REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha
Jika yang dilihat hanya korupsinya saja kita akan frustrasi, pesimis, apatis, dan apolitik. Yakinlah, selalu ada peluang untuk berubah. Kita hanya sering rabun oleh keputusasaan.
Di sekitar kita ada orang-orang yang bersih.
Salah satunya Abdullah Hehamahua. Memang ia tak muda lagi, 65 tahun. Rambut dan jenggotnya sudah memutih rata. Namun dia konsisten di jalan bersih. Kisah bersihnya mencuat sejak menjadi wakil ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Suatu kali, ia diundang untuk sebuah diskusi. Karena undangan itu tak terkait dengan tugasnya di Komisi tersebut, maka dia menunggu sampai jam kerjanya selesai. Tak hanya itu, ia pun tak menggunakan mobil dinasnya. Ia naik kendaraan umum. Ia juga menolak menerima honor di luar gaji dari KPK. Cinderamata, bahkan hidangan makan pun, baginya termasuk gratifikasi. Banyak sekali kisah heroik dari seorang Hehamahua.
Integritasnya yang luar biasa itu membuat dirinya dua kali dipilih sebagai penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun ia tak pernah lolos untuk menjadi komisioner KPK. Hal itu tak menjadi soal benar bagi Hehamahua. Integritasnya bisa menggetarkan politisi di parlemen, yang justru menjadi penentu siapa yang bisa duduk di KPK. Sikapnya juga tak mencampuradukkan urusan hukum dengan politik. Karena itu hidupnya begitu sunyi. Tetangganya pun tak tahu bahwa mantan ketua umum HMI itu orang penting di KPK.
Korupsi di masa kini memang sudah jauh lebih besar dibandingkan di masa Orde Baru yang kita tumbangkan lewat label rezim yang lekat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Rezim yang tanpa KPK dan tanpa demokrasi. Namun tingkat kebocoran anggaran saat ini diduga bisa dua kali lipat dibandingkan dengan rezim Soeharto. Saat itu, Sumitro Djojohadikusumo berucap bahwa kebocoran anggaran mencapai 35 persen. Jumlah koruptor pun saat ini sudah jauh lebih banyak dan lebih rakus. Nepotisme juga kian marak. Politik dinasti berkecambah di mana-mana. Kolusi? Sudah tentu, karena ujung kolusi adalah korupsi, dan kolusi lekat dengan nepotisme.
Namun Hehamahua tak sendiri. Salah satu keistimewaan demokrasi adalah peluang yang sama pada setiap orang untuk muncul. Dan kita menyaksikan di tengah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang makin kuat ada orang-orang baik yang bisa muncul. Karena itu kita harus menjaga semangat dan stamina. Kita harus mengawal bibit yang berkecambah itu. Kita harus memupuk dan merawatnya. Kita tak perlu segan untuk mengayunkan arit memangkas gulma. Kita juga tak perlu ragu mengerat cabang yang berpenyakitan.
Korupsi itu seperti udara. Ia bisa hadir di manapun. Korupsi itu seperti kanker, yang tumbuh dari sel di tubuh kita sendiri. Korupsi memang berawal dari cara hidup sehari-hari kita. Korupsi tumbuh dari cara kita mengelola tubuh. Orang-orang baik seperti Hehamahua ataupun almarhum Baharudin Lopa, mantan ketua Komnas HAM dan mantan Jaksa Agung, adalah orang-orang yang sahaja. Mereka adalah orang-orang miskin, meski pejabat tinggi. Karena itu jangan sepelekan mencermati hal kecil yang melekat di tubuh kita. Tapi memanjakan tubuh tak hanya dengan benda yang masuk dan melekat di tubuh kita. Bisa juga dari apa yang masuk ke jiwa kita: itulah hobi. Tampilan boleh miskin, tapi kesenangannya bisa berbiaya tinggi. Ketidakmampuan kita dalam mengontrol cara kita hidup seperti halnya membiarkan kita dihinggapi sel radikal bebas, yang setiap saat bisa menjadi sel kanker.
Mulai saat ini kita harus lebih rajin menelusuri dan mencermati keseharian dan hobi para pejabat kita. Seperti berburu sel radikal bebas. Perhatikan baju, arloji, cincin, jas, jaket, sepatu, dasi, sepeda motor, mobil, tempat nongkrong, rumah, perabotan rumah, perhiasan, dan kesenangannya. Dari sanalah sel korupsi akan mekar. Hampir bisa dipastikan, jika pejabat dan keluarganya hobi pada barang bermerek, maka mereka koruptor. Kemampuan negara belum mampu mencukupi pejabatnya untuk berburu benda bermerek.
Memang, terlalu banyak koruptor di sekitar kita. Saat ini, kita sedang adu napas melawan koruptor. Kita maraton melawan koruptor. Tak boleh menyerah. Tak boleh kalah. Juga tak boleh lengah, karena sebetulnya kita berperang melawan diri kita sendiri. Sekali lagi, korupsi berawal dari bagaimana kita menjalani hidup. Dan, kita tak boleh membiarkan, cara hidup kita diatur para koruptor karena para pejabatnya koruptor.
Fokuslah pada hal-hal positif dan orang-orang positif. Jadikan mereka sebagai orang yang mengatur negeri ini. Orang bersih tak hanya Hehamahua, yang sudah tua.