Senin 17 Nov 2025 06:15 WIB

Martabat Militer, dan Diplomasi: Ziarah Lee Kuan Yew Mengubah Lanskap Politik Kawasan

Lee Kuan Yew berkeinginan perbaiki hubungan dan bertemu Presiden Soeharto pada 1973.

Prajurit Korps Marinir TNI Angkatan Laut (AL) di Markas Komando Korps Marinir, Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun, Jakarta Pusat.
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Prajurit Korps Marinir TNI Angkatan Laut (AL) di Markas Komando Korps Marinir, Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting*

Pada 15 November ini, Korps Marinir TNI Angkatan Laut genap berusia 80 tahun. Dirgahayu Hantu Laut! Hari ini saya sedang di Singapura untuk menghadiri konferensi. Saya ingin memberikan hadiah ulang tahun untuk Korps Marinir melalui tulisan sejarah dalam perspektif politik pertahanan keamanan negara.

Baca Juga

Prajurit Marinir dan ingatan kolektif bangsa

Negeri Singa memiliki sejarah kompleks dalam hubungannya dengan Negeri Garuda, Indonesia. Terutama di awal berdirinya Singapura yang sebelumnya menjadi bagian dari Malaysia.

Ingatan kolektif bangsa tentang dinamika hubungan Indonesia-Singapura, menyimpan satu episode diplomasi yang kerap dipandang sebagai catatan samping. Padahal sesungguhnya merupakan "turning point" dalam relasi dua negara. Momentum itu tak lain, kunjungan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew ke makam dua prajurit Marinir, Usman Janatin dan Harun Said, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada 20 Februari 1973.

Peristiwa itu tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan klimaks dari rangkaian ketegangan politik yang berawal dari pengeboman MacDonald House pada 10 Maret 1965 dan berujung pada eksekusi gantung terhadap dua prajurit Usman dan Harun oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968.

Presiden Soeharto kemudian menetapkan kedua prajurit Marinir itu sebagai Pahlawan Nasional, melalui Keppres RI Nomor 050/TK/1968. Setelah melalui drama politik kedua jenazah diambil dari Singapura dan dikebumikan di TMP Kalibata, Jakarta. Nama keduanya juga diabadikan sebagai nama jalan, yaitu Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun di depan Markas Korps Marinir, Jakarta Pusat.

Sebagai peristiwa sejarah, rangkaian ini cukup jelas. Namun sebagai peristiwa politik, maknanya jauh lebih dalam: ia membongkar bagaimana negara memandang loyalitas, bagaimana pemimpin mengelola rasa sakit rakyatnya, dan bagaimana diplomasi di Asia Tenggara dibangun bukan hanya dengan kalkulasi rasional, melainkan juga dengan simbolisme yang kuat.

Dua narasi bertabrakan

Usman dan Harun menjalankan tugas negara dalam kerangka Dwikora, sebuah instruksi Presiden RI Soekarno untuk mengganyang apa yang disebut sebagai “Negara Boneka Malaysia”. Dari perspektif Indonesia, keduanya adalah prajurit militer yang melaksanakan perintah dengan penuh dedikasi. Namun bagi Singapura, yang saat itu masih dalam proses membangun stabilitas setelah berpisah dari Malaysia, pengeboman MacDonald House adalah tindakan teror yang menghilangkan nyawa warga sipil.

Di sinilah dua narasi berjumpa namun tidak pernah bertemu. Eksekusi gantung terhadap Usman dan Harun menimbulkan kemarahan luas di Indonesia. Massa membakar bendera Singapura. Hubungan diplomatik membeku. Presiden RI Jenderal Soeharto, yang baru mengonsolidasikan kekuasaan setelah pergantian politik 1965-1966, menghadapi dilema.

Bagaimana merespons tindakan Singapura tanpa mengorbankan stabilitas yang tengah ia bangun? Eksekusi itu sinyal Singapura memang negara kecil tidak boleh diremehkan. Tetapi di mata Indonesia, itu adalah luka pada martabat militer dan kedaulatan nasional. Politik identitas negara terbentuk dari momen-momen seperti ini.

Soeharto dan diplomasi martabat

Ketika Lee Kuan Yew berkeinginan memperbaiki hubungan dan bertemu Presiden Soeharto pada 1973, Soeharto menetapkan satu syarat moral: sebelum melangkah ke Istana Merdeka, Lee harus lebih dulu melangkah ke makam Usman dan Harun.

Banyak analis memandang syarat itu sebagai bentuk tekanan diplomatik. Tetapi lebih tepat dipahami sebagai ujian moral dan pesan simbolik bahwa Indonesia tidak akan mengkhianati prajuritnya. Sebagai jenderal senior, Soeharto memahami betul psikologi militer.

Sebagaimana psikologi marahnya Angkatan Darat pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata mendukung tindakan Angkatan Darat terhadap G30S/PKI.

TNI saat itu adalah pilar utama legitimasi kekuasaan Orde Baru. Soeharto paham, mengabaikan perasaan Korps Marinir dan TNI secara umum akan menjadi blunder politik. TNI wajib kompak di bawah pimpinan presiden yang seorang jenderal petarung.

Ziarah Lee Kuan Yew, dengan menaburkan bunga di pusara kedua prajurit itu, merupakan gestur yang luar biasa berani. Ia bukan hanya bertindak sebagai kepala pemerintahan Singapura, tetapi juga sebagai negarawan yang mengakui bahwa sebuah bangsa besar memiliki luka yang harus dihormati.

Dalam diplomasi internasional, simbol lebih kuat daripada pidato. Pada hari itu, simbol keberanian moral mengalahkan semua retorika bilateral.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement