
Oleh : Achmad Tshofawie; Kordinator  ECOFITRAH, anggota Tim Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) Wilayah Sungai Citarum
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika kita membayangkan sungai, pikiran kita selalu tertuju pada air yang mengalir ke bawah. Ke lembah, ke dataran, ke laut. Kita jarang, atau bahkan hampir tak pernah, membayangkan sungai yang mengalir naik, menembus lapisan hutan, mendaki batang pohon, lalu menguap perlahan ke langit.
Padahal, itulah yang sebenarnya terjadi setiap hari di hutan pegunungan. Pepohonan menjalankan fungsi sebagai “sungai vertikal”, memindahkan air dari perut bumi menuju atmosfer, sekaligus mengatur bagaimana air hujan meresap, mengalir, dan tersimpan dalam tanah.
Di tengah krisis ekologis dan rangkaian bencana hidrometeorologi yang menimpa Indonesia - dari banjir bandang dan longsor di Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatra Barat - gagasan ini menjadi semakin relevan. Hutan pegunungan bukan sekadar “latar belakang hijau” dari foto-foto wisata; ia adalah infrastruktur ekologis yang menentukan hidup matinya keseimbangan air bagi jutaan orang.
Sayangnya, infrastruktur raksasa ini tengah rusak, dan kita seperti baru menyadarinya ketika malapetaka tiba. Pohon di hutan, adalah sungai yang mengalir ke langit.
Sungai Vertikal: Sains yang Sederhana Namun Terlupakan.
Apa sebenarnya maksud dari “pohon sebagai sungai vertikal”? Secara ilmiah, pohon melakukan beberapa fungsi vital yang membuatnya layak dianalogikan sebagai sungai yang menembus langit.
Pertama,pohon menangkap dan menyimpan air hujan (canopy interception).
Daun dan kanopi pohon menahan sebagian besar hujan yang jatuh. Sekitar 10–40 persen air hujan yang masuk ke hutan tidak langsung menyentuh tanah, melainkan tertahan di kanopi lalu menguap kembali. Fungsi ini seperti pintu air alami: ia memecah energi hujan, mengurangi limpasan permukaan, dan memperlambat aliran air menuju lembah.
Kedua,pohon mengalirkan air ke tanah secara terkendali (stemflow and throughfall). Air hujan yang lolos dari kanopi tidak jatuh sembarangan, mengalir pelan lewat dedaunan (throughfall), mengalir terfokus sepanjang batang (stemflow). Keduanya memastikan air masuk tanah tanpa merusak permukaan, tanpa menciptakan aliran liar seperti yang terjadi pada lahan gundul.
Ketiga, pohon menyimpan air di dalam tanah seperti bendungan.Akar mencengkeram tanah, merekatkan agregat tanah, dan menciptakan pori-pori yang memberi ruang bagi air untuk meresap. Tanah hutan yang kaya humus mampu menyerap air 5–10 kali lebih banyak dibanding tanah terdegradasi. Inilah alasan mengapa sungai di bawah hutan masih mengalir bahkan saat kemarau.
Keempat,pohon mengalirkan air ke atas melalui transpirasi. Inilah komponen penting “sungai vertikal": pohon mengangkat air dari tanah setinggi puluhan meter lalu melepaskannya ke udara sebagai uap. Dalam satu hari, sebuah pohon besar dapat mengangkat 100–500 liter air ke atmosfer. Bayangkan jika ada satu juta pohon dalam satu lanskap pegunungan - kita sedang menyaksikan “sungai” yang mengalir ke langit dalam skala raksasa.
Kelima,pohon menangkap kabut layaknya jaring awan.Di hutan pegunungan, kabut bukan sekadar pemandangan indah; itu adalah sumber air. Daun-daun pohon menangkap butiran kabut yang kemudian menetes ke tanah sebagai “hujan kabut” (fog drip). Tanpa pohon, kabut hanya lewat tanpa menyisakan air untuk tanah.
