Selasa 16 Aug 2016 14:53 WIB

Dampak Kasus Arcandra bagi Indonesia

Abdullah Sammy
Abdullah Sammy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

“Sekarang dibutuhkan perubahan kebijakan yang cepat, agar kita bisa cepat mengantisipasi tekanan ekonomi. Oleh karena itu stabilitas keamanan, stabilitas politik dibutuhkan Indonesia saat ini."

Kata-kata di atas adalah petikan pidato Presiden Jokowi kala menutup Rapimnas Golkar 2016, 29 Juli 2016. Dalam pidato itu Jokowi menegaskan pentingnya stabilitas politik di era ekonomi yang sedang lesu. Jokowi sadar, situasi politik di tanah air mesti stabil agar mendukung bangkitnya perekonomian nasional. 

Sebab di sisi lain, kondisi dunia sedang sakit. Pergolakan politik dan ekonomi saling berkelindan di sejumlah negara. Jokowi tak ingin hal itu terjadi di Indonesia. Pun halnya kita sebagai warga negara yang baik.

Karena alasan itu Jokowi kini menggaet Golkar masuk pemerintahan. Jokowi tak segan merangkul mesra ketua umum Golkar Setya Novanto yang beberapa bulan sebelumnya disebut mencatut nama presiden saat meminta jatah saham PT Freeport.

Lantas sudah selesaikah segala persoalan jika melihat kekuatan politik Jokowi yang kini mutlak digenggamannya? 

Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Sejatinya, sejak awal Jokowi menjabat, goncangan stabilitas politik bukan diakibatkan 'gangguan' oposisi. Sebab dalam sejumlah kasus, seperti pemilihan pejabat negara, keputusan Jokowi justru mendapat dukungan dari partai di luar pemerintah.

Sebaliknya, konflik besar justru terjadi di dalam tubuh pemerintahan Jokowi sendiri. Tarik ulur justru kerap terjadi antara Jokowi dengan PDIP. Tak hanya itu, antar-sesama menteri pun berkelahi. 

Bahkan seorang menteri tak segan melempar komentar ke media soal ulah menteri lain yang membangkang perintah presiden. Pada akhirnya, anggota kabinet akhirnya sibuk saling serang sambil menelanjangi aib mereka sendiri.

Dengan kekuatan politik yang semakin besar, persoalan justru terus muncul pada pemerintahan Jokowi. Yang teranyar adalah kasus penunjukan Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM.

Ini pertama kalinya dalam sejarah Indonesia mempekerjakan menteri berkewarganegaraan asing. Celakanya, sektor yang dipegang oleh pemilik paspor Amerika itu adalah salah satu sektor paling vital bagi ketahanan sebuah bangsa, yakni energi. 

Secara politik, keputusan menunjuk Arcandra merupakan pelanggaran konstitusi yamg serius. Tapi beruntung, konstelasi politik saat ini sudah berbeda dengan saat Jokowi pertama kali menjabat. 

Andaikan kasus Arcandra ini terjadi sebelum Golkar masuk pemerintah, maka bisa jadi kasus ini akan digoreng habis di DPR, yang bukan tak mungkin ada potensi untuk menggoyang pemerintah.

Di tengah polemik yang terus membesar, solusi darurat pun diambil. Dua puluh hari setelah ditunjuk sendiri oleh Jokowi, Arcandra langsung diganti. Entah anda mau mengartikan tindakan ini sebagai sebuah kesalahan vatal, aib, atau sekadar lelucon.

Satu hal yang jelas, lagi-lagi sikap Jokowi membuat negara menjadi gaduh. Tak hanya gagal menciptakan stabilitas politik, hal yang justru lebih berbahaya adalah penegasan inkompetensi pemerintahan di mata dunia ekonomi.

Sebab bukan kali ini saja kesalahan dilakukan Jokowi dan rezimnya. Kita rasanya masih ingat sejumlah kesalahan sepele hingga besar yang dilakukan Jokowi.

Mungkin, kesalahan ucap seperti kota kelahiran presiden Sukarno hingga menyebut daerah Makassar sebagai wilayah Sulawesi Utara masih bisa kita maklumi. 

Tapi jika kesalahan itu membicarakan soal krusial seperti posisi hutang Indonesia terhadap IMF, publik jadi bisa bertanya-tanya. Apakah memang seorang presiden mengerti tentang kondisi ekonomi negaranya?

Pun halnya kesalahan vatal saat Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. 

Jokowi secara mengejutkan mengaku tidak selalu memeriksa sejumlah Perpres secara rinci lantaran begitu banyak jumlah dokumen yang harus tandatanganinya. Sehingga sorotan pada Jokowi pun mendunia akibat pernyataan, "I don't read what I sign," (saya tak membaca apa yang saya tandatangani). 

Kesalahan memilih Arcandra pun senada dengan kasus 'I don't read what I sign.' Sekalipun Jokowi coba menyelamatkan mukanya dengan mengganti Arcandra, tapi hal itu mungkin hanya bentuk penyelamatan politik semata.

Tapi dari sisi kredibilitas, pemerintahan Jokowi sudah lanjur tercoreng. Kasus Arcandra semakin menunjukkan inkompetensi dalam menjalankan roda pemerintah. Inkompetensi ini yang tentu bisa berpengaruh dari segi ekonomi.

Tentu banyak investor yang menghindari berbisnis di negara dengan pemerintahan yang tak profesional. Apalagi pemerintahan itu kerap melakukan kesalahan mendasar. 

Bagaimana ada investor mau percaya dengan pemerintah yang tak membaca keputusan yang mereka tandatangani? Apakah ada pula investor yang berani menanam besar modalnya di negara yang dalam 20 hari membongkar pasang menteri di sektor energi?

Deretan pertanyaan itu terjawab dengan melemahnya IHSG usai kasus Arcandra. Dengan kenyataan seperti itu kita jadi patut berpikir keras. Apakah stabilitas negara ini terganggu akibat kualitas pemerintahan Jokowi sendiri?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement