
Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan besar sedang terjadi di jantung Timur Tengah. Setelah berpuluh tahun menjadi pendukung utama Israel, Amerika Serikat kini mulai menunjukkan ketegasan yang tidak biasa. Ketika Knesset Israel mengesahkan Undang-Undang aneksasi Tepi Barat untuk memperluas pemukiman ilegal hingga target 40.000 rumah, reaksi Washington kali ini berbeda.
Wakil Presiden AS JD Vance menyebut langkah itu “stupid” dan “menghina” bagi Amerika. Tak berhenti di situ, Presiden Donald Trump menegaskan bahwa Palestina harus merdeka, dan jika Israel menolak gencatan senjata, AS akan menarik dukungan krusial yang selama ini menjadi tumpuan utama Israel.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Langkah ini menandai titik balik penting dalam relasi Washington–Tel Aviv. Setelah puluhan tahun, untuk pertama kalinya AS menempatkan komitmen moral terhadap kemerdekaan Palestina sebagai ukuran dalam kebijakan Timur Tengahnya.
Saudi dan Prabowo: Dua Suara, Satu Prinsip
Perubahan arah politik AS ini bertepatan dengan manuver diplomasi baru Arab Saudi. Riyadh tengah menyiapkan langkah untuk bergabung dalam Abraham Accord—pakta normalisasi dengan Israel yang dulu digagas oleh Trump pada 2020. Namun kali ini, syaratnya jelas: Israel harus terlebih dahulu mengakui Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Pernyataan Saudi ini selaras dengan sikap Presiden Prabowo Subianto, yang menegaskan bahwa Indonesia baru akan mempertimbangkan pengakuan terhadap Israel setelah Palestina benar-benar merdeka. Kedua pernyataan ini mencerminkan doktrin diplomasi moral: pengakuan politik tidak bisa diberikan tanpa keadilan.
Dengan posisi ini, baik Saudi maupun Indonesia berada pada garis strategis yang sama—menjadikan kemerdekaan Palestina sebagai prasyarat diplomasi dan perdamaian regional.
Insiden Smotrich dan Isolasi Politik Israel
Ketegangan makin meningkat setelah Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich menghina Saudi dengan ucapan sinis bahwa “Arab Saudi sebaiknya terus menunggang unta, sementara Israel melanjutkan pembangunannya menjadi lebih maju.”
Pernyataan arogan itu memicu gelombang kecaman internasional. Tak hanya negara-negara Arab, pemerintah AS pun menilai komentar itu sebagai penghinaan diplomatik yang dapat merusak stabilitas regional.
Tekanan kuat datang bertubi-tubi. Akhirnya, Smotrich terpaksa meminta maaf secara terbuka—sebuah hal yang jarang terjadi dalam politik Israel. Ini menunjukkan bahwa arogansi Israel kini mulai berbalik menjadi beban diplomatik di mata dunia.