REPUBLIKA.CO.ID,Mesir itu banyak julukannya. Ada yang bernada negatif. Ada yang positif. Yang negatif misalnya, orang Mesir acap kali disebut sebagai IBM bila ingkar janji. IBM singkatan dari ‘insya Allah-bukrah (besok)-malish’ (tidak apa-apa). Sebutan IBM sering disematkan kepada seseorang yang molor untuk menepati janji. Jadilah ia disebut sebagai manusia IBM.
Sedangkan yang positif antara lain sebutan Mesir sebagai ‘negeri seribu menara’. Sebutan ini merujuk pada banyaknya masjid berikut menaranya yang indah. Julukan positif lainnya adalah ‘Masr Ummu ad-Dunya’. Mesir itu ‘ibunya dunia’. Karena ia ibu dunia, maka negara-negara lain adalah anak-anaknya. Ketika julukan itu Anda katakan kepada orang Mesir yang menjadi lawan bicara Anda, dijamin pembicaraan akan lancar. Urusan lainnya akan rapi jali.
Sebutan ‘Masr Ummu ad-Dunya’ didasarkan kepada sejarah panjang Mesir. Juga pada posisi penting negeri berpenduduk seperempat jumlah warga Liga Arab ini di kawasan Timur Tengah.
Sekian puluh ratus atau bahkan sekian ribu tahun lalu, ketika kawasan yang sekarang menjadi negara-negara Arab modern masih hidup ala Badui -- berpindah-pindah ngangon unta dan kambing di padang pasir --, Mesir sudah berkeadaban. Mesir merupakan salah satu negara yang paling sering disebut di dalam Alquran. Kisah Nabi Yusuf AS berkisar di sekitar Mesir. Begitu juga Nabi Musa dan Harun ketika berinteraksi dengan Firaun.
Pun halnya saat Islam lahir di Mekah, bangsa Mesir merupakan yang pertama memeluk agama Islam. Amr bin ‘Ash, salah seorang sahabat Rasulullah Muhammad SAW, ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khattab RA, sebagai gubernur pertama di Mesir. Ia kemudian membangun sebuah masjid yang hingga sekarang masih kokoh. Masjid itu kini dinamai dengan Masjid Amr bin ‘Ash.
Sejak itu Mesir pun menjadi salah satu pusat peradaban Islam di dunia, meskipun para penguasa dan dinasti silih berganti. Datang dan pergi. Apalagi ketika Bani Fatimiyah membangun Lembaga Pendidikan Al Azhar (970-972), yang kemudian berkembang jadi pusat pendidikan Islam terkemuka hingga kini.
Pada sejarah modern, peran Mesir juga masih sangat menonjol. Kairo, ibukota Mesir, merupakan kiblat ilmu/pemikiran, pendidikan, seni dan budaya di Timur Tengah dan juga dunia Islam. Banyak pemimpin Arab -- Yasir Arafat, Saddam Husein, dan lainnya -- adalah produk lembaga pendidikan di Kairo. Para seniman top Arab, dari penyanyi hingga bintang film, juga muncul di sini.
Dari penyanyi terdapat nama-nama Ummi Kultsum, Abdul Halim Hafid, Fairuz, Wardah, dan sebagainya. Juga Omar Syarif yang menjadi bintang film dunia. Sedangkan dari sastrawan ada nama-nama besar seperti Taufik al Hakim, Toha Husein, Abbas Mahmud Al Akkad, Anies Mansour, Najib Mahfud, dan seterusnya.
Dan, jangan lupa, Mesir juga telah ‘memproduksi’ tokoh-tokoh peraih Hadiah Nobel terbanyak di dunia Arab dan Islam. Mereka adalah almarhum Presiden Anwar Sadat (peraih Nobel Perdamaian 1978), Mohammad al Baradei (Nobel Perdamaian/mencegah penggunaan tenaga nuklir di bidang militer), almarhum Najib Mahfud (nobel bidang sastra tahun 1988), dan Ahmad Zewail (nobel bidang kimia pada 1999) yang baru meninggal dunia beberapa hari lalu.
Di bidang keagamaan, Mesir dan terutama Al Azhar juga telah menelorkan para ulama besar. Seperti Sheikh Al Azhar Dr Mahmud Syaltut yang memberi nama masjid agung yang didirikan almarhum Buya Hamka di Kebayoran Baru dengan nama Masjid Al Azhar. Dari masjid ini lalu berkembang menjadi lembaga pendidikan terkenal di Jakarta, antara lain Universitas Al Ahar Jakarta.
