
Oleh: Dewi Mulyani*)
Remaja hari-hari ini tidak hanya sedang mencari jati diri, melainkan juga mempertaruhkan masa depan bangsa. Lingkaran pertemanan yang mereka pilih bisa menjadi parfum yang mengharumkan karakter atau, sebaliknya, api yang membakar masa depan.
Pertanyaannya, apakah kita sebagai orang tua dan masyarakat cukup peduli untuk memastikan mereka tumbuh dalam circle yang sehat?
Dalam ajaran Islam, terdapat sebuah perumpamaan yang sangat relevan dengan kehidupan pertemanan. “Barang siapa berteman dengan penjual minyak wangi, maka ia akan ikut harum. Barang siapa berteman dengan tukang pandai besi, maka ia akan terkena percikan api atau bau asapnya.”
Perumpamaan ini menegaskan, lingkungan pertemanan memiliki pengaruh yang besar terhadap karakter seseorang.
Remaja, yang sedang berada dalam fase pencarian jati diri, sangat rentan terhadap pengaruh lingkaran sosialnya. Oleh karena itu, membangun circle pertemanan yang sehat menjadi salah satu kunci penting dalam menyiapkan remaja tangguh, yang kelak akan menjadi bagian dari Indonesia Emas 2045.
Masa remaja adalah periode transisi yang penuh dinamika. Erik Erikson, seorang psikolog perkembangan, menyebut masa ini sebagai tahap identity versus role confusion.
Di dalamnya, remaja berusaha menemukan identitas dirinya. Dalam proses tersebut, teman sebaya menjadi sumber validasi dan dukungan yang sangat penting.
Pertemanan yang sehat membantu remaja mengembangkan regulasi emosi, belajar mengendalikan perasaan, menghadapi tekanan, dan menyalurkan energi secara positif.
Selain itu, pertemanan juga meningkatkan keterampilan sosial, seperti komunikasi, empati, dan kerja sama. Lebih lanjut, lingkaran pertemanan yang suportif membangun resiliensi sehingga remaja memiliki dukungan ketika menghadapi masalah serta tidak mudah terjerumus pada perilaku berisiko.
Jean Piaget menekankan, interaksi dengan teman sebaya memperkaya proses berpikir anak dan remaja. Melalui diskusi, perdebatan, dan kerja sama, remaja belajar melihat perspektif orang lain dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Dengan perkataan lain, pertemanan bukan sekadar ruang bermain, melainkan juga laboratorium sosial yang membentuk cara berpikir dan bertindak.
Lingkaran pertemanan anak tidak bisa dilepaskan dari peran orang tua. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara menegaskan, tiap anak tumbuh menurut kodratnya. Pendidik hanya dapat menuntun agar kodrat itu berkembang dengan baik. Hal ini menegaskan, orang tua bukanlah pengendali mutlak, melainkan penuntun yang bijak.
Orang tua bertanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan anak-anaknya tumbuh dalam lingkungan yang sehat. Komunikasi yang hangat dan penuh kepercayaan membuat anak lebih mudah bercerita tentang teman-temannya dan dinamika pergaulannya.
Monitoring yang dilakukan dengan cara mengenal teman-teman anak, memahami latar belakang mereka, dan mengamati pola interaksi tanpa menghakimi akan membuat anak merasa dihargai sekaligus terlindungi.
Teladan yang ditunjukkan orang tua dalam memilih lingkungan sosial juga akan menjadi cermin bagi anak. Jika orang tua selektif dalam bergaul, anak akan meniru pola tersebut.
Selain itu, dorongan untuk bergabung dalam komunitas yang sehat seperti organisasi sekolah, kegiatan olahraga, seni, atau keagamaan akan memperluas lingkaran pertemanan yang konstruktif. Nilai-nilai agama dan moral yang ditanamkan sejak dini, seperti kejujuran, amanah, dan kasih sayang, akan menjadi filter bagi anak dalam memilih teman.
Indonesia menargetkan lahirnya Generasi Emas 2045, generasi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara emosional dan sosial. Masa depan itu tidak akan lahir dari ruang kelas semata, melainkan dari lingkaran pertemanan yang membentuk karakter remaja hari ini.
Circle yang sehat akan melahirkan pribadi tangguh, berdaya saing, dan berintegritas. Circle yang salah hanya akan menyiapkan generasi rapuh yang mudah goyah menghadapi tantangan global.
Sebagaimana perumpamaan Islam tentang berteman dengan penjual parfum atau tukang besi, lingkungan sosial adalah cerminan masa depan anak. Remaja yang tumbuh dalam circle sehat akan menjadi pribadi yang harum, bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi bangsa.
Karena itu, orangtua, guru, dan masyarakat harus bergandengan tangan memastikan circle pertemanan anak-anak benar-benar sehat. Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan, melainkan cita-cita yang hanya bisa diwujudkan jika semua pihak mengambil peran nyata.
Pada akhirnya, masa depan bangsa ditentukan oleh bagaimana kita menuntun remaja berada dalam lingkaran yang tepat. Jika mereka tumbuh dalam lingkungan yang salah, kita sedang menyiapkan generasi rapuh.
Bila kita menuntun mereka ke circle yang sehat, kita sedang menanam benih generasi tangguh yang akan memetik kejayaan di 2045.
Pertanyaannya kini, sudahkah kita menjadi parfum yang mengharumkan atau justru api yang membakar masa depan anak-anak kita?
*) Dewi Mulyani merupakan komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bandung dan juga dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Islam Bandung (Unisba).