REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: EKS Harini Muntasib
(Ahli ekowisata, Guru Besar Institut Pertanian Bogor/IPB)
Konsep Tata Kelola
Tata kelola (good governance) yang baik memiliki delapan karakteristik utama, yaitu bersifat partisipatif, berorientasi terhadap konsensus, akuntabel, transparan, responsif (cepat tanggap), efektif dan efisien, adil dan inklusif, dan mengikuti aturan hukum. Tata kelola ekowisata merupakan bagian dari governance di sektor pariwisata untuk tingkat pemerintah pusat maupun daerah.
Tata kelola ekowisata didefiniikan sebagai mekanisme pengelolaan kolaboratif ekowisata yang melibatkan sektor pemerintah dan non pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Sektor pemerintah yang dimaksud ialah instansi pemerintah pusat maupun daerah, seperti Kementerian Pariwisata, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta instansi pemerintah lain yang terkait dengan pengembangan pariwisata. Sektor nonpemerintah dapat berupa LSM, pengusaha pariwisata, organisasi dan kelompok masyarakat, para pemikir pariwisata dari perguruan tinggi dan lembaga profit lainnya.
Banyak pelaku yang terlibat dalam tata kelola ekowisata, namun tidak ada pelaku yang sangat dominan untuk menentukan gerak pelaku lain. Kami mengusulkan agar arah gerak ekowisata ditentukan bersama karena terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda-beda, terdapat kompleksitas relasi antar pihak, dan keragaman permintaan, sehingga perlu disiapkan perencanaan yang memahami tren dunia, sekaligus mampu membuat inovasi sebagai sesuatu yang unik dan khas Indonesia.
Tata kelola ekowisata juga merupakan suatu bentuk hubungan antara pelaku ekowisata dengan pengelola kawasan ekowisata satwa liar, konsumen , pemerintah, dan pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan dengan ekowisata satwa liar. Hal penting yang harus disepakati adalah penyediaan instrumen, insentif sistem, enabling condition, dukungan politik bagi pelaku ekowisata.
Dengan tata kelola ekowisata satwa liar, para pengusaha dan pengelola ekowisata akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai tiga hal. Pertama, pengelolaan ekowisata di berbagai spesies satwa liar. Kedua, dinamika permintaan ekowisatawan. Ketiga, kebijakan dan regulasi yang berhubungan dengan ekowisata saat ini.
Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkuhan Hidup dan Kehutanan, serta tingkat daerah dapat mengembangkan berbagai strategi insentif dan disinsentif bagi para pihak untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik. Selain itu juga tidak kalah penting adalah meyakinkan para pihak di tingkat global dan nasional untuk mau mengadopsi pemahaman dari kebijakan pengelolaan pariwisata .
Tata Kelola ekowisata satwa liar bukan membangun suatu kelembagaan baru, namun lebih untuk menggerakkan mekanisme di antara para pihak dalam pengelolaan satwa liar di suatu kawasan. Untuk dapat melakukan lolaborasi, kerjasama, konsorsium, dan sebagainya dalam tata kelola ekowisata ini, maka prinsip yang dipegang oleh para pihak yang akan melakukan kolaborasi adalah prinsip kemanfaatan, keadilan, dan legalitas.
Komitmen para pihak dilandasi dengan penataan hak, pendampingan, benefit sharing, diikuti adanya kebijakan kabupaten, provinsi dan nasional untuk menyusun sistem insentif. Peran pemerintah sebagai fasilitator, konduktor, sekaligus pelaksana regulasi yang seimbang dalam memikirkan 'reward' dan 'punishment' diperlukan dalam sistem insentif dan disentif ini.
Suatu konsepsi hanya akan pernah bisa diakui keberhasilannya apabila dilaksanakan dengan serius dan konsisten, bukan sekadar saling menyalahkan. Masing-masing tentu saja harus berani menanggalkan ego sektoral untuk mampu bekerjasama dalam arti yang sesungguhnya.
Walaupun dalam tata kelola ekowisata tidak mempunyai struktur organisasai vertikal, namun ini merupakan mekanisme pengaturan dengan simpul-simpul. Simpul utama mestinya sesuai dengan tugas dan fungsinya Kementerian Pariwisata untuk menjadi konduktor sekaligus sebagai fasilitator.