Keenam,pohon mendistribusikan air di tanah (hydraulic lift and redistribution). Akar pohon dapat memindahkan air dari lapisan tanah yang basah ke lapisan kering. Ini seperti “pompa hidrolik” alami yang menjaga kelembaban tanah di seluruh profil. Dengan semua fungsi ini, pepohonan di hutan pegunungan bekerja seperti jaringan sungai yang rumit--hanya saja alirannya vertikal, bukan horizontal.
Gunung sebagai Menara Air, Pohon sebagai Pipa Hidup
Para ilmuwan menyebut pegunungan sebagai water towers of the world-menara air dunia. Gunung adalah tempat hujan paling intens, tempat kabut paling melimpah, dan tempat sumber-sumber air lahir. Namun menara air ini hanya berfungsi jika dipenuhi "pipa-pipa hidup", yaitu pohon.
Tanpa pohon,hujan langsung menghantam tanah,limpasan meningkat, sungai kehilangan aliran dasarnya,lereng menjadi rapuh,banjir dan longsor meningkat tajam. Dengan kata lain, pohon adalah teknologi tertua dan tersukses yang diciptakan Tuhan untuk mengatur air di gunung
Ketika Sungai Vertikal Dirusak: Bencana dan Air Mata
Tragedi banjir bandang dan longsor di berbagai daerah beberapa waktu terakhir seharusnya menjadi alarm keras. Fenomena ini bukan sekadar akibat hujan ekstrem. Hujan ekstrem adalah pemicu, tetapi kerusakan vegetasi adalah bahan bakarnya.
Pola umumnya sebagai berikut: Ekosistem hulu rusak bisa disebabkan pembukaan kebun, pertambangan ilegal, perambahan hutan produksi, konversi hutan pegunungan menjadi kebun tahunan monokultur.
Ketika kanopi hilang, canopy interception runtuh.Tanah terpapar, infiltrasi menurun drastis. Saat hujan deras turun, air mengalir bebas tanpa tertahan.Sungai mendadak “mendapat kiriman”, debit melonjak puluhan kali lipat. Lereng jenuh air ,tanah longsor.
Sungai meluap membawa batu, kayu, dan lumpur.Masyarakat menyebutnya:galodo (Minang), atau banjir bandang. Namun secara ilmiah, itu adalah keruntuhan sungai - sungai vertikal. Setelah pohon hilang, gunung kehilangan kemampuan mengatur air. Yang tersisa hanyalah “toren kosong” yang dicurahi hujan tanpa sistem kontrol.
Mengapa Monokultur Tidak Bisa Menggantikan Hutan?
Beberapa kebijakan sering menganggap bahwa menanam pohon apa pun di lereng sudah cukup. Padahal:sawit tidak menangkap kabut,akarnya tidak memperkuat tanah setebal akar hutan,kanopinya tidak memecah intensitas hujan, tanah di bawahnya sangat miskin humus,
evapotranspirasinya rendah, biodiversitasnya minimal. Sawit, pinus monokultur, kopi tanpa peneduh, atau pohon industri tidak memiliki fungsi hidrologi yang sama seperti hutan pegunungan alami.
Jika hutan perawan itu kompleks, monokultur itu simplifikasi. Jika hutan itu pipa raksasa berjejaring, monokultur itu hanya serpihan pipa yang bocor.
Kita Membayar Mahal untuk Lupa Bahwa Pohon Adalah Sungai
Banjir bandang dan longsor bukan sekadar “bencana alam". Sebagiannya adalah bencana kebijakan.Lebih tepatnya: bencana dari kegagalan memahami bahwa pepohonan bukan dekorasi, tetapi infrastruktur air. Biayanya sangat mahal: hancurnya rumah, matinya ternak,rusaknya ladang, hilangnya nyawa, kerusakan jalan, jembatan, dan fasilitas publik, kekeruhan sungai yang merusak PLTA, sedimentasi waduk yang memperpendek umur infrastruktur. Padahal semua itu dapat diminimalkan jika kita menjaga hutan pegunungan dan fungsi sungai vertikalnya.
Solusi: Mengembalikan Sungai Vertikal di Gunung
Pertama,mengembalikan tutupan hutan di hulu DAS. Ini bukan sekadar menanam pohon, tetapi mengembalikan ekosistem dengan jenis: tanaman keras, tanaman peneduh, pohon berkanopi lebar, varietas lokal pengikat tanah.
