Senin 17 Nov 2025 16:16 WIB

Diplomasi, Ta‘awun, dan Realisme Dakwah: Membaca Resolusi MIN ke-3

Ta'awun menjadi kunci kesuksesan dakwah sebagaimana disampaikan MIN.

Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Ust Fahmi Salim menerima penghargaam dari Majelis Ilmuwan Nusantara (MIN) di Malaysia.
Foto: Erdy Nasrul/Republika
Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Ust Fahmi Salim menerima penghargaam dari Majelis Ilmuwan Nusantara (MIN) di Malaysia.

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Al-Fahmu Institute dan Anggota Majlis Ilmuwan Nusantara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ilmuwan Nusantara (MIN) ke-3, yang diselenggarakan di Perlis pada 12-13 November 2025, mengeluarkan sebuah resolusi penting bertema “Ta‘awun dalam Dakwah: Antara Persamaan dan Perbedaan.”

Resolusi ini mencerminkan kesadaran baru di kalangan cendekiawan Muslim bahwa dakwah tidak lagi dapat bergerak dalam kerangka lama yang eksklusif, sempit, atau berorientasi konfrontatif.

Baca Juga

Di tengah dunia yang semakin kompleks, plural, dan rentan konflik identitas, resolusi MIN ke-3 menawarkan kerangka diplomasi dakwah yang progresif namun tetap berakar pada disiplin syariat dan adab ilmiah. Artikel ini mencoba membedah relevansi dan signifikansi resolusi tersebut terhadap kondisi dakwah Islam kontemporer.

Dakwah di Era Polarisasi: Diplomasi Menjadi Keniscayaan

Dewasa ini, umat Islam menghadapi tantangan yang berbeda dari era sebelumnya. Beberapa fenomena yang mendominasi dinamika global adalah:

1. Polarisasi ideologi — konservatif vs progresif, Sunni vs Syiah, Islam lokal vs transnasional.

2. Fragmentasi internal umat — perbedaan furu’ (khilafiyah) kian membesar seolah-olah menyangkut akidah. Malah sebaliknya, penyimpangan akidah (inhiraf) dikecilkan seolah-olah itu perbedaan furu’ belaka.

3. Normalisasi Islamofobia — terutama setelah gelombang geopolitik baru pasca konflik Timur Tengah.

4. Perang informasi — hoaks, agitasi identitas, dan pertarungan wacana di media sosial begitu massif dan distorsif.

5. Instrumentalisasi agama oleh kekuasaan — menjadikan dakwah rentan dipolitisasi.

Di tengah dinamika global inilah resolusi MIN hadir sebagai jawaban strategis, bukan hanya normatif.

Poin pertama resolusi, yang menegaskan pentingnya diplomasi dan kerja sama lintas kelompok, mencerminkan orientasi baru dakwah yang tidak reaktif, tetapi proaktif membangun aliansi strategis.

Diplomasi (mudaarah) dalam dakwah bukan kelemahan; ia adalah instrumen kekuatan ketika digunakan untuk menjaga maruah dakwah dan memaksimalkan kemaslahatan.

Kerja Sama Tanpa Menggadaikan Prinsip: Moderasi yang Tegas

MIN menegaskan batas-batas kerja sama:

• Tidak boleh menghalalkan yang haram,

• Tidak membenarkan penyimpangan akidah,

• Tidak menimbulkan persepsi bahwa Islam berubah mengikuti tekanan sosial.

Poin ini sangat relevan di tengah tekanan global terhadap umat Islam untuk mengadopsi nilai-nilai Barat tertentu — misalnya normalisasi LGBT, relativisme agama, atau liberalisme ekstrem — atas nama toleransi.

Resolusi MIN menawarkan model moderasi yang tegas (assertive moderation): Toleran dalam sosial, Teguh dalam akidah, Terbuka dalam kerja sama, dan Tegas menjaga batas.

Model ini berbeda dengan moderasi yang cair, yang terkadang kehilangan identitas; dan berbeda pula dari fundamentalisme kaku yang memutuskan diri dari realitas sosial.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement