Jumat 07 Aug 2015 09:45 WIB

Masa Depan Muhammadiyah

Muhammadiyah.
Foto: Muhammadiyah.
Muhammadiyah.

Konteks global

Bila kita bicara masa depan Muhammadiyah, tidak bisa tidak kita harus meletakkan Muhammadiyah dalam konteks Islam internasional karena hakikatnya umat Islam adalah umat yang satu. Para musuh Islam pada tataran global atau mondial sejak dulu menerapkan strategi dasar yang sama, sekalipun bentuk permusuhannya berubah. Kita insya Allah tidak akan pernah terkecoh bilamana kita selalu mencari petunjuk abadi dari Alquran.

Banyak orang awam menyangka dan banyak pula intelektual Muslim mengira, setelah usai Perang Dunia II, kekuatan Barat yang diikat oleh Judeo-Christian Ethics tidak mungkin lagi melancarkan invasi militer, politik, ekonomi, dan ghazwul fikri pada dunia Islam. Persangkaan itu keliru besar. Kekuatan dajal dari Barat itu datang kembali dengan invasi ekonomi, sosio-kultural, dan proses westernisasi pendidikan, gagasan neolib dan neocon ke arah kaum terpelajar Muslim.

Hasilnya, muncul barisan westomaniac, manusia dengan pikiran yang tergila-gila pada apa saja yang datang dari Barat dan memandang rendah khazanah Islam sendiri. Malahan secara sangat ironis muncul kelompok Muslim Zionist, yakni pembela utama zionisme yang beragama Islam.

Sejak usai Perang Dunia II sampai dekade 1970-an, tidak banyak orang percaya kekuatan imperialisme Barat yang dulu berslogan Gospel, Gold, and Glory akan kambuh, yaitu melakukan kembali pendudukan militer atas negara yang akan dijajah lagi, walaupun bukan dengan cara persis sama.

Amerika Serikat melakukan pendudukan militer kembali. Sejak 2003 hingga kini, Amerika Serikat tetap bercokol di Irak dengan segala macam alasan, juga di sebagian Afghanistan, dan militer Amerika berkeliaran di seantero dunia Islam dengan berbagai dalih. Bahkan, beberapa negara Arab menyediakan pangkalan udaranya bagi Angkatan Udara Amerika Serikat untuk mengagresi Irak, Afghanistan, Libya, dan lain-lain.

Ketika dunia Arab sebagai bagian sangat penting dari dunia Islam disapu Musim Semi Arab yang bergulir sejak 2010, rakyat awam di negeri itu berharap hilangnya kekangan otoriter para penguasa Arab, berganti yang menghargai hak asasi manusia. Juga diharapkan muncul proses demokrasi yang egaliter untuk membentuk pemerintahan yang baru dan membersihkan korupsi serta ekonomi diatur kembali dengan memperhatikan kepentingan rakyat banyak.

Karena nilai-nilai Islam telah berperan besar dalam mendorong proses perubahan itu, ada yang menilai bangsa-bangsa Arab sedang menikmati musim semi Islami. Namun, musim semi Arab atau musim semi Islami yang dimulai dari Tunisia itu kini telah berbalik arah dan pada umumnya gagal. Musim semi Arab telah berubah jadi musim dingin yang gelap, mencekam, dan menakutkan.

Negara-negara Arab yang disapu cita-cita musim semi Arab telah terbenam perang saudara, pertumpahan darah, pembonekaan para raja, presiden, sultan, dan amir oleh kekuatan penjajah Barat. Israel yang kolonialis, rasialis, dan Zionis makin kuat dan menjadi ujung tombak kekuatan Barat yang mengibarkan Judeo-Christian Ethics.

Sebab kegagalan musim semi Arab itu cukup banyak. Satu sebab terpenting adalah ketidakmampuan para pemimpin mereka membebaskan diri dari cengkeraman asing secara politik, diplomatik, ekonomi, dan hankam. Mentalitas ketergantungan itu sudah berurat-berakar sehingga mereka tidak sanggup berdiri dan berjalan tanpa dibimbing master dan mentor politik, ekonomi, dan militer mereka.

Saya yakin pelemahan dan bahkan penghancuran negara-negara Arab Muslim di Timur Tengah itu merupakan bagian dari strategi dan skenario global kekuatan Barat yang belum pernah sembuh dari penyakit imperialisme dan kolonialisme lama. Seperti penyakit kambuhan, imperialisme kambuhan beraksi lebih ganas dan destruktif.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement