Ahad 30 Jun 2013 08:23 WIB
Resonansi

Asap dan Harga Diri Bangsa

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Asma Nadia

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, pegawai bank yang biasa ramah tiba-tiba memandang sinis. Wajahnya berubah ketika tahu wanita yang dilayaninya berasal dari Indonesia. Sang wanita hanya menarik napas, sama sekali tidak heran akan sikap sinis dan ketus yang diperolehnya dari pegawai bank. Empat huruf itu penyebabnya: ASAP.

Sejak pertengahan Juni, asap menyelimuti Singapura dan membuat warga mereka sangat menderita. Polusi udara mencapai angka 321 dan merupakan yang tertinggi dalam sejarah Singapura.

Nilai di atas 200 sudah buruk bagi kesehatan, di atas 300 merupakan level berbahaya bagi kesehatan. Bahkan, saat kebakaran lebih besar pernah terjadi pada 1997, angka polusi tidak se parah ini.

Kisah dengan pegawai bank tersebut saya dengar dari seorang eksekutif muda yang baru saja kembali. Dua tahun sebelumnya, selama tinggal di Singapura, tak pernah dia menuai begitu banyak pandangan sinis warga setempat yang membuatnya ingin menyembunyikan wajah. "Kalau saja Indonesia bisa sesegera mungkin menghentikan musibah asap ini," keluhnya.

Beberapa hari setelah pertemuan tersebut, seorang wartawan datang mewawancarai saya tentang dunia kepenulisan dan pemberdayaan perempuan. Di sela-sela obrolan, entah bagaimana, kami menyinggung topik asap yang menyelimuti Singapura.

Wartawan tersebut menjelaskan langkah-langkah yang telah diambil Indonesia. Menurutnya, pemerintah telah menyiapkan empat buah pesawat casa BPPT, dua pesawat casa TNI, serta satu hercules untuk membuat hujan buatan, dan tiga helikopter untuk water bombing. Dana 25 miliar di anggarkan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Sementara, TNI dan polisi bersiaga untuk membantu mengatasi pemadaman di darat dalam upaya mendukung petugas pemadam kebakaran.

Data yang diberikannya membuat saya berdecak kagum. Ternyata pemerintah menunjukkan kesungguhan untuk menyelesaikan problem asap yang terjadi. Tetapi, kebanggaan saya dengan cepat dipatahkan. Laki-laki berkacamata di hadapan saya memberi tambahan informasi bahwa se lama lima tahun terakhir, ternyata hampir 80% hotspot/kebakaran terjadi di luar ka wasan hutan dan hanya 20% kebakaran yang berada di kawasan hutan. Karena itu, istilah kebakaran hutan sudah tidak lagi tepat sebab yang terjadi adalah karlahut (kebakaran lahan hutan).

Awalnya, saya tidak mengerti perbedaannya hingga si wartawan kembali menjelaskan, ini berarti sebagian besar titik api terjadi di daerah yang kepemilikannya di bawah tanggung jawab perusahaan atau pribadi tertentu. Jika benar demikian, berarti kebakaran yang terjadi, ditinjau dari sisi ekonomi maupun hukum, bukan merupakan tanggung jawab pemerintah. Dana 25 miliar tidak sepantasnya keluar dari kantung rakyat, tetapi seharusnya berasal dari perusahaan atau pihak terkait yang bertanggung jawab. "Tapi tidakkah kebakaran yang terjadi merupakan kecelakaan?"

Saya masih berusaha berbaik sangka. Wartawan di hadapan saya menggeleng. Menurutnya jika perusahaan penguasa lahan mempunyai hak atas kelola lahan maka mereka juga wajib menjaga dan mencegah terjadinya kebakaran hutan. Termasuk mempersiapkan perangkat untuk mengatasinya.

Apalagi, kebakaran yang terjadi merupakan ben ca na rutin sehingga amat wajar bila ma suk dalam perhitungan risiko. Lebih parah lagi, konon beberapa pengusaha yang nakal memang senga ja membakar hutan di wilayah olahan mereka agar biaya lebih murah.

Tiba-tiba percakapan tentang kepenulisan dan pemberdayaan perempuan yang tadi men jadi topik utama kami bergeser jauh. Saya memahami kekesalan sang wartawan, yang entah bagaimana seolah mewakili pihak-pihak yang terluka. Ketidakadilan telah terjadi sebab selama bertahun tahun sepertinya tidak ada perusahaan yang dikenakan denda atau pihak yang dihukum atas kelalaian yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan gangguan serius pada kesehatan masyarakat negara tetangga.  Dan setiap tahun pula, rakyat yang harus menanggung biaya pemadaman, terganggunya kesehatan, dan lain-lain.

Beberapa keluarga bahkan sampai hijrah ke Ja karta demi menghindari asap. Tidak hanya itu, asap yang ditimbulkan telah menurunkan citra dan harkat bangsa di mata internasional. Teringat beberapa belas tahun lalu, saya begitu kesal akan ulah tetangga yang seenaknya membakar sampah hingga putri kami terkena gangguan pernapasan serius. Membayangkan hal serupa terjadi dalam skala "negara", sungguh memalukan dan tak dapat ditoleransi.

Sekian data dan opini terus meluncur. Tidak semua kalimat dan informasi yang disampaikan si wartawan dengan mata berkilat, bisa saya pahami. Tapi, semakin banyak yang saya dengar, semakin saya mampu memahami kegemasannya. Seperti dia, saya kira, kita semua tak ingin mengganti kebanggaan yang tersemat di dada menjadi rasa malu menjadi bangsa Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement