ID, oleh Hiru Muhammad*
Kata new normal dan berdamai dengan Covid-19 kini seolah menjadi 'obat' bagi masyarakat sedang kecewa dan gelisah terhadap pandemi yang belum jelas kapan berakhirnya. Pemerintah bersama aparatnya telah menyusun sejumlah rencana yang harus dilakukan negara di era new normal ini. Selain mengharuskan roda ekonomi berputar, penggunaan kedua istilah itu menuntut hadirnya kebiasaan atau budaya baru di masyarakat.
Budaya ini sebenarnya bukanlah suatu yang baru benar, melainkan hanya kebiasaan baik yang sudah lama ditinggalkan. Seperti hidup dengan menjaga kebersihan, gotong royong serta disiplin atau mematuhi etika yang berlaku. Di sini dibutuhkan kehadiran komunikasi kesehatan yang mampu mengajak masyarakat untuk merubah kebiasaan lama, agar mampu menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru atau new normal, yang dicanangkan pemerintah.
Kelancaran pertukaran informasi tiga pihak yang melibatkan lembaga pemerintah, lembaga non pemerintah dan masyarakat harus berjalan lancar dan tuntas. Hendaknya dalam kegiatan pertukaran informasi ini jangan sampai ada yang terputus atau tidak tersampaikan karena dapat memicu terjadinya kesalahpahaman bagi yang menerimanya.
Bagi lembaga pemerintah yang didukung dengan kemampuan finansial, sistem yang mapan, data yang lengkap, serta infrastruktur yang memadai, sudah selayaknya mampu menyampaikan berbagai gagasan menarik terkait dengan new normal maupun berdamai dengan Covid-19. Gagasan ini tentunya bukan sekedar informasi mentah, melainkan kebijakan yang dapat diterapkan di tingkat masyarakat tanpa menimbulkan persoalan baru di lapangan. Kampanye komunikasi akan lebih efektif ketika pemerintah yang baik mampu bekerja sama dengan pihak lain di luar pemerintah. Apalagi pola komuniasi pemerintah yang lebih banyak bersifat top down, memiliki sejumlah hambatan seperti bahasa, geografis, pendidikan serta sensor atas informasi yang disampaikan.
Bagi lembaga non pemerintah, seperti media massa, lembaga riset, pengamat atau opinion leader agar memberikan informasi yang lengkap, dan lebih operasional dalam menindaklanjuti gagasan pemerintah tersebut menjadi suatu yang sangat vital. Informasi yang tuntas dan lengkap diharapkan mampu menghasilkan pemahaman yang utuh bagi masyarakat, terkait gagasan new normal dan berdamai dengan Covid-19 tersebut. Keberadaan lembaga media massa bukan sekedar menyampaikan informasi kepada masyarakat saja, melainkan harus mampu memberikan gambaran yang utuh dari informasi yang disampaikan. Penyampaian informasi yang tidak lengkap atau terpotong karena berbagai alasan dikhawatirkan dapat memicu persoalan baru di masyarkat.
Peran media massa sebagai gate keeper seperti yang disampaikan Pamela J Shoemaker dan Timothy Vos, melakukan seleksi atas konten yang akan disajikan ke pembaca atau pemirsa. Di sini peran media lebih ditujukan untuk menyaring informasi yang relevan, penting, lengkap dan menarik bagi masyartakat. Bukan lagi sekedar mengutamakan sensasional semata. Mengutamakan sensasi tanpa dasar yang kuat berpotensi memicu terjadinya kesalahpahaman, atau ketidakpercayaan masyarakat kepada komunikator. Apabila ini dibiarkan dapat membahayakan tercapainya tujuan dari new normalmaupun berdamai dengan covid-19. Saat ketidakpastian dan ketidaknyamanan melanda, masyarakat tentunya akan bersandar kepada informasi. Karena itu penyajian informasi yang lengkap dan tuntas akan mampu menjadi pembimbing yang baik di era new normal ini.
Di sisi lain peran media sosial juga patut diperhatikan. Beredarnya informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara etika dan hukum telah memperkeruh keadaan. Keberadaan media sosial telah memunculkan budaya baru, masyarakat baru. Mereka memiliki kekuasaan sepenuhnya dalam membangun realitas, interaksi, regulasi hingga cara berkomunikasi yang khas. Mereka tidaklah harus seorang yang terkenal, tapi apa yang mereka sampaikan mampu menciptakan opini publik tertentu yang berdampak luas.
Hal itu tidak terlepas dari pemilihan konten yang mereka buat dan menjadi kekuatan bagi sebuah media sosial. Kontenlah yang dikonsumsi para pengguna media sosial hingga membentuk budaya baru di antara mereka. Konten dalam bentuk gambar, tulisan, meme atau apapun tentunya akan memberikan reaksi. Reaksi inilah yang akan memicu pengguna lain untuk segera menciptakan konten baru sebagai tandingan ataupun reaksi balik atas rangsangan yang diterima. Di media sosial siapapun bisa memiliki peran ganda secara bergantian sebagai komuniator maupun komunikan. Hal ini merupakan realitas sosial yang muncul di dunia maya saat ini.
Demikian pula para opinion leader maupun pengamat agar membantu memberikan solusi bagi masyarakat. Gagasan two-step flow of communication dari Katz dan Paul Lazarsfeld perlu dipahami, khususnya oleh pihak otoritas seperti pemerintah. Ketokohan mereka sangat dibutuhkan mengingat kultur masyarakat Indonesia yang masih mengagungkan ketokohan seseorang yang layak dipatuhi atau disegani. Pandangan mereka sedikitnya banyak juga dipengaruhi berbagai informasi yang diperoleh, salah satunya melalui media massa. Masyarakat yang membutuhkan informasi yang benar bisa mengakses situs resmi pemerintah atau badan kesehatan dunia seperti WHO. Apabila mengakses informasi dari sumber media hendaknya harus menyeleksi dengan seksama kredibilitas media tersebut.
Di sisi lain, masyarakat sendiri juga dituntut kesadaran yang tinggi. Setidaknya sadar apa yang dia lakukan dapat menimbulkan dampak bagi orang disekitarnya. Penggunaan diksi social distancing, new normal atau berdamai dengan Covid-19 tanpa penjelasan yang gamblang bisa memiliki makna yang beragam bagi masyarakat luas. Karena tiap kelompok masyarakat memiliki karakteristik dan kompetensi bahasa yang beragam.
Komunikasi merupakan oksigen bagi sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpa pasokan oksigen yang lancar dan cukup, tentunya akan mengganggu kehidupan. Bayangan citra pemerintah yang kurang memuaskan khususnya di awal masa pandemi, kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah bagaikan pasokan oksigen bagi masyarakat yang tersendat dan telah menjadi catatan. Hal itu memberikan dampak terhadap kepercayaan dan kredibilitas pemerintah dalam menanggulangi wabah mematikan ini.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id