Kedua, melindungi hutan awan di ketinggian, ia adalah pabrik air kabut yang tak tergantikan.
Ketiga, menerapkan konservasi berbasis bentang alam; bukan sekadar batas administrasi desa atau kabupaten, tetapi melihat satu kesatuan: gunung - lereng - sungai dataran - muara.
Keempat, menghentikan monokultur di ketinggian. Kawasan di atas altitude 700–1000 mdpl harus menjadi zona konservasi ketat.
Kelima, perkuat tata kelola masyarakat adat. Banyak nagari, marga, huta, atau lembaga adat memiliki tradisi kuat menjaga hulu.Negara perlu memfasilitasi, bukan menggusur atau mengabaikan.
Keenam, mengedukasi publik,bahwa pohon = air = hidup. Sebagian besar masyarakat hanya melihat pohon sebagai kayu atau peneduh. Kita perlu mengubah paradigma menjadi: pohon adalah mesin air.
Pohon Memuji Allah Melalui Kontribusi Ekologisnya
Zikirnya bukan verbal, melainkan eksistensial. Ia memuji Allah dengan cara menyeimbangkan karbon, membuat udara bersih, mendinginkan bumi,menahan larian air menstabilkan ekosistem, menghidupi satwa. Jika manusia melakukan fungsi luhur seperti itu, itu pun disebut ibadah.
Pohon itu sebagai makhluk "tawakal”. Pohon tidak berpindah, tidak melawan.Ia hanya tumbuh, bersabar, dan memberi. Para sufi menyebut pohon sebagai makhluk yang santun dan yakin kepada Rabb-nya. Akar yang menghujam adalah tawakkal. Pucuk yang meninggi adalah harapan.Ranting yang merendah adalah syukur.
Mengembalikan Hutan sebagai Rumah Tasbih
Ketika Alquran menyatakan bahwa segala sesuatu bertasbih, ia tidak sedang memberi metafora puitis. Ia sedang mengumumkan hakikat kosmik: alam semesta berada dalam ibadah terus-menerus.
Pohon bertasbih melalui:ketaatan ekologis,fungsi ekologis, keberlanjutan hidup, kontribusi pada bumi, ketundukan pada hukum fisika dan kimia.Ilmu modern menegaskan bahwa pohon adalah: pabrik oksigen, sungai vertikal, penjaga tanah, pendingin iklim, pusat jaringan kehidupan.
Semuanya berlangsung tanpa riya, tanpa pamrih. Dalam diam, dalam keseharian, dalam fitrah. Maka maknanya jelas: “Yusabbihu bihamdih”, berarti bahwa pohon bertasbih dengan cara menjadi pohon-makhluk yang taat menjalankan tugasnya.
Dan manusia, sebagai khalifah, mestinya belajar dari tasbih pepohonan:menjadi makhluk yang memberi manfaat, menjaga keseimbangan, dan hidup dalam harmoni dengan fitrah alam.
Menjaga Sungai Vertikal Adalah Menjaga Kehidupan
Jika kita kembali memahami bahwa pohon adalah sungai yang mengalir ke langit, maka kita akan melihat gunung dengan kacamata baru. Kita akan sadar bahwa setiap batang pohon adalah:penyangga hujan,pemecah badai,pelindung tanah, penyaing banjir,pemberi cadangan air,penjaga udara,pelindung kehidupan.Hutan pegunungan bukan hanya ruang hijau.Itu adalah tengkorak dan tulang belakang ekologi Nusantara.
Ketika kita menebang pohon, kita sebenarnya memotong pipa-pipa air raksasa yang menyalurkan kehidupan.
Ketika kita membiarkan hutan hilang,itu artinya mematikan sungai- sungai vertikal yang menghidupi ribuan desa di kaki gunung.Dan ketika bencana banjir bandang menimpa kita, itu bukan hanya air yang mengalir dari gunung--itu adalah pengetahuan ekologis yang hilang, yang menghantam kita dalam bentuk lumpur dan air mata.
Sudah waktunya kita memulihkan "sungai vertikal" di hutan pegunungan.Karena disanalah masa depan air Indonesia ditentukan.