Juga seorang ulama terkenal Dr Abdul Halim Mahmud, Sheikh Al Azhar yang buku-bukunya menjadi rujukan umat Islam. Begitu pula dengan ulama terkenal Sheikh Dr Yusuf al Qardawi. Pun dengan Sheikh Al Azhar sekarang, Dr Ahmad Tayyib, yang beberapa bulan lalu berkunjung ke Indonesia. Sheikh Tayyib kini merupakan tokoh penting yang menyuarakan Islam moderat dan perlunya teleransi antar-pemuluk agama berbeda. Ia kini menjadi tokoh sentral untuk memerangi ideologi radikal dan terorisme.
Mesir, atau tepatnya Al Azhar, telah melahirkan pula ulama-ulama berpengaruh Indonesia. Sekadar menyebut nama, mereka adalah Prof Dr Hamka -- Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lalu presiden keempat kita KH Abdurahman Wahid. Juga ulama terkenal Dr Quraish Shihab dan Gubernur NTB Tuan Guru Haji Zainul Majdi.
Dengan sejarah panjang, pengaruh, dan peran penting seperti itulah tidak mengherankan bila Mesir kemudian mendapatkan julukan sebagai Ummu ad-Dunya. Ibu dunia. Yaitu negara yang memberi pengaruh besar di dunia, terutama di Timur Tengah. Dalam bahasa The New York Times (TNYT), Mesir secara tradisional merupakan pemimpin Dunia Arab. Baik politik maupun kultural.
Sayangnya, pengaruh itu mulai berkurang setelah era Presiden Jamal Abdul Nasir dan Presiden Anwar Sadat. Terutama sejak lima tahun terakhir ini. Nabil Fahmi, mantan Dubes Mesir untuk AS, sebagaimana dikutip TNYT, menunjuk bagaimana pengaruh besar dua presiden Mesir terdahulu itu terhadap negara-negara Arab dan Timur Tengah. Nasir adalah ikon Pan-Arab. Sedangkan Sadat merupakan tokoh yang memaksa Israel menerima perdamaian dengan Mesir.
‘‘Dulu, Nasirlah yang menentukan perang atau damai, sementara Sadat yang menentukan damai atau perang. Negara-negara Arab akan selalu mengikuti kami ketika kami menentukan sesuatu,’’ ujar Fahmi yang juga pernah menjadi menteri luar negeri Mesir ini.
Namun, peran Mesir mulai terpinggirkan di dunia Arab sejak lima tahun terakhir. Suatu hal, tulis TNYT edisi 2 Agustus lalu, yang belum pernah terjadi pada generasi sebelumnya.
Penyebabnya, antara lain karena munculnya The Arab Spring yang diharapkan menjadi musim semi yang penuh harapan di negara-negara Arab ternyata terbalik menjadi kekacauan di Mesir. Sejak Presiden Husni Mubarak digulingkan lima tahun lalu, kemudian Muhammad Mursi terpilih jadi presiden secara demokratis, dan berlanjut pada pengambil-alihan kekuasaan oleh Presiden Jenderal Abdul Fattah al Sisi sekarang ini, Mesir terus mengalami turbulensi politik dan ekonomi.
Boro-boro ikut memikirkan menyelesaikan berbagai konflik di kawasan Timur Tengah, Mesir justeru tenggelam dalam masalahnya sendiri yang sangat panjang. Dari perang melawan kelompok teroris di Sinai, kriris ekonomi yang akut, hingga turunnya jumlah wisatawan asing hingga 60 persen dibandingkan dengan bulan Juni lalu. Juga berbagai ancaman langsung di perbatasan dengan Libia, serta pembangunan dam oleh Ethiopia yang bisa menganggu aliran air Sungai Nil yang menjadi sumber kehidupan rakyat Mesir.
Dengan adanya berbagai persoalan dalam negeri yang akut seperti itu, tidak heran bila Mesir tidak mampu mengambil peran yang lebih besar di Timur Tengah. Dari masalah Irak, Suriah, Yaman, Libia, Palestina, hingga perang melawan ISIS. Peran mereka kini, tulis TNYT, lebih banyak dimainkan oleh Arab Saudi dan Iran.
Dua negara – Saudi dan Iran -- yang sekarang ini bersaing keras untuk memperebutkan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Peran yang sebenarnya tidak bisa tergantikan lantaran Mesir secara tradisional bertindak sebagai wasit atau penengah yang berwibawa.
Banyak pihak khawatir dengan kondisi Mesir kini. Apalagi bila ekonominya terus memburuk. Julukan ‘Ummu ad-Dunya’ yang melekat pada Mesir bisa benar-benar menjadi IBM yang menjadi ciri khas dari negara terbelakang.