REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: EKS Harini Muntasib
(Ahli ekowisata, Guru Besar Institut Pertanian Bogor/IPB)
Sejak Ekowisata dikembangkan di dunia sebelum 1990-an, ada optimisme yang menguat. Indonesia sesungguhnya memiliki banyak obyek wisata satwa. Sayangnya, hal itu tak kunjung menjadi nyata. Pertanyaan pun muncul, mengapa kita kalah dengan negara-negara lain yang sukses mengembangkan ekowisata?
Berdasarkan hasil diskusi dengan para pihak yang secara langsung maupun tidak langsung ikut aktif dalam kegiatan ekowisata satwa, kendalanya terletak pada persepsi tentang ekowisata satwa liar. Masing-masing pihak selalu saling menyalahkan satu sama lain. Masing-masing kementerian mempunyai kebijakan, strategi, rencana strategis yang belum tersosialisasi dan minim sinergi. Untuk merangkai hubungan para pihak itu, sudah seharusnya diperlukan tata kelola ekowisata satwa liar
Ekowisata Satwa Liar
Ekowisata satwa liar adalah suatu kegiatan untuk menikmati satwa liar sebagai obyek dan daya tarik ekowisata. Sebagai obyek, satwa liar hanya dapat menjadi atraksi bila kita mengetahui kapan waktu yang pas untuk melihatnya di alam. Jika ingin melihat banteng di padang penggembalaan, tentunya kita harus memelajari kapan banteng itu merumput dengan nyaman. Waktu idealnya sekitar pukul 06.00-08.00 WIB dan 16.00-18.00 WIB.
Begitu juga jika ingin melihat badak jawa berkubang. Untuk melihat mamalia di Taman Nasional Bali Barat, saat paling mudah adalah pada musim kering. Pada masa tersebut, satwa akan terkonsentrasi pada lokasi-lokasi yang terdapat sumber air minum.
Interpretasi juga diperlukan dalam tata kelola ekowisata satwa liar. Ini diperlakukan karena satwa tidak akan pernah bisa berbicara dengan manusia. Gajah-gajah di Tangkahan, walaupun sudah terlatih, aktivitas hariannya juga tetap harus dilakukan sebelum melayani pengunjung. Gajah diinterpretasikan akan melakukan ritual harian, seperti menuju pinggir sungai, kemudian membuang kotorannya.
Berikutnya, gajah-gajah itu akan masuk ke sungai dan bermain-main dengan kawanannya. Setelah itu, baru gajah mau diajak berinteraksi dengan pengunjung, mulai dari dimandikan, diberi makan, foto bersama dan dinaiki untuk berjalan-jalan.
Otokritik
Perlu juga direnungkan tentang lambatnya perkembangan ilmu-ilmu yang mendasari tentang ekowisata satwa liar dengan ilmu terapannya, termasuk ilmu ekonomi, institusi, dan politik. Pengembangan ilmu dasar dengan terapan ini menjadi dasar pengembangan konsep–konsep governance secara umum. Hal ini yang terjadi dengan ekowisata satwa liar.
Di Alberta, Kanada, peran pemerintah dalam tata kelola untuk menuju pariwisata berkelanjutan dilakukan proaktif bersama para pelaku wisata. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan dukungan berupa insentif bagi pengelola wisata berkelanjutan. Mereka dihubungkan dengan sumberdaya modal yaitu bank.
Insentifnya bisa berupa keringanan bunga hingga nol persen kepada pelaku bisnis wisata yang menerapkan prinsip berkelanjutan. Pemerintah juga menjadi fasilitator aktif sehingga tercipta harmonisasi bagi kepentingan masyarakat, ekonomi dan lingkungan.
Departemen Pariwisata Alberta menerapkan kebijakan dan inisiatif untuk berkontribusi terhadap wisata berkelanjutan. Caranya mengintegrasikan rencana pariwisata dengan pengelolaan sumber daya alam dalam setiap pengambilan keputusan.
Kemudian, mengintensifkan penelitian tentang wisata berkelanjutan, mengimplementasikan langsung hasilnya, mendorong perencanaan terpadu, dilanjutkan dengan pengelolaan terpadu. Pemerintah juga membuat panduan untuk wisata satwa liar, menyusun perencanaan interpretasi, rencana pengembangan kawasan, strategi implementasi, penggalangan dana, dan membangun fasilitas yang sesuai.
Departemen Pariwisata Alberta memberikan pendampingan dan melakukan konsultasi publik dalam periode tertentu. Strategi daerah dalam mengembangkan wisata selalu didampingi. Jadi, tujuan utama dan manfaat setiap pihak memang akan bervariasi, baik sosial, ekonomi, konservasi dan politik. Prinsip ekuitas dilaksanakan disini