Ahad 16 Nov 2025 08:09 WIB

Menimbang Risiko dan Peluang Abraham Accord buat Indonesia

Abraham Accord sering dianggap pragmatis untuk meredakan ketegangan Palestina-Israel.

Ilustrasi penandatanganan Abraham Accord.
Foto: AP/Alex Brandon
Ilustrasi penandatanganan Abraham Accord.

Oleh M Abdul Ghoni, Pegiat Ekonomi dan Keuangan Syariah, Dosen Universitas Al Azhar Indonesia 

 

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah panggung diplomasi Timur Tengah yang memanas, Perjanjian Abraham Accord muncul sebagai kesepakatan pragmatis yang membuka jalan bagi normalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara Arab, menjanjikan perdamaian dan stabilitas regional.

Namun, bagi Indonesia, narasi keberhasilan ekonomi dan geopolitik ini menyimpan dilema rumit: di satu sisi, terbuka peluang investasi dan perdagangan baru, tetapi di sisi lain, dukungan terhadap perjanjian ini berisiko mengkhianati sejarah panjang solidaritas terhadap Palestina dan berpotensi memicu konsekuensi ekonomi serta fragmentasi politik domestik yang jauh lebih besar daripada manfaat ekonomi yang dijanjikan.

Perjanjian Abraham Accord merupakan kesepakatan diplomatik bersejarah yang ditandatangani pada tahun 2020 antara Israel dan beberapa negara Arab. Perjanjian ini bertujuan untuk mengakhiri isolasi diplomatik Israel di dunia Arab melalui normalisasi hubungan. Tujuannya adalah mendorong perdamaian dan stabilitas di kawasan Timur Tengah, memperkuat kerja sama dalam berbagai bidang seperti perdagangan, teknologi, pertahanan, dan pariwisata, serta mengubah dinamika geopolitik di kawasan tersebut.

Perjanjian ini sering dianggap sebagai langkah pragmatis untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah. Kesepakatan ini menjadi momen penting dalam geopolitik dan geoekonomi, yang berujung pada normalisasi hubungan diplomatik dan ekonomi antara Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, kemudian diikuti oleh Sudan dan Maroko. Meskipun negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain melihat nilai strategis dalam kerja sama terbuka dengan Israel, termasuk berbagi kepentingan keamanan (terutama terhadap ancaman nuklir Iran), serta kemajuan ekonomi dan teknologi, perjanjian ini juga memicu kontroversi.

Menurut Elham Fakhro dalam karyanya "The Abraham Accords: The Gulf States, Israel, and the Limits of Normalization," normalisasi ini tidak memberikan dampak signifikan terhadap isu Palestina dan bahkan berpotensi melemahkan posisi Palestina. Fakhro memperingatkan bahwa hal ini dapat menimbulkan ketegangan baru, menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam kerja sama bilateral, masalah inti di kawasan tersebut belum terselesaikan.

Meskipun perjanjian Abraham Accord membuka jalan bagi kemajuan diplomatik dan ekonomi bagi negera-negara Timur Tengah, namun perjanjian Abraham Accord menghadapi tantangan, terutama dari sisi Palestina yang melihat normalisasi hubungan dengan Israel sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina. Perjanjian Abraham Accord mengubah wajah diplomasi di Timur Tengah, memperluas integrasi Israel dengan negara Arab, dan memungkinkan kerangka keamanan baru di kawasan. Namun tidak menjamin stabilitas keamanan kawasan yang berkelanjutan, akibat tidak disertai dengan dukungan masyarakat, khususnya di negara Timur Tengah, karena sifat dari perjanjian yang tidak menyeluruh dan instabil.

Bagaimana dampak Perjanjian Abraham Accord bagi bagi Geopolitik dan Geoekonomi republik Indonesia?

Tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat peluang eksternal bagi perekonomian Indonesia atas adanya perjanjian Abraham Accord terhadap perkembangan di Timur Tengah, diantaranya membuka peluang ekonomi bagi Indonesia melalui perdagangan, investasi, transfer Teknologi, akses ke pasar Timur Tengah, terutama Uni Emirat Arab (UEA) untuk produk Indonesia. Namun tidak signifikan terhadap ekonomi Indonesia, hal ini dapat dilihat dari data transaksi perdagangan bilateral Indonesia dan Uni Emirat Arab ( UEA).

Perdagangan bilateral Indonesia dengan Uni Emirat Arab (UEA) tercatat meningkat dari sekitar US$ 3 miliar pada tahun 2020 menjadi sekitar US$ 5 miliar pada tahun 2024. Rata‑rata pertumbuhan tahunan atau compound annual growth rate (CAGR) untuk perdagangan berada di kisaran 5 % per tahun. Volume perdagangan ini, masih tertinggal dengan perdagangan bilateral antara Indonesia dan negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), dimana mengalami pertumbuhan yang signifikan antara tahun 2020 dan 2024, dengan total perdagangan meningkat dari US$ 120 miliar pada 2020 menjadi sekitar US$ 150 miliar pada 2024, dengan rata‑rata pertumbuhan tahunan atau compound annual growth rate (CAGR) sekitar 5.74% per tahun.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement